Saat berhasil tiba di sana, saya tidak punya perbandingan sehingga minimnya fasilitas yang ada tidak terlalu menjadi masalah. Saat itu, informasi di dunia maya masih terbatas. Apalagi sosial media belum marak. Jadi, gambaran perpustakaan ideal di luar negeri yang bersih, canggih dan fasilitasnya lengkap belum saya ketahui.
Untuk ukuran perpustakaan provinsi yang tentu saja terbesar di Kota Palembang, harus diakui saat itu pun belum terlalu nyaman. Bukunya berdebu. Susunannya agak membingungkan -ya mungkin karena itu kunjungan perdana juga- dan belum terkomputerisasi pencariannya sehingga harus dilakukan manual.
Satu yang pasti, kami akhirnya mendapatkan buku yang dibutuhkan. Proses peminjamannya pun mudah, cukup menyerahkan copy kartu pelajar.
Kegiatan berkunjung ke perpustakaan daerah ini terus berlanjut hingga saya SMA. Walaupun perpustakaan di SMA dulu jauh lebih baik dan koleksi bukunya pun lumayan, tetap saja, di beberapa pelajaran, saya butuh lebih banyak referensi.
Biasanya, saya akan mendatangi dulu toko buku dan mencari info di sana. Jika sudah dapat, berbekal catatan akan judul dan penulisnya, saya mendatangi perpustakaan daerah untuk meminjam bukunya di sana. Tak selamanya mulus, kadang saya terpaksa membeli saat buku itu tidak ditemukan di perpustakaan.
Saat berkuliah, praktis hampir tidak pernah lagi saya mendatangi Perpustakaan Daerah ini. Sebab, perpustakaan kampus sudah dapat menjawab kebutuhan saya terhadap buku.Â
Belum lagi, tempatnya nyaman, dilengkapi pendingin ruangan dan internet super cepat. Hanya, bilik kubikelnya terbatas sehingga harus rebutan dengan mahasiswa lain.
Walau begitu, saya tak sepenuhnya meninggalkan Perpustakaan Daerah. Satu kali, saya sengaja datang dengan mengajak Rais, keponakan saya yang masih kecil. Rasanya, saat itu Rais baru awal-awal masuk SD.
Saya ingin memberikan satu pengalaman yang baru buatnya. Satu dunia yang selama ini belum pernah dikenalkan oleh orang tuanya -kakak saya. Yakni buku.