Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kom Peng-tung, Sang 'Pejuang'

5 Mei 2017   07:55 Diperbarui: 5 Mei 2017   09:00 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Krompyaaaaaang! Nyaring sekali suara piring jatuh dan pecah di lantai. Seekor kucing kurus dan buduk melompat dari atas meja setelah menyenggol piring berisi potongan ikan. “Pentung saja kucing sialan itu...!” terdengar suara serak lelaki dari kamar pengap.

Tidak lama kemudian terdengar suara perempuan mengerang kesakitan. Lalu ucapan syukur meluncur dari bibir dukun beranak yang ada di samping tempat tidur. Sesaat kemudian, meledak tangis bayi. Lahirlah seorang bocah laki-laki, yang diberi nama Krompyang Pentung dan dipanggil Kom Peng-tung.

Peristiwa piring jatuh dari meja, teriakan agar kucing dipentung, erangan kesakitan perempuan dan lahirnya Kom Peng-tung, terjadi singkat di salah satu gang sempit di lingkungan Pasar Pagi, yang sekarang dikenal sebagai Asemka, di Jakarta. Kom Peng-tung kemudian tumbuh menjadi bocah lucu, lalu beranjak menjadi remaja yang cerdik.

Kesesakan hidup di gang sempit, mengajarkan Kom Peng-tung cara-cara mengubah halangan menjadi peluang.

***

Kom Pung-an kini mahasiswa semester enam di Kampus Hijau. Ia lahir di Lombok, tapi kini tinggal di Serpong, tidak jauh dari Kampus Hijau tempatnya berkuliah. Ayahnya lelaki kelahiran Pasar Pagi, sedang ibunya kelahiran Sukarara di Lombok.

Di Kampus Hijau, Kom Pung-an belajar tentang komputer. Ia tidak pernah kekurangan uang, karena ayahnya telah menyiapkan bangunan enam kamar yang disewa-sewakan sebagai tempat kos bagi mahasiswa. Dari persewaan tempat kos itulah, Kom Pung-an membiayai hidupnya sehari-hari.

Kom Pung-an juga tidak perlu pusing memikirkan biaya sekolah. Ayahnya, beroleh kredit tanpa agunan (KTA) dari Bank Berdikari dan pinjaman itulah yang deigunakan membayar uang kuliah. Kom Pung-an tidak perlu berkhawatir dirinya bakal kehabisan biaya hidup di pinggir Jakarta. Ayahnya cukup cerdik dan sudah memikirkan cara-cara membuat Pung-an bertahan.

***

Lingkungan Pasar Pagi mengajarkan Kom Peng-tung menjadi cerdik membawa diri dan pintar bicara sejak kecil. Pada umur belasan tahun, Kom Peng-tung sudah keluar masuk gang-gang sempit di Pasar Pagi menjajakan berbagai jenis obat. Mulai dari obat nyamuk, obat oles sampai obat kuat. Orang sulit membedakan apakah Kom Peng-tung sedang bicara serius atau tengah membual. Mimik wajahnya nyaris tidak berbeda sewaktu ia berkata serius maupun berbohong.

Lulus sekolah menengah, Kom Peng-tung langsung berkelana. Dari Glodok, ia berpetualang ke arah timur sampai ke Pulau Lombok. Di Pantai Senggigi, Kom Peng-tung remaja berkenalan dengan seorang janda yang usianya delapan tahun lebih tua. Kerinduan kepada ibu, dilampiaskan Kom Peng-tung dalam bentuk birahi kepada sang janda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun