Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berbagi Pengalaman Sederhana Menulis Puisi di Kompasiana

28 Oktober 2020   14:56 Diperbarui: 29 Oktober 2020   10:06 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.idntimes.com

Sebagai pembuka, saya bukanlah seorang penyair yang mahir dalam membuat syair. Saya juga bukan sastrawan dalam bidang puisi yang pintar menyusun kata-kata sastrawi.

Sebenarnya saya hanya pustakawan yang gemar membaca puisi dan sedang belajar menulis puisi melalui media Kompasiana. Itu saja. Boleh dibilang ini sebuah kegemaran yang berubah menjadi hobi.

Salah satu puisi saya beberapa waktu lalu diapresiasi dengan label ARTIKEL UTAMA, sebuah label yang sering diidam-idamkan kompasianer. Judulnya "PERTANYAAN DARI LAMPU KOTA."

Namun begitu tidak lantas puisi saya tersebut paling bagus. Puisi saya juga belum tentu sesuai kaidah sastra. Puisi saya hanyalah sebuah proses belajar yang akan saya bagikan disini. Proses sederhana yang selama ini saya lakukan sebelum menulis puisi di Kompasiana. Tujuannya hanya berbagi semata, bukan untuk membanggakan diri apalagi merasa pintar.

Sebelum lebih jauh, saya memilih Kompasiana sebagai wahana dalam menulis puisi karena bisa dibaca oleh banyak orang, baik oleh kompasianer atau bukan. Seandainya puisi-puisi itu saya unggah dalam blog pribadi, maka hampir pasti tulisan saya tidak memiliki makna apapun.

Saya sadar diri bukan penyair. Karya saya juga bukan yang ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai. Jadi, menurut saya, Kompasiana adalah wadah yang pas untuk mengekpresikan gagasan dalam bentuk tulisan agar memiliki manfaat bagi pembaca serta memperoleh apresiasi guna perbaikan karya-karya selanjutnya. Berikut saya mencoba membagikan proses saya menulis puisi dengan melalui lima tahapan, yaitu:

1. TEMA DAN REALITA YANG TERKAIT
Sebelum membuat puisi saya selalu menentukan tema terlebih dahulu, misal: "Hidup Bermanfaat Bagi Sesama". Dengan tema seperti itu saya mulai membaca berbagai tulisan baik dari buku, dari koran, dari majalah maupun artikel di internet. Salah satu hasil membaca tersebut, saya memetik satu pepatah atau peribahasa yang berbunyi: "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Makna secara umum peribahasa tersebut adalah: karena sebuah kesalahan kecil, maka akan rusak segalanya, termasuk kebaikan yang selama ini telah diperbuat.

Melalui tema tersebut, realita yang terjadi pada seseorang yang ingin mengabdikan diri sebagai orang bermanfaat bagi sesama tentu tak lepas dari prinsip-prinsip menolong atau berkorban. Namanya juga upaya baik dari seseorang, pasti juga tidak semulus yang diharapkan. Orang berbuat baik selalu dihadapkan pada rintangan, dihadapkan pada ujian. Tak ada apapun di dunia ini tanpa ujian. Begitu juga dalam menulis puisi. Tanpa tema tersebut saya akan mengalami kebuntuan kemana arah puisi, dan saya akan gagal memilah-milah diksi yang akan digunakan.

2. MEMBACA KARYA SASTRA (PUISI) LAIN
Salah satu cara efisien dan sederhana belajar menulis puisi adalah dengan membaca karya puisi lain. Terutama jika di Kompasiana rajin-rajinlah membaca puisi yang masuk kategori ARTIKEL UTAMA. Saya sendiri yakin dan menghargai pilihan Kompasiana dalam penentuan puisi yang masuk ARTIKEL UTAMA. Paling tidak puisi-puisi tersebut sudah melewati berbagai penilaian dari ahli atau orang yang memiliki kompetensi. Selanjutnya kumpulan puisi ARTIKEL UTAMA itu pula masih bisa diakses dalam tampilan kategori puisi. Hal ini memberi keuntungan bagi kompasianer yang belajar menulis puisi. Sehingga kumpulan puisi ARTIKEL UTAMA itu dapat dijadikan petunjuk atau arah mata angin, kira-kira demikianlah puisi yang bagus.

Saya sering mendapat pertanyaan bagaimana cara menulis puisi sehingga bisa terpilih ARTIKEL UTAMA? karena saya bukan admin Kompasiana, maka saya jawab dengan mudah, yaitu: Bacalah semua puisi yang masuk ARTIKEL UTAMA. Baca berulangkali dan jika perlu catat hal-hal yang menjadi bagian terindah dalam bait puisi tersebut. Sayangnya, banyak Kompasianer yang enggan melakukan itu, sebab ia bersikukuh bahwa menulis puisi harus sesuai pakem ini dan itu. Apalagi kalau yang "ngeyel" adalah guru Bahasa Indonesia (maaf ya, tidak semua guru seperti itu). Jika ada yang "ngeyel" saya akan balik bertanya "Ini Kompasiana, bukan pelajaran puisi di sekolah" (kok malah curhat ya?).

Biasanya penulis puisi yang masih baru menganggap bahwa puisi itu bait-bait dengan rima yang sama. Misal:

Aku senang berjumpa di(A)
Orangnya tampan lagi bijaksan(A)
Baik hati dan dewas(A)
Mengapa tiba-tiba aku mengaguminy(A)?
Apakah ini cint(A)?
ataukah khayalan semat(A)?

Jika akhiran kata di menggunakan huruf (A), maka selanjutnya tetap menggunakan huruf (A) sampai akhir. Ada pula yang menulis dengan cara dipaksa-paksakan memasukkan berbagai diksi agar terbaca rima yang sama. Menurut saya ini tidak apa-apa, meskipun sebenarnya penulis ini mencari aman saja. Ia tak berani keluar dari kungkungan rima. Hal itu wajar, saya dulu pertama kali menulis puisi juga melakukan hal seperti ini. Saya baru bisa lepas dari "jeratan" rima saat membaca beberapa karya puisi lain yang masuk ARTIKEL UTAMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun