Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Singapura Menolak karena Komitmen pada ICERD

18 Mei 2022   22:02 Diperbarui: 18 Juni 2022   18:52 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Legenda Sang Nila Utama

Pada masa lalu, ketika itu Selat Malaka sudah menjadi alur layar kapal-kapal dari Timur Jauh, terutama China menuju India, Afrika dan sebaliknya. 

Dalam pelayaran tersebut, kapal-kapal sering singgah di pulau di ujung Semenanjung dan jarang penduduknya; pulau tersebut disebut "Pu-luo-chung" atau pulau di ujung Semenanjung.

Pada kurun waktu 1298-1299, para pelaut dari dari berbagai bangsa itulah, yang membangun pemukiman, tempat istirahat, pelabuhan, pasar, dan lain-lain. Mereka menamakan pemukiman baru tersebut Temasek atau "Kota Laut;" termasuk wilayah kekuasaan Sriwijaya.

Pada abad ke-14, seorang Pangeran (dan para pengawalnya) dari Palembang Sriwijaya berburu di Temasek. Ketika itu, pangeran melihat hewan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Sang Pangeran kemudian mengganti nama Temasek menjadi  Simhapura (Sansekerta: simha atau singa dan pura atau kota) atau Kota Singa; dari sebutan itu menjadi Singapura.


Singapore Modern

Sir Thomas Stamford Raffles atau Raffles, yang saat itu menjabat Letnan Gubernur Bencoolen (sekarang Bengkulu) mendarat di Singapore pada 29 Januari 1819. 

Ia melakukan perundingan para penguasa dan pengusaha Singapura (Tua-tua Melayu, Tuan Tanah, dan Pedagang) agar wilayah kosong di pulau tersebut ditata rapi seperti di Inggris.

Raffles kemudian menata ulang semuanya; termasuk membangun pos, pusat perdagangan, pangkalan armada AL Inggris, jalan raya dan lain-lain.  Sehingga menarik imigran dari Tiongkok, India, Kepulauan Nusantara, dan lainnya.

Tahun 1822, Raffles mencanangkan Raffles Town Plan, dikenal sebagai Jackson Plan, untuk mengatasi ketidakteraturan di Singapura. 

Jackson Plan merupakan pembagian wilayah untuk konsentrasi komunitas, (i) European Town dihuni oleh pedagang Eropa, Eurasia, dan orang Asia yang kaya-raya, (ii) Chinatoen untuk etnis Tionghoa, (iii) Kampong Chulia etnis India, (iv) Kampong Gelam untuk  bermukim di Kampong Chulia di utara Chinatown, dan Kampong Gelam untuk warga Muslim, etnis Melayu, dan Arab.

Berlanjut pada Era Kolonial, Singapura dan merupakan koloni Inggris; dan bergabung dengan Federasi Malaysia tahun 1963. Pada 9 Agustus 1965 memisahkan diri dengan Malaysia dan menjadi Negara Merdeka.

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination atau ICERD

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial merupakan Konvensi Universal dari PBB; ditandatangani 21 Desember 1965. Dan mulai berlaku pada 4 Januari 1969.

Negara-negara yang meratifikasi ICERD, wajib meniadakan diskriminasi ras atau segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai tujuan merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat lainnya.

Sekaligus mengutuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, kewarganegaraan atau etnis, dan menyerukan kepada seluruh negara untuk membuat kebijakan penghapusan diskriminasi rasial dalam segala bentuk.

Komitmen Singapura Melaksanakan ICERD

Singapura meratifikasi ICERD pada 2017; dengan komitmen melestarikan masyarakat multirasial, di mana setiap orang adalah setara, tidak peduli ras, bahasa, ataupun agamanya. Serta, sebagai upaya untuk meningkatkan harmoni rasial dan agama di Singapura.

Pada waktu itu, Menteri Kebudayaan, Masyarakat, dan Pemuda Singapura, Grace Fu, menyatakan bahwa, "Selama 50 tahun terakhir, kita telah mendirikan Singapura di mana setiap warganya penting, tanpa memandang ras, bahasa, atau agama. 

Ini telah jadi pendekatan dasar untuk pembangunan bangsa dan akan terus membimbing kita ke masa depan. Penandatanganan ICERD berarti menetapkan komitmen kami untuk tujuan ini, demi menunjukkan dengan tegas bahwa diskriminasi rasial tidak punya tempat di Singapura." 

Presiden Singapura | Antara
Presiden Singapura | Antara
Bogor, Jawa Barat | Satu Dua Hari ini, jagad maya Nusantara cukup ramai dengan peristiwa ketegasan Singapura menolak rombongan orang (dari) Indonesia yang mereka kategorikan sebagai "tak layak berkunjung di Singapura."

Itu adalah hal biasa dalam keimigrasian suatu Negara, dan tak bisa diintervensi oleh siapapun. Justru, yang jadi ramai adalah orang-orang di Indonesia; mereka berkomentar simpang siur, bahkan dengan kata-kata yang "aduhai."

Ketika, saya, menelusuri sejumlah komentar dan reaksi (cenderung reaktif) tersebut, membuat heran, lucu, tertawa sendiri, sekaligus prihatin. Itu karena ada juga elite politik (dan keagamaan) yang ikut berkomentar miring; jika rakyat bisa, saya bisa maklumi. 

Mengapa bisa seperti itu? Agaknya reaksi Orang Indonesia terhadap penolakan tersebut, 99 % tidak tahu alasan "mengapa Singapura menolak." Mereka hanya terpaku pada, "Kok Menolak, Keangkuhan Rasial, Meremehkan, dan Merendahkan, dan lain sebagainya." Yah, gitu deh!

Padahal, apa yang dilakukan Singapura tersebut sudah benar, tepat, dan tegas. Itu karena komitmen mereka terhadap International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. 

Jadi, siapapun, jika berdasarkan rekab dan jejak Dunia Nyata dan Dunia Maya, nyata-nyata atau terbukti melanggar ICERD pasti ditolak masuk Singapura. Jelas dan Paham?

So, sadulur-sadulurku, sebagai Rakyat, Bangsa, dan Negara, monggo, tak perlu ramai dan ikut debat tak berujung tentang penolakan Singapura. Itu adalah hak, ketegasan mereka. Semua elemen di Negeri Singapura berkewajiban menjaga harmoni dan keharmonisan sosial, masyakarat, serta hidup dan kehidupan.

Jadi ingat

"Saya berjanji untuk melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk melayani masyarakat Singapura dan itu tidak berubah, apakah ada pemilu  atau tidak ada pemilu.

Semangat dan komitmen saya untuk melayani rakyat Singapura tetap sama. Saya tetap berkomitmen penuh untuk melayani Singapura."

(Halimah Yacob, Presiden Singapura | Opa Jappy, September 2017)

Cukuplah

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun