Mohon tunggu...
Yusuf A
Yusuf A Mohon Tunggu... -

Tinggi 167 cm berat 50 kg

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antropologi Bintang: Obrolan Es Teh dan Kopi Pahit

6 Februari 2016   19:07 Diperbarui: 6 Februari 2016   22:04 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila ada orang yang mencetuskan antropologi itu kaji tentang tulang-belulang atau fosil. Saya dalam hati kecil cukup bergumam "biarlah saja" atau "terserah sajalah". Lagipula arkeologi -ilmu artefak sampai fosil itu- tetangga-an sama 'ilmu'nya antropologi. Tapi jika ada yang mengungkapkan antropologi itu sama dengan ilmu-ilmunya astronomi!. Nah itu baru pernyataan yang 'terlalu'. Cerita astronomi-antropologi yang konon telah melanglang buana. Saya pikir, cerita tentang orang yang keliru menjelaskan antropologi sama dengan astronomi cukup berlebihan dan mungkin hanya satir belaka. Seolah-olah antropologi adalah musafir kelana tak tentu arah dan tak diketahui asal-usulnya. Bahkan sulit bagi saya untuk sekedar percaya cerita itu. Sampai suatu waktu... (diiringi: tabuhan drum). Saat berlalu suara adzan sholat Ashar dari mesjid dekat kantin. Dua tempat yang memiliki selisih jemaah yang signifikan perbedaannya. Sementara di kantin sedang berlangsung oposisi 'Es Teh' -diminum nikmat menggunakan sedotan- dengan 'Kopi' pahit minus gula. Beradu di atas meja yang masih menyisakan bekas tumpahan kuah ikan rebus. Turut pula kucing dan lalat; sahaya setia penyembah kantin layaknya surga. Di belakang meja panjang, duduk berjejer lelaki-lelaki tampan perokok masif!. Saya dan Dia awalnya bersantai dikepung asap panci gorengan panas dan rokok, toh terjebak diskusi klasik yang bagi suatu kelompok berharap di'dingin'kan saja.

Dia, adik angkatan saya. Singkatnya atau bahasa aristrokratnya 'yunior' -istilah untuk kakaknya yang meng'agung'kan kultur dan struktur manusia-manusia kampus-. Dia datang menghampiri. Lalu menyapa "hai kak" dibubuhi senyuman yang meninggalkan goresan di otak para lelaki. Sembari merebahkan bokongnya di tempat duduk, dengan gestur yang..."Aah sudahlah, kita cukup dewasa" kata pria-pria metal. Sapaan dengan bunyi yang khas, lembut dari pita suara seorang yang dapat memacu hormon lawan jenisnya. Sapaan yang berhasil saya identifikasi mengandung kemanjaan!. Sebagai lelaki yang pakem telah dimiliki, saya hanya bisa pasrah. Segera saya men-set wajah kalem, bersahaja yang saya paksakan wajib mirip dengan K.H. Aa Gym. Sebagai kakak senior yang belum tua -sekali lagi struktur vs kultur masih debatebel- sekurang-kurangnya menyambut ramah adiknya sekaligus menjaga martabat senior. Sementara lelaki yang duduk tidak jauh dari tempat kami, tak segan menampakkan senyum miring membelah pipinya. "Mungkin saja membelah dua bagian otaknya, siapa yang tahu saat itu otak m*s*mnya lagi berfungsi total" pikirku. Bagaimanapun ekor mata lelaki itu, sudah nampak bagi saya!.

Kerudungnya sederhana dengan kain tipis. Pakaian lengan panjang digulung hingga separuh lengan. Lelaki disamping saya itu mungkin lebih tertarik dengan balutan celana jeans ia Dia gunakan. Silahkan tafsir sendiri bagian mana yang lelaki itu pelototi hingga berbinar-binar. Wajahnya sendayu dengan mata sipit khas oriental. Para pengagum K-Pop bakal mengiranya mirip artis korea. Sementara lelaki itu? Sangat mungkin berpikir Dia artis jepang? Bangke!!!. Tubuh Dia duduk tegak menyeruput kopi, menggeggam gelasnya dengan kedua tangan dan jemarinya. Jari kelingking sedikit diangkat. Anggun? Yahh karena itu teknik yang sering digunakan kaum feminin.

Saya lupa dengan prolog percakapan. Tapi pengantar saya jelas menoropong rumus persamaan astronomi dan Antropologi -jikalau pun ada-. Hanya itu yang selalu ada dalam ingatan, sebelum saya memilih untuk menuliskannya. Dia cukup supel dengan memperkenalkan Ibunya seorang dari Jawa dan Dia sendiri sebelumnnya berasal dari salah satu kota di jawa sebelum pindah ke Kota Makassar.
"Yahh, pantas saja logatnya medok kemayu begitu". Pikirku. Tapi nampaknya gaya duduknya sudah urban cap cafe.
Lanjut Dia, katanya ayahnya lahir di dataran tiongkok vro!.
"Pantas matanya itu..." pikirku.
"Hokkian" ujarnya. Tak ada penjelasan yang Dia maksud apakah marga atau jenis etnis.
"Apa tak ada hubungannya dengan mie hokkian?" Candaku.
"Entahlah kak" balasnya dengan senyuman yang itu lagi. Buset! Bikin saya mundur bersandar melipat tangan, mengatur jarak dan mengalihkan pandangan; memasang benteng pertahanan sebelum saya mengkhayal sesuatu!.

Obrolan terus mengalir. Toh saya betah dengan suhu kantin mendengar Dia bercerita.
Lalu Dia berujar: "kak! waktu lulus sma, saya daftar di ugm tapi sayangnya nda lulus. Tapi ibuku tetap berusaha menyenangkan saya. Katanya klo di makassar ada kampus namanya unhas. Kampus yang menurut ibuku, ugm-nya luar jawa!"
Langsung saya terkekeh mendengarnya. Meski dari jaman mitos, saya baru tahu jika unhas itu ugm-nya luar jawa.
"Iyaa! Emang gitu kata ibuku" tegasnya.
"Yaw udah, buat ngobatin rasa kecewa, saya daftar di unhas. Program antropologi sebagai pilihan pertama." sambungnya.
"Begitu, yahh!" Saya menimpali dengan sedikit rasa bangga.
"Kok maunya antropologi sebagai pilihan pertama?" Tanyaku sekedar menguji.
"Gini loh kak" jawabnya dengan aksen jawa itu.
"Waktu daftar online itu kan, saya liat-liat daftar nama jurusan. Nah, ketemu yang namanya antropologi!. Kebetulan saya sangat tertarik dengan astronomi sejak sma dulu. Kata antero itu kan kirain tentang jagad itu loh berhubungan dengan antropologi. Makanya saya pilih antropologi!"

"Jaka sembung pake poni, nyambung darimana joni!". Belajar bintang, planet, galaksi itu rasanya berapa tahun cahaya jaraknya dengan urusan dapur manusia di bumi.

Dia terus melanjutkan "tapi tenang kak! Saya sudah tahu kok apa itu antropologi. Beda dengan pertama saya masuk. Tidak tahu sama sekali. Hingga pertama kali masuk kelas kuliah, saya masih kirain antropologi itu adalah astronomi!. Saya juga nda cari tau apa bener tuh" Akunya dengan wajah polos sambil mengangguk-angguk.

Beda dengan Dia, wajah saya justru berubah kaku. Kaget iya..., kesal iya, dan lapar juga iya! Rasanya ingin menelan pil tidur untuk menenangkan diri mendengar ungkapannya barusan. Apa yang telah Dia makan sampai berkata seperti itu! -perlu diketahui beberapa jenis makanan jika dikonsumsi menyebabkan orang tidak mampu mengontrol ucapannya-.
"Ya Allah, begitu teganya anak ini!". Ucap saya lirih dalam benak dengan iman yang kurang dari cukup.
Bumi ini telah dibuatnya begitu sempit. Dunia sepertinya hanya milik 'mereka' dan tak perlu ada sisa-sisa untuk kami -antropologi-. Mendesak pikiran untuk memusatkan satu pertanyaan: "apa salah antropologi?".
Dia hampir mengerdilkan cerita hidup saya setelah 1 dekade lamanya lantang mengaku anak antropologi! Terkadang lebih berbangga terbinar bila seandainya disanjung dengan sebutan antropolog.

Masih duduk lemas setelahnya, kegundahan saya berlanjut, terus hingga beberapa saat. Membayangkan reaksi saya jika seandainya berada dalam posisi beberapa teman-teman saya yang sejak lama didaulat sebagai pemuja sarkasme. Jika saya jadi Jaya: tertawa terbahak sambil menghamburkan kertas tissu bekas setelah ia pakai mengusap lubang hidungnya. Jika saya jadi Ammang: menggebrak meja, berceramah 5 bait dengan kutipan ala langit, lalu menunjuk-nunjuk mendekati 1 milimeter ke batang hidung. Jika saya jadi Mail: mencoba untuk menjelaskan dan meluruskan persoalan dengan sekuat tenaga; dan pikiran melebihi jam kuliah meski sampai hidung kembang-kempis. Terbayang jika saat itu disamping saya ada seorang sufi atau wali. Mungkin ada yang memohon-mohon, merengek: "Tolong sumpahi anak itu biar dapat gelar Ph.D Antropologi di Amerika sana atau kutuk kepalanya agar terisi dengan semua buku seluas perpustakaan Harun Al Rasyid di tanah Persia".

Mencoba untuk menelaah sepintas. Mungkin saja perubahan fonem dari kata 'seantero' menjadi 'antro' menjadi penyebab asosiasi kedua kata itu. Maka tak mengherankan beberapa bayangan orang akan terpeleset begitu radikal. Seketika menghubungkan kata 'se-antero' yang berarti 'seluruh/segenap' (KBBI Online) yang kerap menjadi pasangan kata dunia, jagad atau bumi. Lalu dengan entengnya dikaitkan dengan astronomi. Walhasil kata 'antero' mengokohkan istilah astronomi sama dengan atau bagian dari istilah antropologi. Astronomi adalah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan fenomena benda-benda langit, seperti bintang, planet, komet, nebula, galaksi (Wikipedia). Benar saja ketika didefinisikan seperti itu, sudah cukup jelas perbedaannya. Satunya ilmu alam, berbeda dengan sosial-budaya dalam hal ini, antropologi. Sementara keyakinan keliru nyata masih beredar dan terpatri di luar sana. Saya merasa di masa yang akan datang, akan tetap direproduksi prasangka-prasangka itu, atau malah kukuh dan berakar urat menyebut astronomi = antropologi? Wallahualam. Kata-kata yang hampir sama atau berbunyi sama patut untuk diwaspadai. Seperti contoh, ada pula jenis sampul percetakan di tempat foto copy yang biasa disebut 'antero' atau jilid antero -semoga foto copy tidak sama dengan antropologi, amin-.

Dia melanjutkan ceritanya. "Saya itu mau belajar antropologi yang berhubungan dengan astronomi. Tapi saya masih bingung mau bikin apa!"
"Saya juga nda mau kuliah asal kuliah. Asal selesai tapi nda tau apa-apa soal antropologi. Dikiranya saya salah masuk jurusan. Pengennya, saya juga paham antropologi setelah lulus kak!. Pokoknya saat ini, setelah masuk semester 6 bisa ngertilah dan saya udah dapat pengetahuan klo antropologi itu punya kontribusi terhadap astronomi" pungkasnya dengan jujur.

Mendengar curahannya itu, saya mencoba untuk mencermati kegamangannya. Segera saya memantapkan diri. Membangkitkan jiwa patriot demi kedaulatan antropologi. Dalam situasi pelik ini, beruntunglah Dia bertemu dengan saya. Doktrin yang saya miliki lebih dari cukup untuk membuatnya optimis. Tugas sela untuk mengembalikannya ke jalan yang benar. Jika disandingkan, Mario Teguh tak ada apa-apanya dengan saya jika 'firework' dinyalakan. Begitu kata teman-teman di kampus. Meski itu hanya sekali terjadi pada satu peristiwa mengerikan di suatu tempat kegiatan mahasiswa antropologi.

Seadanya saya mencoba meyakinkan: "astronomi, ada ji hubungannya dengan antropologi. Klo kamu ambil mata kuliah antropologi maritim atau konsentasi itu. Nah di mata kuliah itu, kamu bisa mengkaji soal itu pengetahuan lokal sistem navigasi masyarakat nelayan".
"Juga kamu bisa belajar tentang pengetahuan tentang waktu terkait kedudukan bintang-bintang, terutama tentang hari baik dan hari buruk. Masih banyak itu masyarakat di desa yang begitu" terang saya dengan gaya menghasut.

Tidak butuh pesugihan untuk membuatnya mengangguk-angguk dengan yakin. Walau sebenarnya saya mengomong seadanya. Tapi dia nampak seperti baru saja mendengar pakar yang sedang menjelaskan di seminar internasional (heuheuheu). Saya masih berharap Dia baik-baik saja melanjutkan studinya di antropologi. Saya juga bukan peramal tentang masa depan. Siapa tahu Dia yang tahu-tahu berdiri di depan mimbar ilmiah.

Dia terus-terus mengingatkan saya tentang desas-desus orang-orang di dalam dan di luar antropologi. Kisah tentang segelintir orang yang mau bersusah payah menjelaskan antropologi. Ada pula yang akhirnya terpapar, kehilangan buku pedomannya sendiri?. Tak apa jika lupa, miris, jika menutupnya rapat-rapat lalu berakhir dibawah kasur tempat tidur. Diantara pertanyaan apa?; bagaimana?; dan mau kemana? yang membuat silang tangan tunjuk hidung -toh saya juga garuk-garuk kapala karenanya-. Siapa yang mampu menenangkan gejolak; antropologi sebagai 'ilmu' atau 'profesi'?. Dua hal yang menyemaikan bibit polemik. Memunculkan peran-peran kukuh bersikap skeptik, pesimis yang masih mampu melakukan serangan balik. Apa daya rumah seperti dibongkar-bongkar lagi, asal jawaban didapatkan. Jika benar, hal itulah yang saya tonton dari 'dunia ril' dan 'dunia maya' yang berseliweran.

Sungguh! Dari tahun ke-2 rasanya perdebatan "mau kemana nantinya lulusan antropologi?" Tak ada habisnya. Muncul terus dan terus lagi, dan terus-menerus begitu. Layaknya menyeruput es teh yang sebenarnya air teh nya sudah habis meninggalkan bunyi kresek dan masih disedot-sedot juga! Komplit dengan ujung sedotan tersobek-sobek bekas gigitan. Jika hendak menyeruput es teh, yah buatlah teh lagi. Apakah tak ada itikad membuatnya?. Membayangkan es batu (mencair) itu adalah antropologi (dinamis) yang selalu terisi dengan potongan pucuk teh bersama sedikit gula. Betapa manis dan segarnya jalan orang-orang antropologi ini. Kalau perlu, tambahkan dengan label hallalantoyyiban biar lebih barokah. Masih banyak yang lebih faktual, hal-hal yang memungkinkan progresifitas dan sekiranya sudah banyak yang berkorban demi es teh -impian-.

Toh, jika pada akhirnya terbelah dua mahzab: satunya tetap menjaga asanya, dan lainnya memilih bersikap 'no comment'. Cukup perhatikan dan simaklah cara bertugas aparat Garnisun. Meski mereka duduk saling membelakangi di atas kendaraan yang melaju. Berpatroli di bawah bintang malam, menyusur jalan-jalan ganas kota dengan gagah berani -selalu kesatria hanya dengan senjata tongkat kayu rotan-. Sulit mencermati relevansinya? Sekiranya saya masih belajar hermeunetika untuk mencapai ma'rifat dan gamblang. Heuheuheu!

Minum minuman dari biji buah dan minum minuman dari pucuk daun. Kita saling me'nyaman'kan diri dengan minuman masing-masing. Salam untuk Garnisun yang disela tugas meratap bintang di langit malam... "dengan es teh atau kopi saja biar lebih nikmat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun