Konten dangkal sering kali tidak memberi ruang bagi otak untuk merenung. Studi oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows menjelaskan bahwa konsumsi informasi cepat mengganggu proses refleksi dan berpikir mendalam. Ini membuat pelajar cenderung menyerap informasi hanya permukaannya saja tanpa benar-benar memahami atau menganalisisnya secara kritis.
5. Disregulasi Emosi dan Kecemasan Akademik
Brain rot juga memengaruhi regulasi emosi.
Penelitian dari Journal of Behavioral Addictions menemukan bahwa penggunaan berlebihan media sosial dikaitkan dengan kecemasan, perasaan cemas saat tidak bisa mengakses gawai, dan gangguan konsentrasi saat belajar. Ini menciptakan siklus negatif antara gangguan emosi dan produktivitas belajar.
6. Penurunan Neuroplastisitas Otak
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk beradaptasi dan membentuk koneksi baru. Studi dari Frontiers in Human Neuroscience menyebutkan bahwa kurangnya stimulasi kognitif mendalam akibat konten digital dangkal dapat memperlambat proses neuroplastisitas.
Hal ini berdampak pada berkurangnya kemampuan belajar konsep baru atau beradaptasi dengan materi yang lebih kompleks.
Fenomena brain rot bukan sekadar istilah internet, tapi nyata adanya dan berdampak pada kesehatan, termasuk kesehatan kognitif kita. Dengan memahami bagaimana konten digital memengaruhi perhatian, memori, dan motivasi belajar, sudah saatnya kita bisa lebih bijak dalam mengatur penggunaan media sosial.
Belajar bukan hanya soal disiplin, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi otak untuk fokus, berpikir, dan berkembang tanpa gangguan. Saatnya kita mulai detox digital secara berkala dan melatih otak untuk kembali mencintai proses belajar yang dalam dan bermakna.