Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan-Jangan Sengkuni adalah Kita

13 Januari 2019   13:34 Diperbarui: 13 Januari 2019   13:56 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerelaan para saudara untuk menjadi santapan

Berbagai adegan yang tampil kemudian memberikan gambaran tentang pandangan-pandangan orang yang melekatkan nama Sengkuni pada karakter-karakter dan tindakan manusia yang jelek/buruk. Di sini kita seakan diayun-ayunkan segenap perasaan kita, diputar-putar pikiran dan logika kita, untuk kemudian mendapatkan pencerahan.

Adegan pertama dan adegan terakhir yang menampilkan Sengkuni berdurasi cukup panjang, saya kira hampir satu jam lamanya, dimainkan dengan sangat baik oleh Joko Kamto yang mempesona penonton untuk setia menyimak kata demi kata yang diucapkan, dengan diksi yang terdengar jelas kendati irama suara dalam dialognya harus berbicara lirih. Ia yang merupakan salah satu aktor andalan Yogyakarta, di usianya yang sudah 60 tahun, masih menunjukkan permainan prima.

Adegan-adegan lainnya, secara keseluruhan berjalan lancar, enak ditonton, dan sesekali tanpa lepas konteks mampu membangun tawa penonton dengan suatu pernyataan, celetukan dan gerak, yang tidak dibuat-buat. Kritik-kritik sosial bertaburan dalam setiap adegan.     

Adegan Bagus dengan Timsuk dan juga adegan keluarga Pak Kadep, yang bermain dengan gaya realis, kesemuanya bisa dimainkan secara wajar, seimbang, menyatu dan dan mengesankan. Yang mengganjal bagi saya adalah adegan Kizano, yang barangkali karena persoalan umur dan tidak mengikuti dengan baik karakter Kids Zaman now, terasa dibuat-buat. Tidak begitu jelas apakah mereka dari kalangan SMA atau mahasiswa-mahasiswa baru? Yang jelas, rasanya dialog terlalu "tertata" dan "cerdas". Jika adegan ini dimaksudkan sebagai penyegaran atau jika dimaksudkan sebagai bukti bahwa idiom Sengkuni juga telah meresap ke dalam kehidupan kaum muda, dialog "agak naif" barangkali dapat memperkuat.

Sedangkan adegan narator (diperankan pula oleh Joko kamto) dan asistennya, Khatib (Eko Winardi) dengan gaya karikatural, terlihat kompak dan menarik, yang juga kerap memancing tawa para penonton.

Musik dan tata lampu meluruh menyatu dalam setiap adegan selama pertunjukan berlangsung, sehingga suasana terbangun dengan baik. Perasaan kita dapat terbawa dan hanyut dalam adegan yang ditampilkan.

Narator (Joko Kamto) & Khatib (Eko WInardi)
Narator (Joko Kamto) & Khatib (Eko WInardi)
Dari keseluruhan pementasan, dengan membandingkan dua proses yang saya ikuti, saya agak terkejut dengan monolog Sengkuni di adegan terakhir, ketika Joko Kamto memilih banyak berposisi jongkok, yang jadinya mengurangi karakter Sengkuni yang tengah menggugat. Apakah ini perubahan yang dirancang atau spontanitas lantaran ingin membangun dialog dengan para penonton yang banyak duduk lesehan di depan panggung?

Secara pribadi, salah satu dialog yang mengesankan bagi saya saat menonton dua latihan sebelumnya, dan hilang saat pementasan di hari pertama ketika tokoh Sengkuni bertanya: (kira-kira) "apakah anda pernah menampar ibu anda? Atau, bukan itu, apakah anda pernah memarahi ibu anda?" selanjutnya, ada pernyataan; "Saya bisa merasakan bagaimana anda menyesali perbuatan anda....", ini tidak terucapkan, namun langsung "bagaimana dengan saya yang telah memakan saudara-saudara saya dan meminum darah orangtua saya?". Saat saya mendengarkan pertanyaan tentang kemungkinan yang terjadi  yakni penyesalan telah memarahi ibu, itu membuat saya terhenyak, berpikir, merenung, dan kemudian disentakkan dengan pernyataan Sengkuni yang membuat kita langsung membuat perbandingan.

Tepat

Pertunjukan "Sengkuni 2019" ini memang pas dilakukan pada saat-saat sekarang, ketika kita menghadapi pesta demokrasi yang gila, dengan model pertarungan para pendukung yang membabi-buta dan kehilangan daya kritis serta kecerdasannya. Setidaknya, "Sengkuni 2019", kata Cak Nun, menjadi cermin.

"Kita harus menempatkannya bukan semata-mata sebagai pementasan teater belaka, tetapi yang terpenting dapat menjadi pembelajaran tentang kemanusiaan," demikian disampaikan Cak Nun saat diminta kehadirannya dan memberikan komentar di atas panggung oleh sang sutradara, Jujuk Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun