Mohon tunggu...
Oparton J Tarihoran
Oparton J Tarihoran Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang penikmat tape, yang tidak menyukai politik tapi menyukai berita politik

Seorang penikmat tape, yang tidak menyukai politik tapi menyukai berita politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Kenakalan" Pengungsi di Indonesia

25 Agustus 2021   12:15 Diperbarui: 25 Agustus 2021   12:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 kita disuguhi pemberitaan tentang unjuk rasa pengungsi Afghanistan di depan kantor perwakilan UNHCR di Indonesia yang berakhir ricuh. Pengungsi Afghanistan berunjuk rasa ke kantor UNHCR yang menuntut penempatan ke negara ketiga. 

Polisi dengan terpaksa membubarkan unjuk rasa tersebut karena menciptakan kerumunan. Sehingga unjuk rasa tanpa izin tersebut berakhir ricuh. Jelas tanpa izin, tidak ada aturan yang memperbolehkan WNA dapat berunjuk rasa wilayah Indonesia. Kejadian itu merupakan salah bentuk “kenakalan” pengungsi yang meminta suaka dan perlindungan di Indonesia.

Di saat pandemi seperti ini,  pemerintah Indonesia bersusah payah mencegah kerumunan demi mencegah penyebaran covid-19. Pengungsi Afghanistan malah berunjuk rasa dan menciptakan kerumunan. Seharusnya mereka mampu mengamati kondisi negara dimana mereka mendapat perlindungan.

Sebagai seseorang yang pernah bertugas dalam pengawasan pengungsi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, saya lumayan akrab dengan bentuk-bentuk “kenakalan” pengungsi di Indonesia khusunya yang ditempatkan di akomodasi.     

Provinsi Kepulauan Riau merupakan tempat penampungan bagi 931 pengungsi luar negeri. Mereka datang dari berbagai negara seperti Afghanistan, Ethiopia, Irak, Iran, Jordania, Palestina, Pakistan, Somalia dan Sudan. Pengungsi tersebut ditempatkan dalam 3 akomodasi, yaitu AND Sekupang, Hotel Kolekta yang terletak di Kota Batam dan kemudian akomodasi Hotel Bhadra Resort yang terletak di Kabupaten Bintan.

Pengungsi yang ditempatkan di akomodasi  dapat beraktivitas normal. Akan tetapi diberi batasan tertentu dalam bentuk aturan tata tertib apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang pengungsi. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya gesekan atau permasalahan yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar.

Tapi namanya pengungsi sudah tinggal bertahun-tahun di Indonesia, beberapa dari mereka mungkin sudah terkontaminasi istilah “aturan dibuat untuk dilanggar”. Sehingga banyak  pengungsi yang “nakal” dan tidak mematuhi aturan. Padahal aturan dan tata tertib disosialisasikan secara rutin. Bahkan di setiap akomodasi dipampangkan aturan yang harus dipatuhi pengungsi. Berikut ini saya tuliskan beberapa bentuk kenakalan lain yang sering  dilakukan pengungsi saat ditempatkan di akomodasi.

Pertama, mengendarai kendaraan bermotor. Bentuk kenakalan ini yang paling umum dilakukan pengungsi. Mereka sering kali mengendarai sepeda motor atau pun mobil di jalanan, padahal tidak memiliki SIM.     

Kedua, bekerja. Pengungsi di Indonesia tidak diizinkan untuk bekerja untuk mendapatkan upah. Berbeda dengan kebijakan negara tetangga seperti Malaysia yang membolehkan pengungsi bekerja. Di Indonesia sendiri kebutuhan pengungsi seperti akomodasi, biaya makan, kesehatan disupport oleh IOM, sehingga mereka dapat bertahan dengan tidak bekerja..

Akan tetapi saya beberapa kali menemukan pengungsi yang mencoba bekerja. Biasanya mereka bekerja pada sektor informal seperti penjaga toko atau berjualan di pasar. Beberapa pemilik toko akan merasa diuntungkan mempekerjakan pengungsi, karena dapat dibayar dibawah upah yang layak. Dan biasanya si pengungsi bekerja tersebut tidak akan berani menuntut.

Ketiga, pelesiran ke luar wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Kenakalan yang satu ini biasanya dilakukan pengungsi bersama pasangan atau pacarnya wanita WNI. Biasanya mereka keluar dari wilayah Kepri dan pelesiran ke daerah wisata di Sumatera, Jawa ataupun Bali. Hal tersebut tentunya melanggar aturan dimana mereka dilarang meninggalkan wilayah Kepri tanpa izin.  

Keempat, “kasus tali air”. "Kasus tali air" ini merupakan bentuk kenakalan pengungsi yang paling menyedot perhatian masyarakat. Sebagian besar pengungsi di Kepri adalah pria lajang. Banyak dari mereka yang berpacaran dengan wanita WNI. 

Sering sekali gaya berpacaran mereka melewati batas norma-norma sosial setempat. Seperti tertangkap berduaan saat tengah malam di tempat sepi, atau terkadang tertangkap sedang berduaan di dalam rumah pacarnya di malam hari.

Bahkan ada beberapa kali terjadi perbuatan asusila yang dilakukan pengungsi seperti “Kasus tali air”. Masyarakat menangkap basah pengungsi bersama wanita WNI yang berstatus isteri di saat suaminya tidak dirumah. “Kasus tali air”  seperti ini sangat mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar. Dan seringkali  “Kasus tali air”  ini menimbulkan penolakan masyarakat terkait keberadaan akomodasi pengungsi di daerahnya.

Kenakalan-kenakalan pengungsi tersebut merupakan gambaran pengungsi yang ditempatkan di Provinsi Kepri. Mungkin di wilayah lain bentuk-bentuk kenakalan pengungsi berbeda. Pengungsi datang ke Indonesia untuk mendapkan perlindungan. Sudah seharusnya pengungsi  dapat  memahami dan mengikuti aturan ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat.  

Kita memang selayaknya bersimpati perihal masalah-masalah kekerasan yang dialami pengungsi di negaranya. Sehingga dengan terpaksa mencari perlidungan sebagai pengungsi ke negara lain. Tapi hal itu bukan alasan untuk membenarkan tindakan kenakalan yang dilakukan Pengungsi selama di Indonesia. 

Mereka datang ke Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dan mereka mendapatkannya. Seharusnya mereka dapat lebih mematuhi aturan yang sudah diberikan ataupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun