Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Permanen, Suatu Keniscayaan

29 Juni 2022   15:08 Diperbarui: 1 Juli 2022   10:08 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bogor, Jawa Barat | Pagi tadi, melalau platform Medsos, Seorang Sahabat Muda yang Milenial (baru saja nambah gelar Ph.D di USA, ia juga putera teman seangkatan di SMP), mengirim potongan berita politik, sembari menambah kata-kata bahwa, "Peta Politik dan Parpol di Indonesia, mulai membaik.

Potongan berita tersebut adalah, "Parpol di negeri ini mulai beranjak dewasa dan matang. Pemimpin partai sudah bisa dan terbiasa duduk bersama membicarakan kepentingan bangsa. Bisa dan terbiasa duduk bersama di antara para pemimpin partai memperlihatkan kematangan berpolitik. Tidak ada lagi yang merasa hebat dan ingin menang sendiri." Saya pun mengejar sumbernya, dan membaca; bahkan membaca berulang-ulang.

Setelah itu, menjadi nyadar bahwa "opini politik" tersebut ternyata, bukan hal yang sebenarnya. Di dalamnya, ada semacam upaya pembersihan dan pembelaan diri (dari satu atau beberapa sosok) politisi akibat 'serangan' terhadap manuver politik yang ia/mereka lakukan. Manuver dini (dan dana), dalam rangka membangun koalisi (tak diganggu dan tidak bubar sebelum berkembang) menuju Pilpres 2024.

Baiklah! Mari lanjutkan. 

Sebetulnya, 'Koalisi Tak Diganggu dan Tidak Bubar' seperti itu, sudah ada Pasca Pemilu 1971. Ketika itu sekian banyak Parpol 'dipaksa-satu-kan' menjadi Golkar, PPP, dan PDI (tanpa Perjuangan), serta berazas tunggal Pancasila.

Itu sebetulnya sangat bagus, dalam rangka meminimalisir politik identitas. Sayangnya, dalam perkembangan kemudian, terjadi dikotomi pemisahan politik. Sehingga pemerintahan dikuasai oleh Golkar (yang katenye bukan Parpol), dan peminggiran terhadap PPP dan PDI. PPP dan PDI hanya pelengkap penderita dalam ranah politik Indonesia selama puluhan tahun.

Kini, melompat jauh dari era Golkar, PPP, dan PDI, jelang Pilpres 2024, agaknya Parpol pemilik kursi di Parlemen hasil Pemilu 2019, harus kerja keras untuk mendapat teman seiring sejalan sehingga mencapai ketentuan bisa 'Mengusung dan Mencalonkan Capres/Cawapres.'

Kerja keras itu perlu, karena bukan eranya lagi 'dipaksa-satukan-dalam-koalisi' seperti pada masa lalu. Jadi, pemimpin dan para elite Parpol, harus sepandai mungkin menarik yang lain, berbaik-baik, termasuk memuji-muja (yang tadinya) lawan politik.

Dengan itu, bukan Parpol sudah tidak lagi malu-malu membicarakan dan menjajaki koalisi demi kemajuan serta kesejahteraan Bangsa, Negara, Rakyat. Melainkan menutup malu demi kepentingan dapat teman agar terpenuhi ketentuan bisa mencalonkan Presiden/Wakil. Sebab, amanat Konstitusi bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Parpol atau gabungan Partai Politik yang mengikuti Pemilu sebelumnya.

Koalisi demi kepentingan sesaat dan kontemporer seperti itu, bisa dipastikan tak mencapai apa yang disebut 'Koalisi Permanen;' dari tingkat Pusat atau Arasy Nasional hingga Kabupaten serta Kota.

Selain itu, dari pengalanan Pilpres lansung di Indonesia, Koalisi terbentuk dalam durasi sekitar Pilpres. Setelah itu, jika kandidat mereka kalah, maka anggota koalisi pun mencari jalan sendiri-sendiri. Bahkan, tanpa malu, menempel ke Pemenang agar mendapat bagian dari 'cake kekuasaan.' Prihatin!

Koalisi Permanen, juga selayaknya 'Oposoi Permanen,' jika kalah pada waktu Pilpres dan Pemilu Legislatif. Di Indonesia tidak pernah terjadi seperti itu. Tidak Ada Parpol dan gabungan Parpol  benar-benar berkoalisi dan menjadi Oposisi dari Tingkat Daerah hingga Pusat (skala Nansional).

Faktanya,di tingkat Nasional, sejumlah Politisi (dari Parpol yang menyatakan diri Oposisi) dengan rajin mengkritik Permerintah, bahkan bisa dikategorikan sebagai asal bunyi, fitnah, penistaan.

Namun di tingkat daerah, Parpol-parpol tersebut berkoalisi dengan Parpol Pendukung Pemerintah untuk mengusung Calon Gubernur, Bupati, dan Walikota. Bahkan, Parpol yang yang sangan bertolak belakang garis idiologinya pun, hanya karena mendukung Calon Kepala Daerah, mereka bisa berakrab ria.

Lalu, sanggupkah Koalisi Permanen (yang juga Oposisi Permanen) berani di luar Pemerintahan, jika kalah? Dan, yang kalah tersebut, sanggup menahan diri agar tak meminta-minta jabatan (misalnya menteri) ke/pada lawan politik? Agaknya suatu keniscayaan!

Keniscayaan karena selama model berpolitk di Indonesia masih diwarnai dengan politik uang, identitas, demi kepentingan sesaat, serta cenderung oligarki, maka harapan untuk mencapai Koalisi Permanen (plus saudara kandungnya Oposisi Permanen) adalah upaya menjaring angin.

Cukuplah!

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun