Kasus Pertama
Adakah Korupsi Rp 1,25 triliun di BUMN X? Begitulah judul surat terbuka yang ditulis seorang sobat saya. Dia menulis bahwa istrinya Juli 2025 diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama dua direksi BUMN X yang lain. Mereka tahun 2022membeli suatu perusahaan lain senilai Rp 1,27 triliun dan kini diadili sebagai terdakwa korupsi Rp 1,25 triliun.
Menurut sobat saya, istrinya tidak melakukan kejahatan apa pun. Mereka justru berusaha memberi pelayanan sebaik mungkin, termasuk bagi warga di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Katanya, dengan mengakuisisi perusahaan pesaing, pangsa pasar BUMN X meningkat menjadi 33,5 persen.
Kasus Kedua
Majelis hakim yang mengadili (Jumat 18/7/2025) menyatakan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menghukum Tom Lembong dengan pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp750 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan. Sidangnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Dennie Arsan Fatrika.
Tom Lembong adalah ekonom kelas dunia lulusan Harvard, mantan bankir investasi global, dan mantan menteri yang menjaga integritas. Ada yang menyoroti, Tom tersandung korupsi gegara impor gula. Lalu beredarlah data tentang impor gula Indonesia selama beberapa perioda menteri perdagangan.
Semasa Tom Lembong berjabatan Menteri Perdagangan, Indonesia mengimpor gula 5 juta ton. Penggantinya, ‘mengimpor’ gula 15 juta ton. Menteri Perdagangan berikutnya, ‘mengimpor’ gula 9,5 juta ton. Menteri Perdagangan selanjutnya, ‘mengimpor’ gula 13 juta ton. Menteri Perdagangan setelah itu, ‘mengimpor’ gula 18 juta ton. Kok yang lain tidak diadili juga?
Kasus Ketiga
Teman saya pejabat cukup tinggi di sebuah lembaga negara. Suatu hari dia diperintah oleh atasannya mengambil uang dalam nilai cukup besar dari suatu Yayasan di lingkungan lembaga negara itu. Dia juga diperintah menyerahkan uang tersebut kepada suatu pihak. Masing-masing ada tanda terimanya, nilainya klop. Artinya, teman saya tidak mengambil keuntungan satu peser pun.
Belakangan, atasannya diadili karena kasus korupsi. Dan uang yang diserahterimakan oleh teman saya, merupakan bagian dari bukti tindak korupsi tersebut. Atasannya dihukum empat tahun enam bulan, tapi kemudian dapat remisi. Teman saya diadili sebagai orang yang ‘turut serta’ dan terbukti bersalah sehingga dia menjalani hukumannya sampai sekitar empat tahun.
Kasus Keempat
Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) Hotasi D.P. Nababan mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999. “Saya menjalani penjara empat tahun kerugian materialnya besar, masa depan saya sulit atas suatu kasus tindakan pihak lain yang merugikan pihak PT Merpati,” ujar Hotasi dalam sidang pendahuluan pada Kamis (28/11/2024), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Hotasi Nababan merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang setelah menjalani proses persidangan kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2013. Namun, berdasarkan Putusan Tingkat Kasasi pada 2014/2015, Hotasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga Pemohon dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200 juta.
Hotasi Nababan juga alumnus Boston seperti Tom Lembong, profesional berintegritas tinggi yang sempat menjadi direktur utama BUMN. Ada yang bilang dia sejatinya tidak berniat buruk atau sengaja melakukan korupsi pribadi. Hotasi dinilai terjerat korupsi karena sistem yang tidak memungkinkan seseorang bekerja secara profesional yang benar.
Kasus-kasus lain
Mantan Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI), Sumita Tobing, ditangkap tim Kejaksaan Agung (Kamis 13/3/2014) di kantor Pusat Jaktv, Kompleks Perniagaan SCBD, Jakarta Pusat. Sumita Tobing dijatuhi hukuman pidana penjara selama satu tahun enam bulan dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan karena terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan peralatan siaran TVRI yang merugikan negara sebesar Rp12,4 miliar. Kejagung pada 2 Mei 2012, pernah gagal mengeksekusi Sumita Tobing karena adanya adanya dua nomor registrasi yang berbeda pada putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor registrasi 856 dan nomor registrasi 857. Putusan MA dengan nomor perkara 856/K/Pidsus/2009 mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Sumita Tobing bersalah. Sedang putusan No 867/K/Pidsus/2009 seolah-olah menyatakan permohonan Sumita Tobing diterima. “Tidak pernah ada dua putusan, hanya ada kesalahan penomoran,” ujar pimpinan MA, “Nomor perkara 857/K/Pidsus/2009 atas nama Tarmidji dengan majelis hakim agung yang diketuai Andi Ayub Abu Saleh, sementara nomor 856/K/Pidsus/2009 atas nama Sumita Tobing dengan majelis hakim agung yang diketuai Artidjo.”
Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang dihukum sembilan tahun. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” kata Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 24 Juni 2024.
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji pertengahan tahun 2021 dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, dia dihukum tujuh tahun penjara dalam kasus korupsi Rp 173 miliar. Mabes Polri tahun 2015 mengusut pembelian bahan bakar PLN yang terjadi tahun 2010 dan menetapkan Nur Pamudji menjadi tersangka. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (13 Juli 2020) menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan kepada Nur Pamudji. Di tingkat banding, Nur Pamudji diperberat hukumannya menjadi tujuh tahun penjara. Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara itu dan menyatakan dalam putusan Kasasi Mahkamah Nur Pamudji terbukti telah melakukan perbuatan, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana sehingga ia tidak bersalah dan dibebaskan dari tuntutan hukum. Juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro menjelaskan hal itu Senin (19/7/2021).
Mantan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, divonis bebas oleh Majelis Hakim Tipikor (Senin 4/11/2019), karena tidak terbukti bersalah membantu dugaan transaksi suap proyek pembangunan PLTU Riau-1. Jaksa KPK menutut Sofyan dihukum lima tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar (31 Jul 2024) divonis pidana lima tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan pidana kurungan. Dia dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Masih bisa kita jejerkan banyak kasus korupsi lain yang melibatkan direksi BUMN. PT Jasa Marga dengan puluhan anak perusahaannya, juga merupakan sasaran yang tidak sulit ‘ditembak’ dengan pasal-pasal korupsi. Sebagian direksi anak perusahaan PT Jasa Marga memang sudah disidangkan gegara perkara-perkara korupsi.
Tiga unsur
Hampir semua terdakwa korupsi dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pidana utama melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedang pidana penyertaan menggunakan KUHP. Pelaku pidana penyertaan hanya bisa dihukum jika pidana utama terbukti.
Sementara itu, unsur-unsur dalam pidana utama yang harus dibuktikan oleh penuntut umum adalah (1) adanya kerugian negara, (2) adanya keuntungan bagi diri sendiri dan/atau pihak lain, dan (3) pelanggaran hukum. Jika penuntut umum bisa menyakinkan hakim bahwa semua unsur itu terbukti, maka tentulah terdakwa bisa dijatuhi hukuman.
Soal tidak ada kesengajaan, punya reputasi baik, punya integritas atau lainnya, bukan menjadi ‘unsur’ yang berpengaruh dalam pembuktian. Semuanya memang bisa membentuk persepsi publik mengenai seseorang, tetapi sama sekali bukan pertimbangan dalam pembuktian kasus korupsi.
Lalu bagaimana dengan ‘pengeluaran’ atau kerugian negara dalam program-program pemerintah? Misalnya dalam program subsidi bahan bakar minyak (yang katanya ‘merugikan negara’ ratusan trilyun)? Atau program bantuan sosial? Program bantuan makan bergizi?
Tentu dikembalikan pada kerangka pembuktian unsur-unsur pidananya. Jika salah satu dari tiga unsur dalam pasal korupsi tersebut tidak terbukti, maka maka tindakan itu tidak bisa disebut pidana korupsi.
Cemanaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI