Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Ialah Kalimat Kebahagiaan (Part II)

10 Juli 2020   09:50 Diperbarui: 7 Agustus 2020   00:47 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Anak Kecil Memancing Di Desa

"Kehidupan di desa begitu membahagiakan, pagi yang sederhana, senyum yang murah hingga ngopi yang bermakna"

Kehidupan di desa dijalankan secara sederhana. Jauh berbeda dengan kehidupan di perkotaan yang begitu kompleks. Saking sederhananya, jarang terjadi konflik fisik yang merugikan berbagai pihak. 

Beberapa hal yang mendasari menjalani kehidupan desa menjadi bahagia ialah karena aturan-aturan masih terjaga meskipun perkembangan dunia sudah semakin maju. Walaupun, terdapat banyak problem pembangunan yang terjadi di pedesaan seperti kesehatan, pendidikan maupun insfrastruktur.

Aturan-aturan yang begitu ketat di pegang menjadi landasan desa terjaga dari kemurniannya. Beberapa hari kemarin misalnya, banyak artikel yang membahas mengenai penghapusan destinasi wisata yang di minta oleh suku Badui. 

Hal ini disebabkan karena kesewenangan wisatan dalam memposisikan dirinya sebagai pendatang yang tidak cerdas berwisata. Mereka, mengabaikan aturan-aturan dan hanya mengikuti ego-nya dalam memuaskan hasrat pribadi.

Kondisi ini tentu saja menampar keras desain dan kesadaran pembangunan parawisata. Namun, di balik itu semua, saya memandang ini sebagai langkah baik terutama menjaga kemurnian adat dan budaya suku Badui itu sendiri. 

Apalagi, perkembangan dunia beberapa tahun belakangan, telah banyak mengubah wajah dan kemurnian budaya sebuah suku atau desa itu sendiri lewat kebijakan yang tak cerdas.

Sebagai anak desa yang mempunyai rutinitas sebagian besar di Kota (Jakarta), saat kembali, saya harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku di desa. Aturan ini sejak kecil sudah menjadi pegangan hidup yang di bawa kemana-mana. Aturan sederhana yang mengandung filsofi mendalam pada setiap gerakan.

Di desa saya, Desa Mateketen Kec. Pulau Makian Barat Provinsi Maluku Utara, aturan pada adat dan budaya masih di pegang kuat. Aturan ini tanpa sadar dipraktekan semua orang tanpa pandang bulu. Walaupun, belakangan mereka generasi Zilenial mulai memudarlan semangat tersebut.

Inilah dasar, kenapa hidup di desa begitu menyenangkan selain alamnya yang asri. Lantas hal apa sajakah yang masih dipraktekan di desa saya? 

Adat dan Budaya Yang Kuat

Hal paling mendasar dari kehidupan ialah saling menghargai dari yang tua hingga yang muda. Terkadang timbulnya permasalahan di akibatkan tidak ada rasa saling menghargai satu dengan yang lain. Yang tua, tidak memposisikan diri sebagai guru dan yang mudah seringkali lebih merasa hebat. 

Di desa saya, rasa saling menghormati begitu sangat kuat. Hal-hal ini tergambar dari perilaku bermasyarakat di desa ini. Pola yang terjadi di semua desa di Maluku Utara.

Praktek itu misalnya, dalam hal penggunaan tata krama bahasa. Penggunaan bahasa bagi yang muda, saudara hingga yang tua juga sangat berbeda. Bagi yang seumuran, bebas memanggilapa saja baik nama ataupun sematan nama beken. Tetapi hal ini, berbeda ketika menggunakannya; mempraktekan, kepada yang tua atau yang lebih tua. 

Penggunaan bahasa pada yang lebih tua, walaupun hanya terpantau 5 tahun dan ia merupakan teman main bahkan kemana-mana bersama, harus menggunakan silsilah keluarga. Jika objek yang di panggil masih serumpun atau pertalian keluarga maka semakan yang berlaku mengikuti pangkat yang ada di keluarga. 

Misalnya, kaka, om, paman, kakek, ci (tante), tengah (anak tengah) atau onco (anak bungsu)

Hal ini berbeda untuk paling tua alias para tetua. Selain mengikuti laku silsilah, bahasa yang di gunakan juga penuh tata krama. Misalnya menyampaikan--memanggil, mereka makan. Bagi sesama, kita menyebut dengan "Fa" atau makan. Tetapi jika untuk yang tua seperti kedua orang tua, nenek maupun kakek maka sebutannya ialah " Fajou" yang artinya sama 

Penyebutan itu berlaku juga dalam konteks waktu. Jika pada pagi hari maka di sebut "Falakut" dan selebihnya "Fajou".  Namun sematan waktu tidak berlaku pada anak seumuran.

Konteks ini memang sangat sederhana. Bahasa-bahasa yang di gunakan menandakan ada penghormatan yang kuat antar sesama. Salah panggil, auto di bacotin. Tak jarang, saya sendiri kena semprot karena sudah melupakan hal-hal sekecil itu. Maklum, sudah lama tak kembali ke desa. 

Pola ini juga berlaku sangat kuat pada praktek lain. Misalnya saat hendak makan; sedang dalam keadaan akan makan, menunjukan waktu.

Di desa, mendahulukan yang tua paling utama. orang tua atau pun tamu yang sedang berkunjunh ke rumah sudah tentu didahulukan. Mereka terlebih dahulu menyantap makanan. Namun, sebelum menjamu makan, anak-anak sudah terlebih dahulu menyusun piring-gelas di atas meja. 

Setelah itu, makanan di sediakan dan segala hal di persiapakan. Dan, jika sudah beres mereka (para orang tua) di panggil. Tentu saja, panggilannya Fajou.

Selain itu, hal menarik lainnya ialah aturan saat sedang melewati orang tua. Kami sebagi anak muda harus membungkuk dengan tangan kiri di belakang dan tangan kanan di depan. Entah kenapa kami sering melakukan hal tersebut. 

Bahkan hal tersebut menjadi kebiasaan saya sendiri di Jakarta selama 6 Tahun terakhir. Tanpa sadar, saya sering mempraktekan aturan tersebut. 

Walaupun,  budaya ini belakangan mulai hilang pada generasi 2000-an aliasZilenial. Mereka lupa, caranya menghargai hal-hal kecil hingga hadir perselisihan.

Gotong Royong (Bokyan)

Salah satu kearifan lokal Indonesia ialah gotong royong. Bahkan negara ini di kenal dunia karena sikap saling tolong menolon. 

Di Maluku Utara lebih sering di sebut Babari (sudah pernah di ulas dengan Judul Babari ala masyarakat Maluku Utara). Nama lain di Desa saya ialah Bokyan, yang artinya tetap sama gotong royong.

Bokyan atau gotong royong sangat lekat pada praktek kehidupan masyarakat desa. Baik dari hajatan hingga bertani. Menariknya hal ini selalu melekat kuat di Desa saya dan desa di Makian Luar.

 Misalnya, saat hajatan perkawinan atau orang meninggal. Masyarakat desa lain akan berbondong-bondong ke tempat hajatan dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka seharian full. Biasanya praktek ini di laksanakan selama seminggu dan akan ramai jika mendekati H-1. 

Praktek Bokyan menurut pandangan saya  ialah bagian dari ajang silaturahmi karena kesibukan masing-masing.  Masyarakat yang datang tidak hanya membantu si tuan rumah menyiapkan segala hal, akan tetapi juga berbagi cerita dan tawa di sela-sela bokyan.

Kuatnya konteks ini sampai sekarang masih terjaga. Saya yang agak pemalu pun tak segan-segan berbagi cerita dan larut ke dalamnya. Sungguh sesuatu yang menarik ketimbang di kota sana. Di mana ketika ingin melakukan hajatan atau bakti, kita harus susah payah melakukan pengumuman atau bahkan harus mengeluarkan duit.

Menghargai Para Guru dan Pemuka Agama

Sikap toleransi dan saling menghargai yang kuat merupakan marwa yang terjaga hingga kini. Hal ini berlaku juga pada sikap masyarakat dalam menghargai para guru dan pemuka agama. 

Mereka mendapat tempat tersendiri di masyarakat tanpa mengabaikan hal-hal lain. Guru bagi kami sangat spesial. Sumbernya ilmu. Baik guru pendidikan formal maupun pendidikan agama, mendapat tempat istimewa.

Pada pendidikan formal, guru kami di SD,SMP maupun SMa merupakan orang yang menjadi panutan. Para murid tak akan mencari masalah dengan mereka. Walaupun ya,  kadang sesama murid juga auto baku hantam. hehehe

Sebagai pendidik, peran mereka sangat kuat dalam membangun karakter generasi muda. Walaupun di hadapkan pada kondisi ketidakpastian kesejateraan sebagai guru di wilayah pesisir. Mereka selalu mengontrol siswanya baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.

Tak jarang, mereka melakukan patroli di atas jam 10 malam guna mengontrol para siswa yang berkeliaran dan tak belajar. Alhasil, di desa saya dan sekitar sangat rendah anak putus sekolah dalam 10 tahun terakhir. Sebuah prestasi yang sungguh luar biasa.

Penghargaan masyarakat juga di tunjukan pada praktek kehidupan. Misalnya saat hajatan, mereka di tempatkan pada posisi istimewa bersama para tetua adat. Contoh sederhana ketika saat jamuan makan. Mereka menempati posisi di setelah kepala desa, imam dan marbot mesjid. 

Bahkan, jika ada guru transfer yang berasal dari luar daerah, warga tak segan membantu dengan senang hati.

Toleransi berikutnya ialah para guru ngaji, imam serta marobot mesjid. Di Mateketen dan Pulau Makian, mayoritas warga ialah muslim. Dan, guru ngaji maupun imam serta marbot mesjid mempunyai kedudukan utama dalam kemasyarakatan. Mereka adalah guru-guru yang mengajarkan anak-anak desa mengaji dan membentuk karakter agaman.

Saya, masih ingat betul pada periode 90-an silam, saat masih menimbah ilmu agama pada mereka. Biasanya kami mengaji setelah Shalat Subuh. Sebelum shalat, subuh kami sudah bangun dan menju ke rumah guru ngaji. 

Membersikan rumah, mengisi air, menyapu halaman dan pekerjaan lainnya.  Setelah subuh,  guru kami kemudian menagih setoran hafalan satu demi satu. Yap waktu itu belum ada pengenalan Iqra. Setelah ngaji, kami di beri nasihat-nasihat yang sampai sekarang masih saya pegang.

Sementara para imam masjid dan marbot masjid juga merupakan elemen penting dari kehidupan masyarakat. Tempat paling istimewa di masyarakat. Ketika mereka lewat saja, kami yang asyik nongkrong aja auto bubar alias bersembunyi. 

Mereka bertugas menjaga shalat 5  waktu agar tidak pernah kosong sebab adab sistem pembagian waktu atau shift bagi para marbot. Setiap orang mempunyai tugas seminggu ful alias tugas wajib. 

*****

Kehidupan di desa begitu sederhana dengan aturan-aturan yang melekat tidak membuat desa menjadi terbelakang. Justru hidup di desa paling menyenangkan.

Walaupun, beberapa masalah di desa masih di jumpai. Bukan persoalan konflik akan tetapi pada edukasi. Apalagi, perkembangan modernisasi yang begitu kuat dan lemahnya pembangunan karena ketimpangan. 

Semua desa punya masalah, namun menurut penulis sendiri ada beberapa masalah krusial yang sampai saat ini masih harus di selesaikan. Masalah-masalah itu diantaranya, Sampah, Sanitasi dan geliat pembangunan yang tidak memperhatikan ekologi.

Persoalan Sampah

Persoalan satu ini sudah menjadi masalah di seluruh Dunia. Bahkan sumbangsi sampah terutama sampah plastik semakin meningkat dan mencenangkan. Di Desa saya yang notabenenya ke atas gunung ke bawah laut, persoalan sampah begitu emergency. 

Masyarakat desa hampir seisi pulau masih membuang sampah ke pantai yang terletak di belakang rumah-rumah mereka. Alhasil, tumpukan sampah baik plastik maupun basah tak terelakan di sepanjang pantai. 

Hal ini karena masyarakat tidak mempunyai pilihan sebab pulau ini tidak memiliki Tempat Pembuangan Sampah. Jangankan TPS, jalan penghubung antar desa saja masih jalan kebun alias jalan gagal proyek. Tidak ada lokasi atau konsep jelas dalam pengelolaan sampah apalagi edukasi. Bisa di bilang, pulau ini belum tersentuh hal-hal yang demikian. Satu-satunya alternatif ya membuang ke pantai.

Persoalan ini sebenarnya sudah banyak di bijaki lewat program dana desa dengan menyediakan tempat-tempat sampah di depan rumah warga. Akan tetapi, permasalahannya ialah pembuangan akhir ialah di Kali mati yang ketika hujan tetap mengalir ke laut. Selain itu petugas yang mengurus juga hanya hansip.

Minimnya edukasi baik pemerintah maupun pihak terkait sangat dirasakan. Penyediaan infrastuktur yang sampai kini terwujud menyebabkan persoalan sampah menjadi berbelit-belit.

Persoalan Sanitasi

Sama halnya dengan persoalan sampah, persoalan sanitasi masyarakat juga masih minim. Baik dari kesadaran masyarakat serta keterlibatan pihak-pihak terkait dalam kampanye kesehatan.

Masih di dapati warga membuang air besar (BAB) di pantai walaupun sudah banyak MCK pada setiap rumah. Belakangan memang terjadi penurunan drastis sejak masyarakat menggunakan MCK. Tetapi, tak jarang pula masyarakat membuang air di pantai. Kondisi ini tentu saja berpengaruh pada kesehatan masyarakat di setiap desa. 

Geliat Pembangunan Tanpa Memperhatikan Ekologi

Peembangunan membawa kabar baik bagi masyarakat namun di satu sisi merugikan lingkungan jika tidak memperhatikan kondisi ekologi. Di desa saya, banyaknya proyek pemerintah seperti pembangunan talud, menggunakan material yang di ambil dari pantai. Batu karang di pecahkan dan pasir-pasir di gali. 

Alhasil, abrasi dan kerusakan karang terjadi secara total. Sudah hampir 20 Tahun praktek ini dilakukan. Di mana setiap ada proyek, pengusaha atau kontraktor membayar masyarakat untuk mengambil batu, kerikil dan pasir dengan hitungan berbeda-beda. 

Untuk batu 1 kubik  biasanya di bayar seharga 200 ribu. Pasir 1 Kubik antar 200-250 sedangkan kerikil bisa mencapai 100 hingga 250.

Masyarakat tentu saja melihat ini sebagai peluang penghasilan yang nyata ketimbang menunggu panen perkebunan 3 bulan sekali dan mengambil bagian untuk memperoleh penghasilan. 

Maka bisa dibayangkan jika per semester, ada 1 proyek yang masuk,  maka berapa kerugian yang hasilkan oleh praktek ini?

****

Pada intinya desa mempunyai keunggulan dan kelemahan. Hidup di desa akan selalu menyenangkan dengan segala budaya yang melekat. Namun, persoalan desa juga sangat kompleks untuk di selesaikan. 

Minimya Edukasi adalah salah satu masalah penting yang harus di selesaikan. Selain itu konflik tak penting juga kadang meresahkan akibat merasa pintar dan merasa benar. Padahal, merasa pintar adalah hal bodoh.

 Mari jaga desa agar hidup semakin bahagia, Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun