Selain itu, dari pengalanan Pilpres lansung di Indonesia, Koalisi terbentuk dalam durasi sekitar Pilpres. Setelah itu, jika kandidat mereka kalah, maka anggota koalisi pun mencari jalan sendiri-sendiri. Bahkan, tanpa malu, menempel ke Pemenang agar mendapat bagian dari 'cake kekuasaan.' Prihatin!
Koalisi Permanen, juga selayaknya 'Oposoi Permanen,' jika kalah pada waktu Pilpres dan Pemilu Legislatif. Di Indonesia tidak pernah terjadi seperti itu. Tidak Ada Parpol dan gabungan Parpol  benar-benar berkoalisi dan menjadi Oposisi dari Tingkat Daerah hingga Pusat (skala Nansional).
Faktanya,di tingkat Nasional, sejumlah Politisi (dari Parpol yang menyatakan diri Oposisi) dengan rajin mengkritik Permerintah, bahkan bisa dikategorikan sebagai asal bunyi, fitnah, penistaan.
Namun di tingkat daerah, Parpol-parpol tersebut berkoalisi dengan Parpol Pendukung Pemerintah untuk mengusung Calon Gubernur, Bupati, dan Walikota. Bahkan, Parpol yang yang sangan bertolak belakang garis idiologinya pun, hanya karena mendukung Calon Kepala Daerah, mereka bisa berakrab ria.
Lalu, sanggupkah Koalisi Permanen (yang juga Oposisi Permanen) berani di luar Pemerintahan, jika kalah? Dan, yang kalah tersebut, sanggup menahan diri agar tak meminta-minta jabatan (misalnya menteri) ke/pada lawan politik? Agaknya suatu keniscayaan!
Keniscayaan karena selama model berpolitk di Indonesia masih diwarnai dengan politik uang, identitas, demi kepentingan sesaat, serta cenderung oligarki, maka harapan untuk mencapai Koalisi Permanen (plus saudara kandungnya Oposisi Permanen) adalah upaya menjaring angin.
Cukuplah!
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini