Mohon tunggu...
Olvia Nursaadah
Olvia Nursaadah Mohon Tunggu... Writer

Meneliti, Mengabdi, Mengajar. Hobi: Nonton badminton, sepak bola, voly, baca, dan nulis apapun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

6 Dampak Brain Rot Terhadap Kemampuan Belajar dan Fokus

29 Juli 2025   14:15 Diperbarui: 29 Juli 2025   14:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Brain RotSumber: https://id.pinterest.com/pin/738449670185554077/

Di era digital, kita dikelilingi oleh konten instan yang terus-menerus menuntut perhatian. Fenomena ini dikenal sebagai brain rot. Istilah "brain rot" baru-baru ini dipopulerkan Oxford Word of the Year 2024 untuk menggambarkan penurunan kemampuan kognitif akibat konsumsi konten daring yang dangkal.

Istilah brain rot sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh Thoreau pada abad ke-19 untuk merujuk pada merosotnya kemampuan berpikir kritis, namun sekarang bermakna layaknya kelelahan otak akibat paparan konten digital cepat.

Salah satu gejala brain rot adalah menghabiskan berjam-jam menatap layar smartphone, cemas bila jauh dari smartphone dan koneksi internet, dan makin sulit focus. Meskipun tampak sepele, kebiasaan ini ternyata berdampak nyata terhadap cara otak kita belajar dan memusatkan perhatian.

Penelitian dalam psikologi kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa overstimulasi digital bisa mengganggu fokus, memori kerja, dan kemampuan berpikir mendalam. Lalu, bagaimana sebenarnya brain rot dapat memengaruhi proses belajar kita?

Yuk baca selengkapnya 6 dampak brain rot terhadap kemampuan belajar dan focus!

1. Menurunkan Tingkat Fokus

Scrolling sosial mediaSumber: https://pixabay.com/photos/touch-screen-mobile-phone-ipad-1023966/
Scrolling sosial mediaSumber: https://pixabay.com/photos/touch-screen-mobile-phone-ipad-1023966/

Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi konten cepat seperti TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Short mengondisikan otak untuk terus mencari stimulasi baru.

Didukung oleh hasil studi yang dilakukan oleh University of California, San Diego (Herbert Wertheim School of Public Health), bahwa mahasiswa yang menggunakan media sosial secara berlebihan memiliki peningkatan 53% kemungkinan mengalami rentang perhatian yang lebih pendek saat kuliah. Mahasiswa lebih mudah kehilangan fokus hanya dalam 10--15 menit presentasi

Paparan cuplikan video singkat berulang kali mengoverstimulasi proses kognitif, menurunkan kapasitas untuk fokus yang relative panjang dan berkelanjutan.

Ini menyebabkan penurunan kemampuan belajar yang memerlukan ketekunan, seperti membaca atau mengerjakan soal kompleks.

2. Gangguan Memori Kerja

Ilustrasi memori otakSumber: https://id.pinterest.com/pin/352477108307912458/
Ilustrasi memori otakSumber: https://id.pinterest.com/pin/352477108307912458/

Working memory adalah sistem yang menyimpan dan mengolah informasi jangka pendek. Studi dari Psychonomic Bulletin & Review mengungkapkan bahwa multitasking digital dapat melemahkan kapasitas working memory, sehingga siswa menjadi lebih mudah lupa atau gagal menghubungkan konsep-konsep penting dalam proses belajar. Akibatnya, belajar jadi lebih lambat dan kurang mendalam.

Heavy multitaskers cenderung memiliki perhatian yang meluas (broad attentional scope), yang menyebabkan mengganggu dan mempersulit memori kerja untuk menyimpan informasi penting terkait tugas.

3. Ketergantungan terhadap Stimulasi Eksternal

Ilustrasi ketergantungan scrolling medis sosialSumber: https://id.pinterest.com/pin/703687510565068009/
Ilustrasi ketergantungan scrolling medis sosialSumber: https://id.pinterest.com/pin/703687510565068009/

Fenomena brain rot dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap stimulasi eksternal, terutama dari konten visual dan audio yang cepat berubah. Aktivitas ini memicu pelepasan dopamin secara instan, menciptakan rasa puas sesaat.

Hasil pemindaian fMRI mengungkap bahwa penggunaan media sosial berlebihan berkaitan dengan penurunan konektivitas fungsional pada jaringan eksekutif di korteks frontoparietal -jaringan yang mengatur perencanaan dan perhatian-.

Dengan kata lain, overstimulasi dopamin membuat kontrol inhibisi melemah sehingga pengguna lebih sulit membatasi diri, lebih mudah teralihkan, dan sering menunda tugas penting.

Setiap notifikasi baru memicu lonjakan dopamin di otak, menghasilkan rasa puas sesaat. Penelitian terbaru mengemukakan bahwa interaksi media sosial secara terus-menerus dapat mengubah jalur dopamin, menciptakan ketergantungan yang mirip kecanduan zat adiktif.

4. Menurunnya Kemampuan Refleksi dan Berpikir Kritis

Menurunya berpekir kritisSumber: https://id.pinterest.com/pin/277675133270959377/
Menurunya berpekir kritisSumber: https://id.pinterest.com/pin/277675133270959377/

Konten dangkal sering kali tidak memberi ruang bagi otak untuk merenung. Studi oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows menjelaskan bahwa konsumsi informasi cepat mengganggu proses refleksi dan berpikir mendalam. Ini membuat pelajar cenderung menyerap informasi hanya permukaannya saja tanpa benar-benar memahami atau menganalisisnya secara kritis.

5. Disregulasi Emosi dan Kecemasan Akademik

Disregulasi emosiSumber: https://id.pinterest.com/pin/597219600624709079/
Disregulasi emosiSumber: https://id.pinterest.com/pin/597219600624709079/

Brain rot juga memengaruhi regulasi emosi.

Penelitian dari Journal of Behavioral Addictions menemukan bahwa penggunaan berlebihan media sosial dikaitkan dengan kecemasan, perasaan cemas saat tidak bisa mengakses gawai, dan gangguan konsentrasi saat belajar. Ini menciptakan siklus negatif antara gangguan emosi dan produktivitas belajar.

6. Penurunan Neuroplastisitas Otak

NeuroplastisitasSumber: https://id.pinterest.com/pin/50032245855145979/
NeuroplastisitasSumber: https://id.pinterest.com/pin/50032245855145979/

Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk beradaptasi dan membentuk koneksi baru. Studi dari Frontiers in Human Neuroscience menyebutkan bahwa kurangnya stimulasi kognitif mendalam akibat konten digital dangkal dapat memperlambat proses neuroplastisitas.

Hal ini berdampak pada berkurangnya kemampuan belajar konsep baru atau beradaptasi dengan materi yang lebih kompleks.

Fenomena brain rot bukan sekadar istilah internet, tapi nyata adanya dan berdampak pada kesehatan, termasuk kesehatan kognitif kita. Dengan memahami bagaimana konten digital memengaruhi perhatian, memori, dan motivasi belajar, sudah saatnya kita bisa lebih bijak dalam mengatur penggunaan media sosial.

Belajar bukan hanya soal disiplin, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi otak untuk fokus, berpikir, dan berkembang tanpa gangguan. Saatnya kita mulai detox digital secara berkala dan melatih otak untuk kembali mencintai proses belajar yang dalam dan bermakna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun