Hampir semua terdakwa korupsi dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pidana utama melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedang pidana penyertaan menggunakan KUHP. Pelaku pidana penyertaan hanya bisa dihukum jika pidana utama terbukti.
Sementara itu, unsur-unsur dalam pidana utama yang harus dibuktikan oleh penuntut umum adalah (1) adanya kerugian negara, (2) adanya keuntungan bagi diri sendiri dan/atau pihak lain, dan (3) pelanggaran hukum. Jika penuntut umum bisa menyakinkan hakim bahwa semua unsur itu terbukti, maka tentulah terdakwa bisa dijatuhi hukuman.
Soal tidak ada kesengajaan, punya reputasi baik, punya integritas atau lainnya, bukan menjadi ‘unsur’ yang berpengaruh dalam pembuktian. Semuanya memang bisa membentuk persepsi publik mengenai seseorang, tetapi sama sekali bukan pertimbangan dalam pembuktian kasus korupsi. Â
Lalu bagaimana dengan ‘pengeluaran’ atau kerugian negara dalam program-program pemerintah? Misalnya dalam program subsidi bahan bakar minyak (yang katanya ‘merugikan negara’ ratusan trilyun)? Atau program bantuan sosial? Program bantuan makan bergizi?
Tentu dikembalikan pada kerangka pembuktian unsur-unsur pidananya. Jika salah satu dari tiga unsur dalam pasal korupsi tersebut tidak terbukti, maka maka tindakan itu tidak bisa disebut pidana korupsi.
Cemanaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI