Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjelang Cinta #1

10 Oktober 2019   07:49 Diperbarui: 10 Oktober 2019   08:25 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu bergegas menaiki tangga JPO yang terhubung pada satu mall di malam setelah isya berakhir. Ia tak juga tergesa-gesa, tapi ia jelas mempercepat kakinya. Lelaki yang menaruh janji dengannya sudah menunggu di langkah berikut. Mereka akan mengunjungi toko buku, sekalian melepas hari Minggu yang sedikit banyak telah menguras tenaga.
               
Perempuan itu datang menggunakan kulot hitam, mirip-mirip gaucho pants. Juga chiffon berwarna cerah yang ikut menambah kesan perlente padanya. Seperti biasa, ia datang bersama kacamata yang membingkai sepasang matanya. Ia punya sclera mata yang putih bersih. Sementara bibirnya yang kerap pecah-pecah di musim panas tak lagi nampak setelah diselubungi gincu andalannya.
               
Malam itu sang perempuan membawa diri serta pendiriannya. Ia akan menghabiskan sedikit waktu di malam hari untuk memenuhi janji pertemuan dengan temannya. Mereka berdua hanyalah teman biasa. Teman kerja yang saban hari bersua dan saling baur dalam sengitnya pekerjaan. Mereka sering tertawa bersama, bercanda ria, dan kadangkala berselisih paham. Sang perempuan merasa ada yang aneh, atau jika tak jauh-jauh dari itu maka lebih tepat perasaannya itu adalah dinaungi kebingungan. Ia bertanya-tanya, ada apa dengan teman lelakinya itu sampai mengajak ia jalan, mengunjungi toko buku, juga makan malam. Ia sendiri tak akan lupa bagaimana di waktu sebelumnya si teman lelakinya itu beberapa kali memarahinya, membentak keras, memaki pun pernah, sampai puncaknya membuat ia jatuh air mata. Tapi dengan cepat semua pertanyaan yang bergelantungan itu ia jatuhkan. Ia meyakinkan diri, bahwa teman lelakinya itu adalah orang baik. Ia akan membawanya pada jalan-jalan yang baik, tidak terjal, juga tak berkerikil.
           
       
Mereka pun sudah sebaris langkah. Mereka akan memulai malam yang sebenarnya sudah agak terlambat. Tapi itu hanyalah soal perputaran waktu, toh mereka sudah bertemu, dan akan jalan beriringan.
             
Perempuan itu menumpuk bercampur-campur curiga di hatinya sepanjang langkah. Ia hanya menutup situasi dengan berbicara seadanya. Di hatinya, jemuran-jemuran pertanyaan itu kembali terbentang, kali ini pun angin perasaan kian kencang. Ia tahu malam itu segalanya berbeda. Mereka selama saling mengenal hanya bertemu dan bercerita di tempat kerja, tak lebih. Wajar kalau ada kemudian perasaan lain di hatinya. "Ada apa gerangan?"
               
Sang perempuan benar-benar seperti menjaga sikap. Tak ada tawa lepas yang biasa ia semburkan dari wajahnya, kesukaannya pada makanan pun seakan-akan ia tekan. Itu sikap yang tentu berlawanan dengan yang ia biasa tunjukkan di tempat kerja. Dan barangkali teman lelakinya mengetahui itu. Teman lelakinya malah justru mengambil jalan serupa, nampak berhati-hati dalam bersikap. Ia tak mau gegabah. Misal seperti mengejek dengan mengatakan kacamata atau bibir retak-retak, itu tak lagi ia ucapkan selama malam itu.
           
Mereka memasuki mall yang cukup besar. Menaiki tangga eskalator. Si perempuan menghitung tiap anak tangga dengan perasaan berwarna-warni, mereka menuju sebuah tokoh buku, dan menyelingi tiap langkah dengan cerita-cerita seadanya, misalnya cerita perihal pekerjaan. Teman lelakinya menyadari hanya dengan bercerita perihal pekerjaan lah si perempuan akan terlihat nyambung.
           
Malam itu, setelah mencari buku yang dimaksud, mereka lepas pergi menuju satu gerai makanan di selasar jalan. Di sana, tak jauh dari wajan penggorengan, cerita perlahan bergeser. Keduanya saling bercerita hal-hal yang pribadi, seperti pengalaman, keluarga, dan yang sekaitannya. Mengiringi cerita itu ada canda tawa yang menerawang ke udara, menjadi penawar hawa dingin yang pelan-pelan menyelip di antara jemari. Segalanya membuat sang perempuan mulai lebih santai, tak seperti awalnya. Ia sudah bisa mengendalikan diri, tertawa lepas, juga sesekali memperlihatkan wajah kesal pada pelayanan tempat makan itu.
               
       
Di sisi kiri, teman lelakinya lebih banyak menyimak, barangkali itu cara untuk meredam gejolak di seluruh dadanya. Ia hanya mengimbangi dengan pertanyaan dan kata setuju, juga ikut tertawa. Ia masih tak memahami situasi hatinya, si perempuan yang pernah ia anggap menjengkelkan itu duduk di sampingnya sembari tertawa. "Ada apa dengan diriku," ia bertanya pada dirinya sendiri. Meski pandai menafsirkan hal-hal di sekitar, tapi kali ini ia tak berani mengambil kesimpulan. Biar saja waktu yang berputar menyibak segala misteri ini. Baginya sudah cukup menyenangkan bisa membuat si perempuan tertawa.
         
           
Malam yang sempurna itu berakhir tanpa janji-janji. Mereka berpisah untuk beberapa jam saja, mimpi sekali tidur akan menjadi jarak keduanya sebelum akhirnya besok pun bertemu kembali. Sang perempuan memasuki kamarnya, ia masih belum habis pikir, belum juga habis pertanyaan mengenai yang baru ia lakukan. "Ada apa dengan teman lelakinya itu?" Ia tak mau jauh-jauh berpikir, tak juga mau menduga-duga, biarkan saja sementara ini. Ia hanya cepat-cepat meraih gawai untuk menyampaikan terima kasih dan maaf melalui pesan esemes untuk teman lelakinya. Ia tak mampu menutupi warna-warni hatinya, batin yang bercampur-campur setelah semuanya. Ia hanya menjadikan ingatan-ingatan itu sebagai selimut yang mengantarkannya pada tidur ternikmat malam itu. Hingga pagi datang, ia tak akan menceritakan pertemuannya dengan si teman lelaki pada rekan kerja yang lain meski sebenarnya ia suka sekali bercerita perihal ini dan itu terkait kesehariannya.
           
       
Di tempat yang lain, pada jarak yang tak sampai tiga kilometer, teman lelakinya terbaring dan memaku diri pada ubin. Pikirannya melayang tinggi-tinggi bermodal benang-benang kisah yang telah lalu. Kali ini ia kehilangan kendali atas perasaannya sendiri, ia setengah limbung. Di tengah terkaan-terkaan ia nyaris saja berkesimpulan bahwa ia jatuh cinta tapi itu urung ia lakukan. "Tunggu dulu," batinnya tersenyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun