Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tobat

29 Juli 2021   23:48 Diperbarui: 30 Juli 2021   00:19 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://4.bp.blogspot.com

Keluarga adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan padaku. Dalam setiap perjalanan, selalu ada harapan baik yang bisa kuberikan pada keluarga. Meski terkadang hanya mainan bekas yang bisa kuberikan pada anakku. Nyatanya kebahagiaan istri dan anak tak pernah bohong, ia penerang dalam semangatku. Senyum mereka adalah kebahagiaan yang tak bisa kubeli dengan rupiah.

Sebentar lagi aku akan tiba di rumah Bu Pujo. Tak jauh sebenarnya jarak antara rumahku dan rumah Bu Pujo. Hanya terpisah sungai dan aku harus meniti batas kebun kampung. Rumahku di kampung, sedangkan Bu Pujo di perumahan.

Usai melewati jembatan akan nampak pintu gerbang perumahan. Di perumahan itulah aku keluar masuk mengangkut sampah, membersihkan taman, mengerjakan perbaikan atap rumah, mengecat rumah dan terkadang juga memperbaiki saluran air. Apa saja yang penting bisa bekerja dan menghasilkan rejeki halal.

"Apa jadinya perumahan ini tanpa bapak" begitu sering kudengar orang-orang di perumahan memuji. Hidup di pinggiran kota dan berdampingan dengan perumahan memang diperlukan kehalian yang serba bisa. Serabutan, demikian pekerjaan yang kulakukan. Jika menghitung pendapatan mungkin tak akan cukup. Aku yakin bahwa Tuhan tak mungkin melupakanku, bekerja dengan ikhlas dan menerima rejeki apa adanya.

Tiba di ujung blok perumahan Bu Pujo kudapati banyak orang berkerumun. "Wah ada apa ini" aku penasaran. Langkah semakin kupercepat. Ingin segera tahu ada kejadian apa di sana.

"Bu Pujo kemalingan sepeda motor" kata seorang warga perumahan yang sempat kutanya.

"Maling? Bu Pujo?" tiba-tiba melintas pertanyaan yang membuatku was-was. Bukan masalah maling yang telah menggondol sepeda motor. Juga bukan karena ikut kesal terhadap satpam-satpam di perumahan yang hanya duduk-duduk di dalam pos. Harusnya mereka rutin keliling ke setiap jalan perumahan untuk memantau keamanan. Jangan mengandalkan CCTV. Apalagi sering terlihat hanya nongkrong, main catur, nonton tv atau bahkan terlelap di dalam pos.

Padahal satpam itu digaji rutin. Belum lagi mereka bergantian jaga. Sehingga tidak ada alasan capek atau lengah untuk mengawasi keamanan. Kalau sudah ada kejadian begini siapa yang disalahkan? Ah, mengapa aku ikut kesal. Beginilah kalau menilai orang lain, selalu lebih jelek dibanding diri sendiri.

Aku juga tak sedang memikirkan Bu Pujo yang saat ini sedang tertimpa kesusahan. Kemalingan adalah hal paling mengesalkan. Sudah pasti banyak imbasnya, emosional salah satunya. Berharap malingnya segera tertangkap dan sepeda motornya ditemukan.

Bahkan mungkin dengan peristiwa ini Bu Pujo sudah lupa tentang taman di rumahnya. Mungkin Bu Pujo juga tak ingat lagi dengan permintaan tadi pagi. Besok atau lusa lagi belum tentu kesedihan Bu Pujo reda. Rasanya tak tega saat sedih seperti ini tiba-tiba aku menagih pekerjaan. 

"Maling? Bu Pujo?" sekali lagi pertanyaan itu mengulang di keningku. Aku tertegun sejenak. Di antara kerumunan orang itu aku nyaris terdiam. Bukan memikirkan batal membersihkan taman Bu Pujo. Tapi, karena ingatanku pada dua belas tahun lalu, ketika awal berumah tangga dan belum memiliki pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun