Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makanan sebagai Identitas Bangsa Indonesia

27 September 2018   17:08 Diperbarui: 27 September 2018   17:10 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harian Kompas tertanggal 4 Maret 2017 memuat tulisan dari Gani A. Jaelani yang meresensi buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia yang ditulis oleh sejarawan kuliner Fadly Rahman.

Pendedahan buku tentang sejarah makanan Indonesia yang ternyata memiliki proses panjang tersebut menampilkan aspek-aspek kuliner, budaya, politik, dan historis tentunya. Makanan tak lagi menjadi urusan perut semata. Melainkan menjadi identitas sebuah bangsa.

Fadly Rahman dalam bukunya Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 menuturkan bahwa makanan Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh bangsa-bangsa asing yang berlalu lalang di negeri kepulauan ini.

Khususnya orang Eropa. Eropa disini diwakili oleh Belanda sebagai kolonialis Indonesia telah turut serta membantu sebuah paduan budaya Barat dan pribumi yang kelak lebih dikenal dengan sebutan kebudayaan Indis.

Salah satunya budaya makan yang bernama rijstaffel (Inggris: rice-table). Sajian makanan pribumi khususnya nasi yang bersanding secara mewah dengan berbagai macam makanan khas Barat.

Hotel Des Indes di Batavia dan Hotel Savoy Homann di Bandung merupakan salah dua hotel yang menjadi pionir rijstaffel di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Berbicara tentang nasi yang berasal dari beras menjadi sangat religius ketika dikaitkan dengan mitos Dewi Sri, sang dewi padi (Herayati 1993: 36). Ada sebuah ungkapan dalam masyarakat Sunda yang berbunyi ulah sok miceunan sangu bisi ceurik (jangan suka membuang-buang nasi, nanti menangis).

Hal ini biasa diucapkan orang tua kepada anak-anak ketika mereka tidak menghabiskan makanannya. Secara rasional hal ini tidak akan mungkin terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk ajaran tentang rasa bersyukur terhadap sesuatu yang penting dalam kehidupan. Dalam hal ini makanan.

Makanan-makanan yang kita kenal sekarang contohnya seperti kari, gulai sebenarnya adalah hasil dari pengaruh makanan khas dari India dan Arab. Kuliner daratan Tionghoa pun tak luput membentuk wajah kuliner Indonesia masa kini.

Bakso, siomay, kwetiauw, nasi goreng, capcay, cuanki, adalah beberapa makanan khas Tionghoa yang sudah membumi di Indonesia ini. Perkedel, bistik, adalah contoh lain makanan Indonesia yang terpengaruh dari kuliner khas Barat.

Selain makanan lintas bangsa yang turut membentuk wajah kuliner Indonesia masa kini, tak luput makanan berbagai daerah di Indonesia turut memperkaya khazanah kuliner bangsa kita.

Biasanya nama daerah asalnya melekat di nama makanan tersebut. Contohnya, Gudeg Yogya, Soto Madura, Tahu Sumedang, Tauco Cianjur, Peuyeum Bandung, Sate Madura, Coto Makassar, Rendang Padang, Kupat Tahu Singaparna. Ini merupakan sedikit contoh makanan berbagai daerah khas Indonesia.

J. Kuntaraf dan Kathleen Liwijaya Kuntaraf dalam bukunya Makanan Sehat (1985) memberikan pendapat yang menarik guna kemakmuran bangsa Indonesia dalam bidang makanan. Menurut mereka makanan terbaik bagi bangsa ini dengan menggunakan pendekatan nutrisi adalah sayur-sayuran dan kacang-kacangan.

Lebih jelasnya menjadi seorang vegetarian. Mereka menyodorkan data kuantitatif bahwa satu hektar tanah bila ditanami tumbuh-tumbuhan bisa menghasilkan 1.600.000 kalori bila dibandingkan beternak hewan yang hanya dapat menghasilkan 400.000 kalori untuk konsumsi manusia. Suatu gagasan yang menarik. Namun, bila ditilik secara historis akan sulit rasanya mewujudkan ide agar bangsa ini  menjadi "bangsa vegetarian".

Citra makanan Indonesia pun terekam dalam sebuah lagu berjudul Geef Mij Nasi Goreng (Beri Saja Aku Nasi Goreng). Lagu ini dipopulerkan oleh Wieteke van Dort (dalam Rahman 2011: 87).

Lagu ini merupakan bagian dari sebuah album berjudul Werzien Met Indie (Berjumpa Lagi dengan Hindia). Wieteke sendiri mengalami masa kecil di Indonesia. Lagu-lagunya dalam album itu menyiratkan kenangan tentang Hindia Belanda dengan makanannya, kehidupan bersama pribumi, dan tanah kelahiran.

Pada awal dekade 1960-an, Soekarno dengan ambisius mencanangkan pembuatan sebuah buku yang kelak terbit pada tahun 1967 ketika Soekarno telah lengser dari kursi kepresidenan. Buku tersebut merupakan kumpulan resep masakan berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Buku yang lahir dengan judul Mustika Rasa tersebut memuat lebih dari 1000 macam resep masakan khas Indonesia dari berbagai daerah. Pulau Jawa mendominasi penyumbangan resep masakan dengan angka hampir 450 resep.

Kayanya bangsa Indonesia dengan makanan yang turut serta membentuk sejarahnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Makanan sudah menjadi suatu identitas nasional. Sudah sepatutnya kita sebagai pewaris berbagai makanan tersebut bersyukur. Makanan tersebut tak bisa dilepaskan dari basis material yang ada di alam yang mana turut menentukan jenis makanan yang kelak tercipta.

Berkelindannya berbagai macam kuliner hasil budaya bangsa lain dalam makanan Indonesia masa kini sejatinya merupakan sebuah proses sejarah yang panjang (longue duree). Kuliner Indonesia bisa dikatakan cukup kaya ragamnya.

Pertautan budaya Barat, Arab, Tionghoa dan tentu saja pribumi dalam makanan Indonesia sudah sepatutnya menjadi identitas nasional kita. Tak lagi menyandarkan makanan pada rasa etno-nasionalisme. Tetapi pada rasa nasionalisme itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Jean Anthelme Brillat-Savarin (dalam Rahman 2016: 283) bahwa "takdir setiap bangsa bergantung dari apa yang mereka makan".

  Rijstaffel di Hotel des Indes. Sumber foto: https://tempodoeloe.com/2011/09/18/makan-besar-itu-bernama-rijsttafel/, diakses Senin, 24 September 2018 10.20 WIB.

Oky Nugraha Putra

Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun