Sejarah saya dengan buku sudah dimulai sejak saya lancar membaca.
Awalnya, saya hanya membaca buku-buku pelajaran dan semua benda yang bisa dibaca: koran, majalah, plang jalan, papan reklame, kertas undangan, kertas bekas bungkus sayur dan cabe, dsb. Sesekali, jika ada teman atau saudara memiliki majalah atau komik, saya juga akan ikut-ikutan membacanya.
Kira-kira pada umur 8 tahun, saya mulai tertarik membaca buku-buku yang lebih tebal. Itu terjadi setelah saya menemukan buku Lima Sekawan lama milik seorang kerabat yang sudah tidak dibacanya lagi. Karena tertarik dengan gambar di covernya, saya pun membaca isinya. Wah, dari dalamnya saya menemukan dunia baru yang menyenangkan tentang empat sekawan beserta anjing mereka yang piawai menyelidiki kasus-kasus misteri. Buat anak berusia 8 tahun, membaca kisah petualangan dari anak-anak yang bisa membongkar kejahatan atau sebuah misteri itu sangat mengagumkan dan membuat penasaran. Mana bisa saya tahu ada hal semacam itu kalau tidak membaca?Â
Jadi, saya mulai jatuh cinta dengan buku dan kegiatan membaca. Tanpa perlu banyak uang dan usaha, saya bisa pergi ke suatu dunia fantasi dan pengalaman baru yang tidak bisa saya peroleh di dunia nyata. Asyik sekali.
Saya pun kecanduan membaca. Setelah Lima Sekawan, saya juga membaca serial Malory Towers, St. Clare, Pasukan Mau Tahu, dan Sapta Siaga. Semuanya dari Enid Blyton, yang karya-karyanya saat itu memang sedang merajai rak buku anak-anak di berbagai toko buku. Jika tidak meminjam dari teman atau saudara, biasanya saya akan menabung atau patungan dengan kakak saya untuk membeli buku. Buku-buku yang relatif cukup tebal itu bisa saya baca hanya dalam satu hari, paling lama dua hari.Â
Kalau sudah membaca, saya bisa lupa makan, tidur siang, dan mengerjakan PR. Untungnya, saya tidak pernah bermasalah dengan nilai-nilai pelajaran di sekolah. Buku juga menjadi hal yang paling menghibur saat hari libur tiba. Tidak perlu pergi ke mana pun, saya cukup bahagia menghabiskan waktu dengan membaca buku. Beruntung sekali orang tua saya saat itu, kan?
Selain karya Enid Blyton, selama masa SD saya juga membaca serial detektif STOP, komik Smurf, Asterix, Steven Sterk, Nina, Lucky Luke (zaman itu, Manga belum terlalu hitz), majalah Bobo, dan Cerber bersambung di koran Sinar Harapan. Dari suka membaca itulah saya jadi tahu ada budaya, gaya hidup, dan pemikiran yang sangat berbeda di luar sana. Saya jadi tahu apa yang ideal dan tidak. Mungkin, dari situlah sikap kritis saya perlahan muncul.
Saat SMP, saya mulai membaca novel-novel misteri yang lebih berat dari Agatha Christie, berbagai majalah dan novel remaja, serta buku-buku Sastra. Yang terakhir itu mungkin karena dipaksa oleh tugas sekolah, tetapi yang akhirnya saya nikmati juga. Buku-buku sastra Indonesia klasik seperti Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dsb adalah sebagian buku yang saya baca saat itu. Meski bukan bacaan favorit, tetapi dengan membaca karya-karya sastra klasik itu saya jadi tahu bagaimana situasi sosial, gaya bahasa, dan semangat zaman pada masa karya-karya itu dibuat.
Ketika SMA, karya sastra Indonesia yang saya baca mulai bertambah banyak. Saya ingat, saya jatuh cinta setengah mati pada novel Raumanen karangan Marianne Katoppo setelah diberi tugas oleh guru Bahasa Indonesia untuk menulis resensi atau ulasan tentang novel itu (baca tulisan saya tentang novel ini di https://www.kompasiana.com/okti/5d5eb1360d8230217c4e70e2/novel-lawas-yang-apik-raumanen). Sempat sulit mencari-cari, akhirnya setelah bertahun-tahun saya berhasil juga memiliki novel apik ini yang dicetak ulang oleh Grasindo pada tahun 2018. Yay :-)
Saat kuliah, bacaan saya kemudian banyak beralih ke buku-buku sains demi mengikuti tuntutan studi dari jurusan yang saya ambil. Saat itu, bacaan saya lumayan canggih dan bikin kening berkerut. Buku-buku macam Rekayasa Genetika, Mikrobiologi, Ekologi, Taksonomi, Biologi Evolusi beserta jurnal-jurnal ilmiahnya adalah makanan tiap hari. Nyaris tak ada waktu untuk membaca novel atau buku-buku lain. Tapi, saat Harry Potter terbit -- seperti jutaan penggemar lain -- saya kemudian juga rajin mengikuti kisahnya. Dan, sesaat sebelum lulus, saya terpikat dengan kisah Lord Of The Rings karya Tolkien yang segera saya baca bukunya (Trilogi) setelah menonton filmnya.