Siapa yang memunculkan? Tak lain, tak bukan, yaitu aparat kepolisian. Sehingga bisa dikatakan bahwa Polisi melakukan penangkapan, kemudian ada publikasi ke media; setelah sebagian besar kasusnya tenggelam. Atau, tidak berlanjut ke ranah pengadilan. Dengan demikian, yang terjadi adalah para pelaku tidak pernah jera, sehingga mengulang lagi. Pasa masa yang baru, muncul lah orang lain, dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Dengan pola-pola seperti itu, maka sejak doeloe, tahun 1980an hingga kini, mereka yang menjajakan kenimatan selalu ada dan timbul tenggelam. Bahkan, modos operandi nya pun semakin canggih seiring dengan perkembangan IT.
Karena perkembangan IT itulah, maka, misalnya kasus VA di Jatim, berita tentang prostitusi dan juga selingkuh, afair, dan lain-lain (apalagi melibatkan atau dilakakukan orang terkenal) dengan mudah tersebar ke mana-mana, berbagai penjuru, dan menembus ruang pribadi publik.
Akibatnya, sesuatu yang tadinya rahasia dan aib, menjadi terang benderang di area dan arena publik. Sekali lagi, contoh yaitu VA di Surabaya, tiba-tiba, jutaan orang mengenal namanya; dan sekaligus mencaci maki dirinya.
Ok lah, VA itu salah dan sudah bersalah; namun apakah publik harus menimpa bara api ke atas kepalanya?
Lalu, bagaimana dengan mereka yang sekian lama 'membeli atau membayar jasa kenikmatan' dari VA? Mungkin, tidak ada satu orang pun mencaci mereka.
Itu baru satu kasus yang terbaru; berdasar pengalaman saya, cacian seperti itu, terutama ke pihak perempuan, telah terjadi sejak lama. Dalam arti, hanya perempuan yang menjadi objek dan sasaran amarah; namun para pembelinya lolos dari dari perhatian dan cacian.
Berdasar semuanya itu, yang terjadi adalah ketidakadilan dan ketidakseimbangan punishment publik karena faktor gender. Publik dengan mudahnya mencaci salah satu pihak pelaku prostitusi karena ia atau dia perempuan; padahal dua pihak yang melakukan prostitusi.
Ketidakadilan dan ketidakseimbangan penghukuman tersebut, agaknya muncul dari value dikotomi gender laki-laki dan perempuan.
Pada konteks itu, perempuan dinilai sebagai makhluk yang tabah berserah, santun, lemah gemulai, pasrah, dan lain sebagainya. Sementara itu, laki-laki sebagai gender unggulan, maskulin, berkuasa, kerja keras, mendatangkan uang, mudah tergoda, dan seterusnya. Oleh karena itu, laki-laki hanya bisa jatuh atau membeli kenikmataan karena ada perempuan yang menawarkan.
Jadinya, seperti lebih dulu ada, ayam atau telur dan telur atau ayam.