Ada satu tipe manusia yang selalu meninggalkan jejak pahit di ruang kerja maupun ruang publik: megalomania. Mereka bukan sekadar percaya diri atau (terlihat) tegas, melainkan orang yang menuhankan dirinya sendiri. Setiap kata harus dituruti, setiap perintah dianggap mutlak, dan setiap keberhasilan diklaim sebagai hasil tunggal dari upayanya. Mereka alergi kritik, enggan berbagi sorotan, dan hidup dari pengakuan tanpa henti.
Dalam interaksi sehari-hari, tipe ini adalah toxic. Mereka membuat orang di sekitarnya merasa kecil, merampas ruang diskusi sehat, dan mematikan kreativitas. Rekan kerja hanya jadi pengikut, bukan rekan berpikir. Pertemanan pun berubah jadi relasi transaksional. Dekat kalau menguntungkan, ditendang jika berseberangan. Hubungan sosial yang seharusnya berbasis saling menghargai, pelan-pelan digerogoti hingga tak bersisa, diganti dengan satu hal bernama dominasi.
Parahnya, pola ini tidak berhenti di level individu. Jika megalomaniak bercokol di kursi pengambil keputusan, dampaknya bisa jauh lebih luas. Kita melihat bagaimana keputusan yang lahir bukan dari kepentingan bersama, melainkan dari ego dan ilusi keagungan. Inilah yang menciptakan rasa frustrasi kolektif. Keputusan yang diambil tampak medioker, tidak menyentuh apalagi menyelesaikan akar masalah, sekadar tambal sulam tetapi dipoles seolah langkah brilian. Publik dipaksa percaya, sementara realitas di lapangan berbicara lain.
Bukan Sekadar Gaya, Tapi Virus Sosial
Megalomania bukan hanya masalah "gaya kepemimpinan yang buruk". Ia adalah virus sosial. Dalam teori Social Dominance Orientation, individu dengan dorongan kuat untuk berkuasa akan berusaha menata ulang relasi sosial agar menguntungkan dirinya. Teman menjadi anak buah, kolega jadi bawahan, rakyat jadi massa yang bisa dikendalikan.
Relasi horizontal yang seharusnya sejajar berubah menjadi vertikal, satu orang di atas, sisanya di bawah. Begitu pola ini mapan, tak jarang ruang kritik segera hilang. Orang enggan bersuara karena tahu risikonya. Bisa dijauhi, didiskreditkan, bahkan disingkirkan. Akibatnya, suara minoritas terbungkam, sementara keputusan mayoritas dibajak oleh satu figur yang merasa "paling tahu".
Inilah yang membuat megalomania berbahaya. Ia tidak hanya merusak organisasi, ia bisa merusak kepercayaan sosial. Kita dipaksa hidup dalam ilusi bahwa "ada pemimpin", padahal yang kita hadapi hanyalah ego yang membesar tanpa kendali.
Dari Ruang Kerja ke Jalanan yang Membara
Jika fenomena ini terasa akrab, itu karena kita sedang mengalaminya dalam skala yang lebih luas. Beberapa waktu terakhir, jalanan dipenuhi demonstran. Mahasiswa, buruh, ojol, hingga kelompok masyarakat lain tumpah ruah, menyuarakan rasa muak. Kemarahan yang lahir bukan tanpa alasan, karena didorong oleh keputusan-keputusan politik dan ekonomi yang terasa semakin jauh dari aspirasi warga.
Masyarakat melihat bagaimana kebijakan dibuat dengan nada arogan, minim empati, dan cenderung defensif ketika dikritik. Lebih jauh, suara-suara kritis diberi label "makar" atau "teroris", padahal substansinya adalah ketidakadilan dan jeritan atas hidup yang kian terhimpit. Pola ini persis dengan wajah megalomania, alih-alih mendengar, mereka menekan; alih-alih berdialog, mereka menghardik.