"Ketika Akademisi Masuk Pasar: Antara Komersialisasi dan Etika Intelektual"
Oleh: Olan Yogha Pratama
Di tengah gemuruh transformasi digital dan tuntutan zaman, akademisi kini tidak hanya berkutat dalam ruang-ruang kelas atau jurnal ilmiah. Mereka mulai tampil di webinar berbayar, menjual kelas online, membuat konten edukasi di media sosial, bahkan menawarkan jasa konsultasi berlabel "ilmiah". Sebagian menganggap ini sebagai inovasi. Sebagian lain menyebutnya sebagai gejala "akademisi masuk pasar".
Pertanyaannya: apakah ini bentuk kemajuan, atau justru kemunduran nilai-nilai akademik?
Akademisi dan Fungsi Kontrol
Secara klasik, akademisi adalah penjaga nilai-nilai intelektual. Tugas utamanya adalah menjaga obyektivitas, membangun pengetahuan, dan menjadi suara kritis terhadap masyarakat maupun kebijakan. Dengan kata lain, akademisi adalah fungsi kontrol, bukan pedagang di pasar ide.
Namun kini, logika pasar mulai mengintervensi ruang akademik. Gelar, jabatan, publikasi, dan karya ilmiah sering kali dinilai berdasarkan "impact factor", jumlah viewers, atau nilai jual di media sosial. Dosen bisa viral bukan karena gagasannya, tapi karena teknik marketingnya. Ini menimbulkan pertanyaan etik: apakah kita sedang mendidik, atau menjual?
Pasar Tidak Selalu Buruk
Namun kita juga perlu jujur: pasar bukan musuh. Dalam banyak kasus, pendekatan pasar justru membuat ilmu pengetahuan lebih terjangkau dan membumi. Akademisi yang membuat kursus daring, menulis buku populer, atau berbicara di podcast edukatif, dapat menjangkau lebih banyak orang dibanding jurnal ilmiah yang hanya dibaca segelintir kalangan.
Pasar bisa menjadi medium. Yang salah adalah ketika pasar menjadi satu-satunya motif.