Logikanya, bila kendaraan bermotor adalah penyumbang terbesar polusi udara, maka perlu ada kebijakan agar bahan bakar yang digunakan masyarakat itu tidak menghasilkan polusi yang besar. Inilah momentum penggunaan BBM yang lebih sehat.
Sebagaimana diketahui, bahan bakar dengan oktan rendah (atau kualitas yang buruk) menghasilkan polutan yang lebih besar. Hal ini karena adanya pembakaran yang tidak sempurna, sehingga akan lebih banyak emisi gas buang Carbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) yang tidak ramah lingkungan.
Sebagai perbandingan, BioSolar subsidi memiliki angka cetane 48 keluaran kadar sulfur <3.500 ppm, Dexlite angka cetane 51 kadar sulfur <1.200 ppm, dan Pertamina Dex sebagai flaghship produk terbaik Pertamina, memiliki angka cetane 53 dan kadar sulfur sangat rendah <300 ppm.
Di sisi lain, peredaran gasoline yang RON-nya di bawah 90, atau gasoil yang cetane-nya di bawah 50, sebenarnya tidak memadai dengan kebutuhan mesin kendaraan bermotor saat ini.
Pasalnya, teknologi otomotif di Indonesia sebagian besar sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro2/II sejak 1 Januari 2007 dan Euro3 khusus sepeda motor sejak 1 Agustus 2013.
Karenanya, masyarakat membutuhkan BBM yang memenuhi spesifikasi teknologi kendaraan berstandard tersebut.
Untuk itu, seharusnya Pemerintah sudah menghapuskan jenis BBM yang memiliki nilai oktan rendah dan menggantikannya dengan spesifikasi yang sesuai. Tujuannya tak lain, agar masyarakat menggunakan BBM yang lebih sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan yang telah didesain memiliki emisi yang lebih rendah.
Mungkin itu salah satu kebijakan yang masuk akal agar kualitas udara di Jakarta tetap sehat, meski aktivitas masyarakat kembali normal lagi.