Mohon tunggu...
Bagus Suci
Bagus Suci Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat Pengetahuan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Suka belajar dan berbagi manfaat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

New Normal dan Kebijakan Mengurangi Polusi Udara

3 Juni 2020   13:12 Diperbarui: 3 Juni 2020   13:10 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit Bersih di Jakarta. Foto: Andreas Harsono (credit: mongabay.co.id)

Pandemi Covid-19, yang membuat masyarakat harus melakukan pembatasan sosial, ternyata membawa dampak baik pada lingkungan. Salah satunya membuat udara lebih bersih, terutama di DKI Jakarta.

Polusi udara di DKI Jakarta turun signifikan selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bahkan polusi itu turun ke level terendah dalam 3 tahun terakhir.

Merujuk data yang dihimpun oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI, Konsentrasi Maksimum PM2,5 menurun hingga 35,07 persen di 5 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU), khususnya saat pemberlakuan PSBB.

Yang jelas, Konsentrasi Maksimum PM2,5 di seluruh SPKU selalu memenuhi Baku Mutu Harian (<65ug/m3) saat PSBB diberlakukan.

Data tersebut juga diamini oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan BMKG, Siswanto, menjelaskan pemberlakuan work from home (WFH) dan PSBB telah menurunkan rata-rata konsentrasi karbondioksida (CO2) sekitar 47 ppm atau turun 9,8% dibandingkan tahun 2019.

"Kalau diperhatikan grafik  di mana CO2 pada tahun 2017 sampai 2019 pada Maret - April umumnya pada rentang konsentrasi sekitar 470 - 500 ppm. Pada periode yang sama di Maret-April tahun ini dapat turun pada kisaran 420 ppm di Jakarta," kata Siswanto seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (30/4).

Kondisi tersebut ternyata tidak terbatas di Ibukota saja, tetapi hampir terjadi di seluruh kota yang melakukan pembatasan sosial. Guru Besar Universitas Brawijaya, Prof Kurniatun Hairiah, dengan berpegang data WHO menunjukan bahwa pengurangan jumlah traffic berkontribusi pada cerahnya langit.

"Berdasarkan peta satelit, efek lockdown bisa dilihat pada perbedaan warna langit pada pada bulan Januari dan Februari. Jika pada Januari warna langit berwarna oranye atau merah maka pada bulan Februari warnanya langit sudah menjadi biru," katanya, seperti dikutip oleh Kompas, Kamis (7/5).

Korelasi Kendaraan Bermotor dan Polusi Udara 

PSBB dan WFH diduga kuat mempengaruhi penurunan kadar polusi udara secara signifikan. Berkurangnya mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor dianggap berdampak positif pada kualitas udara yang semakin baik.

Hal ini karena menurut sejumlah kajian, kendaraan bermotor berkontribusi paling banyak terhadap polusi udara.

Berdasarkan data inventarisasi DLH Jakarta, penyumbang polusi udara di Ibukota, antara lain, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik.

Di sisi lain, kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota terus meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan jumlah sepeda motor saja mencapai 5,3 persen/tahun, sedangkan mobil mencapai 6,48 persen tiap tahunnya.

INRIX, lembaga internasional yang meneliti masalah transportasi dan kemacetan di dunia pada 2017 menyebutkan, 10 kota termacet di Indonesia, yakni, Jakarta dengan lama waktu pengendara ketika macet sampai 63 jam dalam setahun, Bandung (46 jam), Malang (45 jam), Yogyakarta (45 jam), Padang (45 jam), Medan (42 jam), Pontianak (40 jam), Surabaya (37 jam), Semarang (37 jam) dan Denpasar (30 jam).

Kemudian, berdasarkan analisa data PM2.5 US AQI tahun 2019 di Jakarta Pusat, dengan tingkat kemacetan biasa terjadi pada Senin 07.00-08.00 dan Jumat 17.00-18.00 menunjukkan, rata-rata kualitas udara 104.67 g/m3.

Angka ini lebih tinggi dari rata-rata kualitas udara dalam satu tahun pada 2019, yakni 103.73 g/m3. Artinya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta mencapai 10 kali lipat dari batas aman tahunan standar WHO atau enam kali lipat dari batas aman KLHK.

Data-data tersebut mempertegas bahwa tingkat polusi udara di Jakarta memang banyak dipengaruhi oleh kendaraan bermotor.

Oleh karenanya, sungguh masuk akal ketika aktivitas kendaraan bermotor ini dikurangi karena adanya PSBB dan WFH, maka penurunan polusi udara juga terlihat signifikan.

Kebijakan untuk Mengurangi Polusi

Saat ini, pemerintah mulai beranjak untuk menuju fase "new normal" setelah masa pembatasan sosial. Ditandai dengan kembalinya aktivitas masyarakat seperti biasa.

Meski seakan baik untuk perekonomian, tapi kondisi tersebut juga berpotensi untuk mengembalikan polusi udara seperti sedia kala.

Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang komprehensif dari pemerintah untuk menjaga kualitas udara agar tetap sehat di masa "new normal" ini. Salah satunya dengan mendorong penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Logikanya, bila kendaraan bermotor adalah penyumbang terbesar polusi udara, maka perlu ada kebijakan agar bahan bakar yang digunakan masyarakat itu tidak menghasilkan polusi yang besar. Inilah momentum penggunaan BBM yang lebih sehat.

Sebagaimana diketahui, bahan bakar dengan oktan rendah (atau kualitas yang buruk) menghasilkan polutan yang lebih besar. Hal ini karena adanya pembakaran yang tidak sempurna, sehingga akan lebih banyak emisi gas buang Carbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) yang tidak ramah lingkungan.

Sebagai perbandingan, BioSolar subsidi memiliki angka cetane 48 keluaran kadar sulfur <3.500 ppm, Dexlite angka cetane 51 kadar sulfur <1.200 ppm, dan Pertamina Dex sebagai flaghship produk terbaik Pertamina, memiliki angka cetane 53 dan kadar sulfur sangat rendah <300 ppm.

Di sisi lain, peredaran gasoline yang RON-nya di bawah 90, atau gasoil yang cetane-nya di bawah 50, sebenarnya tidak memadai dengan kebutuhan mesin kendaraan bermotor saat ini.

Pasalnya, teknologi otomotif di Indonesia sebagian besar sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro2/II sejak 1 Januari 2007 dan Euro3 khusus sepeda motor sejak 1 Agustus 2013.

Karenanya, masyarakat membutuhkan BBM yang memenuhi spesifikasi teknologi kendaraan berstandard tersebut.

Untuk itu, seharusnya Pemerintah sudah menghapuskan jenis BBM yang memiliki nilai oktan rendah dan menggantikannya dengan spesifikasi yang sesuai. Tujuannya tak lain, agar masyarakat menggunakan BBM yang lebih sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan yang telah didesain memiliki emisi yang lebih rendah.

Mungkin itu salah satu kebijakan yang masuk akal agar kualitas udara di Jakarta tetap sehat, meski aktivitas masyarakat kembali normal lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun