Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menengok Desa Riring Nun Jauh

9 Oktober 2020   20:53 Diperbarui: 10 Oktober 2020   05:05 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen: Ani Masjid Kasturian

Pertengahan tahun 2016, saat masyarakat di beberapa daerah di pulau Seram sementara memanen cengkih mereka, saya datang dengan ransel kecil dan dua buah dus besar berisi barang-barang seperti sandal dan aksesori. Seperti anak yang lari dari rumah.
       
Itu pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau Seram setelah meninggalkannya belasan tahun berlalu saat masih kelas 2 esde.
         
Tujuan saya waktu itu adalah kabupaten Seram Bagian Barat, masyhur disebut SBB oleh orang Maluku. Ada seorang kenalan saat di Papua yang mengajak saya ke Taniwel, salah satu kecamatan di kabupaten itu. Ajakan itu saya iyakan. Tapi baru kesampaian setelah lebaran idul fitri karena sepanjang bulan ramadhan saya masih di Pulau Buru, di Unit. Sejarawan yang menyeriusi isu PKI di Indonesia pasti tahu daerah itu. Berada di jantung Pulau Buru. Sekarang menjadi lahan pertanian yang subur, menjadi lumbung pagi Maluku.
           
Di Taniwel, teman itu kembali mengajak saya untuk naik ke wilayah pegunungan. Katanya di sana sedang ada panen besar. Tenaga yang terkuras habis selama perjalanan lintas dari Ambon membuat saya nyaris sakit. Tapi saya bertahan.
           
Agak terkejut sebenarnya dengan teman tersebut. Selama di Manokwari, Papua, ia mengaku punya banyak pohon cengkih. Untuk panen ia bahkan kerap mempekerjakan orang-orang kampung, katanya. Dari tukang masak, tukang panjat pohon, tukang patah (memisahkan cengkih dari gagang) sampai lain-lain. Tahu-tahunya saat tiba di Taniwel sepohon pun ia tak punya.
         
"Sial," saya dibohongi.
         
Di desa Lasahata saya tinggal sementara saat itu. Bukan di rumah teman tadi tapi saya harus cari rumah lain. Menyewa selama seminggu tinggal di rumah bu Erens (bu: sebutan untuk laki-laki di kalangan orang Kristen di Ambon dan sekitarnya). Bukan karena rumah teman itu kecil. Mereka memelihara beberapa ekor anjing. Itu membuat saya agak ketakutan.
           
Desa Lasahata adalah satu dari sekian banyak desa di SBB yang mayoritas penduduknya non muslim. Ada beberapa pendatang dari Buton dan Bugis. Mereka bekerja sebagai pedagang, sebagian kecil lagi ada yang pegawai negeri.
       
Sehari di Lasahata besoknya saya lalu berangkat ke pegunungan yang kata si teman sedang ada panen cengkih besar-besaran. Sejujurnya tujuan saya ke sana sendiri tak begitu jelas. Saya punya barang dagangan yang akan saya jual, tapi ada hasrat untuk membeli cengkih basah yang akan saya jemur lagi. Kebetulan saat itu harga komoditas cengkih sedang bagus-bagusnya.
         
Pagi-pagi sekali mobil Ranger yang biasa dipakai menjelajahi jalanan pegunungan sudah datang menjemput. Saya lihat di dalam ada beberapa penumpang yang akan ke gunung. Tujuan kami adalah desa Buria. Saya lupa waktu tempuh. Yang jelas jalannya kian jauh kian menanjak. Waktu itu jalanan sedang diaspal. Itu pertama kali jalanan aspal menjangkau desa Buria.
       
Sebagai catatan desa Buria adalah salah satu desa di pegunungan yang bagi warga SBB kurang mendapat perhatian pemerintah. Selama puluhan tahun akses ke desa itu amat sulit. Menyebabkan warga kesulitan mendapatkan pengobatan. Jaringan telepon yang nyaris tidak ada di sana. Untuk menelpon seseorang bahkan harus ke pagar gereja yang merupakan bangunan paling ujung sekaligus paling tinggi lokasinya. Pendidikan pun bukan hal mudah bagi warga Buria. Dalam satu kisah pernah ada tenaga pengajar dan tenaga kesehatan yang sampai melarikan diri gara-gara tak kuat hidup di situ. Kata seorang warga desa mereka bahkan sering harus menandu orang sakit ke puskesmas di ibu kota kecamatan selama berjam-jam karena jalanan yang rusak dan tak ada kendaraan. Tapi waktu itu saya melihat mulai ada perubahan. Satu lagi, di Buria suhu begitu dingin malam hari.
             
Saat tiba di Buria saya kembali dibuat terkejut. Beberapa warga yang saya ajak mengobrol bilang bahwa musim cengkih baru saja usai. Saya terlambat.
         
"Aduuuh. Lagi-lagi."
         
Siang itu saya membuka tenda kecil untuk berjualan barang-barang dagangan yang saya bawa. Seorang warga yang baik hati mengizinkan untuk mengisi teras rumahnya.
         
Tak banyak yang terjual. Barangkali pengaruh musim panen yang sudah berakhir. Tapi saya tak patah hati. Si pemilik rumah menawarkan untuk tidur di rumahnya agar besok saya bisa kembali berjualan tapi saya menolaknya halus. Saya harus kembali ke Lasahata.
     
Sebelum pulang mereka bilang bahwa kalau mau berjualan baiknya ke pasar gudang. Pasar itu seminggu dua kali digelar.
       
"Di mana itu," saya bertanya.
   
"Di gunung sana. Nai lai pake oto. Jalang ka sana susah. Nyong kalo baru pertama kayanya stengah mati," kata seorang bapak tua.
         
"Baiklah." Hari Rabu jika tak salah saya bersama beberapa pedagang pasar di Lasahata berangkat subuh-subuh menggunakan mobil yang sama saat ke Buria. Ongkosnya 50 ribu. Perjalanan sampai di Buria semua masih baik-baik. Setelah melewati gereja jalanan tanah berlumpur menyambut kami. Di mobil kernet bahkan menyiapkan linggis untuk berjaga-jaga jikalau mobil kesulitan medan.
         
Pasar gudang sendiri sebenarnya tak jauh dari desa Buria. Tapi karena akses jalan yang sulit membuat perjalanan bisa sampai satu jam. Beberapa kali kami harus turun dari mobil. Beberapa kali juga saya melihat mobil di belakang kami yang satu bannya tak menyentuh tanah selama beberapa detik akibat jalanan yang berlubang. Kami melewati hutan sepanjang itu. Begitu sempit. Ruang hanya cukup untuk satu mobil.
         
Pasar gudang hanyalah pasar yang menjembatani masyarakat di desa Riring di pegunungan supaya tidak lagi susah-susah ke desa lain untuk belanja kebutuhan.
           
Dugaan saya mengenai rupa pasar itu sepanjang perjalanan ternyata salah besar. Pasar itu benar-benar tak tampak seperti pasar umumnya. Barangkali karena peruntukkannya hanya bagi warga satu desa saja. Tapi tetap bagi saya itu pasar yang agak luar biasa. Pasar di dalam hutan. Ada pohon bambu besar yang menutupi, lapak-lapak kayu seadanya. Seperti pasar di film Jaka Tarub yang menceritakan kisah penduduk Jawa abad lampau. Sungguh.
           
Beberapa menit saya terdiam. Coba memahami situasi. Coba bertanya pada diri sendiri saat yang lain mulai membuka dagangannya. Saya bingung di mana pembelinya. Di mana warga desa Riring yang dimaksud itu. Tak lama beberapa warga desa Riring pun muncul dari jalanan berumput yang dipenuhi pohon hutan lebat. Ada yang berjalan kaki memikul barang dagangan seperti cengkih yang akan dijual, ada juga yang menggunakan sepeda motor setengah butut. Kata seorang di pasar gudang sepeda motor bekas dari Ambon banyak yang dijual kepada warga desa Riring. Mereka biasa menggunakannya untuk mengangkut barang-barang ke pasar gudang ini.
             
Saat menggelar dagangan saya sengaja memilih tempat terujung. Bukan apa-apa, dengan begitu saya bisa lebih jelas melihat sepotong mata jalan yang dilewati orang-orang dari desa Riring tadi.
     
Masih tak percaya, jalan yang saya lihat itu hanyalah jalan kecil setapak layaknya jalan di dalam hutan yang hanya sekali dua kali dilewati pemburu. Coba menjulurkan pandangan jauh ke depan menelisik keberadaan desa Riring tapi tak terlihat. Hanya belantara hutan dan suara-suara orang di perjalanan yang perlahan tiba di pasar gudang dengan berjalan kaki. Seakan tak percaya ada pemukiman di dalam sana. Tapi begitulah. Desa Riring begitu terpencil.
           
Bisa dibayangkan bagaimana kesulitan mereka dalam mengakses banyak hal. Tapi syukurlah hari ini desa itu sudah bangkit. Pemerintah bergerak cepat. Jalan dibuka sampai desa Riring. Bahkan sebuah gereja pun berhasil dibangun di sana. Saya ikut senang mengetahui kondisi desa Riring sekarang.
         
Perjalanan itu sungguh penuh pelajaran. Hanya sekali itu saja saya ke pasar gudang. Seminggu di Lasahata saya lalu kembali ke Ambon. Seminggu tak dengar suara azan masjid perasaan sungguh tidak keruan. Saya banyak belajar dari kejadian-kejadian yang saya lewati itu. Saya menjadi lebih selektif dalam hal mempercayai orang lain. Terlebih di usia yang baru 19 tahun waktu itu membuat saya sedikit mengalami kemajuan berpikir. Utamanya dalam urusan susun-menyusun rencana.
         
Ah, waktu ini sungguh cepat. Sekarang sudah menjelang akhir 2020. Mungkin sudah saatnya bicara yang lebih serius. Ya misalnya itu. Itu, itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun