Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan-Jangan Sengkuni adalah Kita

13 Januari 2019   13:34 Diperbarui: 13 Januari 2019   13:56 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerelaan para saudara untuk menjadi santapan

Catatan Penonton Pementasan Perdikan "Sengkuni 2019"

SENGKUNI 2019. Demikian judul lakon karya Emha Ainun Nadjib atau dikenal dengan panggilan akrab Cak Nun, yang juga mendapat julukan (dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur) sebagai Kyai Mbeling. Apakah Sengkuni 2019 berbeda dengan Sengkuni yang sering dsebut-sebut selama ini? Jika tidak, mengapa harus ada angka 2019? Apakah lantaran 2019 terkait dengan adanya perhelatan demokrasi di Indonesia, yakni pemilihan umum, yang kita ketahui, Sengkuni menjadi salah satu idiom politik yang dilekatkan masing-masing pihak petarung ke sosok lawan politiknya?  

"Sama sekali tidak. Andaikan benar ada tokoh Sengkuni dalam Pilpres 2019, maka yang ditolak adalah nilai perilakunya dengan tetap menghormati mansianya. Sebab perilaku adalah produk manusianya, sedangkan manusia adalah ciptaan Tuhannya," jelas Cak Nun dalam booklet pementasan.

Tentang angka, dikatakannya 2019 sebagai gerbang zaman, adalah peluang terakhir untuk bercermin. "Berkaca, menatap wajah sendiri yang terpantul. Siapa bisa menjamin bahwa wajah di balik cermin kita masing-masing atau bersama-sama itu, ternyata beraura Sengkuni, berpotensi Sengkuni, atau bahkan memang Sengkuni itu sendiri. Bangsa ini membutuhkan keikhasan dan ketajaman untuk jujur kepada dirinya sendiri," tambahnya seperti memberi peringatan kepada kita semua.

Sosok Sengkuni yang ditampilkan memang berbeda dengan penuturan atau khazanah yang berbeda yang selama ini dikenal luas. Terutama tentang jumlah saudara-saudari sedarah Sengkuni, serta peristiwa semua dipenjara dengan hanya diberi sebutir nasi untuk setiap orang untuk makan sehari. Sehubungan dengan itu, Cak Nun secara khusus di awal tulisannya memohon maaf kepada Masyarakat Wayang dan Pedalangan.

"Segala khazanah dari masa silam sampai kepada penghuni zaman berikutnya melalui berbagai sumber informasi. Suatu wilayah kebudayaan bisa memperoleh dan kemudian meyakini salah satu versi berdasarkan informasi yang sampai kepada mereka. Bahkan dalam Agama (Islam) misalnya terdapat banyak madzah atau aliran atau pendapat atau buah tafsir yang bisa berbeda-beda,"  argumentasi yang dikemukakan Cak Nun.

Lakon ini bukan untuk mengungkap "Siapa Sengkuni" melainkan "Apa Sengkuni" pada kehidupan ber-negara dan bermasyarakat. Pada ukuran tertentu, tidak tertutup kemungkinan bahwa pada hakikinya kita semua atau masing-masing adalah SENGKUNI!

Dengan demikian, mengedepankan "apa Sengkuni", memunculkan berbagai karakteristiknya dalam peristiwa dan penokohan, ruang dan waktu yang ditampilkan bisa lintas batas, sebab yang dibutuhkan adalah pencerahan dalam pikiran kita untuk mengenali dan memahami karakter, tindakan dan nilai-nilai dari Sengkuni, bukan "siapa sosok Sengkuni" kendati dalam pencerahan, kita dapat lebih memahami sosok sengkuni tersebut.

Cerita

Bagus (Margono) calon pejabat dengan Timsuk (Agus Istijanto)
Bagus (Margono) calon pejabat dengan Timsuk (Agus Istijanto)
Dapatlah dikatakan kisah dalam lakon ini secara ringkas adalah tentang tokoh bernama Bagus (Margono W) yang bermaksud untuk mencalonkan diri sebagai pejabat. Ia didampingi oleh Timsuk (Agus Istijanto) yang menjadi Ketua Tim Sukses sekaligus konsultan yang mendidik Bagus agar dapat tampil dan berbicara di depan publik yang dapat menarik para pemberi suara. Kabar tentang Bagus yang akan mencalonkan diri terdengar oleh Bapaknya, Pak Kadep (Novi Budianto) yang menyatakan ketidak-setujuannya lantaran kekhawatiran Bagus akan terperosok atau terhanyut dalam kehidupan kekuasaan yang cenderung akan mengingkari nilai-nilai kemanusian dan kehidupan itu sendiri atau "menjadi Sengkuni".

Kisah di atas, menjadi semacam ilustrasi bagi kita untuk mendapatkan gambaran tentang karakter-karakter Sengkuni dengan sosok yang diperkenalkan dalam adegan pertama dan terakhir, berupa monolog dari Sengkuni. Monolog pertama, sebagai testimoni Sengkuni atas perjalanan kehidupan yangharus dialaminya, dan  dapat menjadi faktor yang mempengaruhi segala tindakan Sengkuni, kemudian monolog kedua menjadi semacam pledoi dan gugatan kepada manusia yang senantiasa menjadikan Sengkuni sebagai kambing hitam atas segala hal-hal buruk yang terjadi.

Variasinya, yang tampaknya disadari sebagai bumbu atau daya penarik  atau bisa dikatakan pula sebagai penyegar adalah keberadaan Kizano atau Kids Zaman Now, yang dengan gaya dan caranya sendiri berdialog tentang Sengkuni, yang kesan saya terlalu "cerdas".  Dan kelompok bertopeng yang menjadi semacam suara nurani manusia dengan koor-koor-nya. Kedua kelompok ini juga yang berperan sebagai "briedging"  dan berperan mengubah property untuk adegan selanjutnya.

Variasi lainnya, adalah keberadaan narator (Diperankan pula oleh Joko Kamto)  dan asistennya, Khatib (Eko Winardi), yang dalam kisah ini dibingungkan oleh cerita-cerita yang muncul di luar alur yang direncanakan dalam naskah yang mereka miliki.

Kisah sederhana, bukan berarti menjadikan naskah lakon menjadi sederhana. Ke-mbeling-an Cak Nun tentulah tak diragukan lagi, sehingga kemasan cerita menjadi sangat bermakna dengan kritik-kritik sosial yang kental yang dapat mengusik perasaan bukan hanya pemegang kekuasaan, para politisi, tapi juga kita pada umumnya sebagai manusia. 

Kekuatan lain, juga memunculkan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan pemikiran atau logika umum, atau bahkan bisa bertolak belakang,  namun bisa diterima akal sehat lantaran argumentasinya kuat. Ini tercermin dalam dialog-dialog para tokoh-tokohnya sehingga mampu membuat kita tersenyum atau bahkan tertawa kecut untuk mentertawakan diri kita sendiri, atau menghanyutkan kita untuk berpikir ulang secara mendalam. Tidak hanya dalam naskah, pada pengajian-pengajiannya kita tentu kerap mendengar dan menyaksikan hal semacam itu.  Sasaran bisa menembak siapa saja, termasuk jika terjadi dua kelompok kepentingan yang bersaing, kedua-duanya bisa menjadi sasaran tembak. Bukan kepentingan sesaat, melainkan didasarkan pada kemanusiaan. Membangun jiwa merdeka dan pikiran kritis, bukan menjadi "alat" yang memuja atau menghamba membabi-buta.

Pergulatan Cak Nun pada persoalan-persoalan sosial-politik, bukanlah muncul secara tiba-tiba. Dalam karya, setidaknya telah terlihat sejak Kumpulan Puisinya "Nyanyian Gelandangan" yang diterbitkan oleh "Jatayu" dan Taman Budaya Surakarta di tahun 1982. Tampaknya ini dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam Lokakarya Teater yang diselenggarakan oleh PETA tahun 1980 dan lingkaran pergaulannya di Teater Dinasti yang kerap mendiskusikan masalah-masalah sosial-politik, yang kemudian diangkat menjadi tema lakon yang dipentaskan? Seni sebagai media penyadaran dan pembebasan.

Pementasan

Keluarga Pak Kadep
Keluarga Pak Kadep
Menariknya menonton suatu pertunjukan teater, dalam lakon yang sama pun dengan kelompok yang sama, hasilnya belum tentu sama. Berbeda misalnya dengan menonton film, saat kita menonton pertama kali dan barangkali 10-15 tahun menonton ulang, apa yang ditampilkan tidak akan berubah. Itulah salah satu ciri khas dari pertunjukan teater.

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (lihat di SINI), bahwa saya berkesempatan menonton latihan di waktu-waktu akhir menjelang pementasan dan juga menonton Gladi Resiknya, telah banyak terjadi perubahan dalam komposisi atau blocking-nya. Demikian pula saat pementasan di hari pertama, semalam (12/1) terlihat ada perubahan  di beberapa adegan.

Secara keseluruhan, 34 pemain yang terlibat dalam pementasan ini menunjukkan kesungguhannya. Koor dan gerak bersama, tampak lebih kompak.

Adegan dibuka dengan nyanyian tentang Sengkuni, Seseorang (Khatib, Eko Winardi) membawa buku besar, meletakkan di book stand yang terletak di sisi kiri belakang panggung dengan level yang lebih tinggi. Di Sisi kanan, terlihat tumpukan kursi-kursi dan meja kayu sederhana (yang nantinya digunakan sebagai property, dengan setting  yang berbeda-beda sesuai dengan adegan yang dimainkan. 

Dari wing kiri (berdasar pandangan penonton) keluar empat orang, tiga diantaranya tampak terlihat mengenaskan. Inilah perkenalan sosok Sengkuni (dimainkan oleh Joko Kamto) yang menghadapi dilema sebagai orang yang terpilih diantara 100 saudaranya yang dipenjara, untuk tetap hidup dan yang lainnya merelakan diri makanan mereka (satu butir nasi setiap hari) dimakan oleh Sengkuni guna mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang tentu saja tidak mencukupi, sehingga semua saudaranya juga merelakan dirinya menjadi santapan bagi Sengkuni, termasuk kedua orangtuanya, yang darahnya juga diminum oleh Sengkuni. Ini menjadi pengantar bagi penonton guna memahami latar belakang segala karakter dan tindakan Sengkuni yang dikenal selama ini.

Berbagai adegan yang tampil kemudian memberikan gambaran tentang pandangan-pandangan orang yang melekatkan nama Sengkuni pada karakter-karakter dan tindakan manusia yang jelek/buruk. Di sini kita seakan diayun-ayunkan segenap perasaan kita, diputar-putar pikiran dan logika kita, untuk kemudian mendapatkan pencerahan.

Adegan pertama dan adegan terakhir yang menampilkan Sengkuni berdurasi cukup panjang, saya kira hampir satu jam lamanya, dimainkan dengan sangat baik oleh Joko Kamto yang mempesona penonton untuk setia menyimak kata demi kata yang diucapkan, dengan diksi yang terdengar jelas kendati irama suara dalam dialognya harus berbicara lirih. Ia yang merupakan salah satu aktor andalan Yogyakarta, di usianya yang sudah 60 tahun, masih menunjukkan permainan prima.

Adegan-adegan lainnya, secara keseluruhan berjalan lancar, enak ditonton, dan sesekali tanpa lepas konteks mampu membangun tawa penonton dengan suatu pernyataan, celetukan dan gerak, yang tidak dibuat-buat. Kritik-kritik sosial bertaburan dalam setiap adegan.     

Adegan Bagus dengan Timsuk dan juga adegan keluarga Pak Kadep, yang bermain dengan gaya realis, kesemuanya bisa dimainkan secara wajar, seimbang, menyatu dan dan mengesankan. Yang mengganjal bagi saya adalah adegan Kizano, yang barangkali karena persoalan umur dan tidak mengikuti dengan baik karakter Kids Zaman now, terasa dibuat-buat. Tidak begitu jelas apakah mereka dari kalangan SMA atau mahasiswa-mahasiswa baru? Yang jelas, rasanya dialog terlalu "tertata" dan "cerdas". Jika adegan ini dimaksudkan sebagai penyegaran atau jika dimaksudkan sebagai bukti bahwa idiom Sengkuni juga telah meresap ke dalam kehidupan kaum muda, dialog "agak naif" barangkali dapat memperkuat.

Sedangkan adegan narator (diperankan pula oleh Joko kamto) dan asistennya, Khatib (Eko Winardi) dengan gaya karikatural, terlihat kompak dan menarik, yang juga kerap memancing tawa para penonton.

Musik dan tata lampu meluruh menyatu dalam setiap adegan selama pertunjukan berlangsung, sehingga suasana terbangun dengan baik. Perasaan kita dapat terbawa dan hanyut dalam adegan yang ditampilkan.

Narator (Joko Kamto) & Khatib (Eko WInardi)
Narator (Joko Kamto) & Khatib (Eko WInardi)
Dari keseluruhan pementasan, dengan membandingkan dua proses yang saya ikuti, saya agak terkejut dengan monolog Sengkuni di adegan terakhir, ketika Joko Kamto memilih banyak berposisi jongkok, yang jadinya mengurangi karakter Sengkuni yang tengah menggugat. Apakah ini perubahan yang dirancang atau spontanitas lantaran ingin membangun dialog dengan para penonton yang banyak duduk lesehan di depan panggung?

Secara pribadi, salah satu dialog yang mengesankan bagi saya saat menonton dua latihan sebelumnya, dan hilang saat pementasan di hari pertama ketika tokoh Sengkuni bertanya: (kira-kira) "apakah anda pernah menampar ibu anda? Atau, bukan itu, apakah anda pernah memarahi ibu anda?" selanjutnya, ada pernyataan; "Saya bisa merasakan bagaimana anda menyesali perbuatan anda....", ini tidak terucapkan, namun langsung "bagaimana dengan saya yang telah memakan saudara-saudara saya dan meminum darah orangtua saya?". Saat saya mendengarkan pertanyaan tentang kemungkinan yang terjadi  yakni penyesalan telah memarahi ibu, itu membuat saya terhenyak, berpikir, merenung, dan kemudian disentakkan dengan pernyataan Sengkuni yang membuat kita langsung membuat perbandingan.

Tepat

Pertunjukan "Sengkuni 2019" ini memang pas dilakukan pada saat-saat sekarang, ketika kita menghadapi pesta demokrasi yang gila, dengan model pertarungan para pendukung yang membabi-buta dan kehilangan daya kritis serta kecerdasannya. Setidaknya, "Sengkuni 2019", kata Cak Nun, menjadi cermin.

"Kita harus menempatkannya bukan semata-mata sebagai pementasan teater belaka, tetapi yang terpenting dapat menjadi pembelajaran tentang kemanusiaan," demikian disampaikan Cak Nun saat diminta kehadirannya dan memberikan komentar di atas panggung oleh sang sutradara, Jujuk Prabowo.

Konon kabarnya, "Sengkuni 2019" ini juga akan dipentaskan di Jakarta, Surabaya dan Malang. Sukses bagi Teater Perdikan. Semoga lakon yang dimainkan memang dapat membuka mata hati di tengah hiruk-pikuk gelombang hitam kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang jika berkepanjangan tanpa ada upaya menangkalnya, akan menjadikan kehidupan kita sebagai "neraka" tanpa peradaban.

Begitu saja tulisan saya sebagai bentuk kesan seorang penonton.

Yogyakarta, 13 Januari 2019

Komentar Emha Ainun Nadjib di akhir Pementasan
Komentar Emha Ainun Nadjib di akhir Pementasan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun