Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Lun Yu 1.1: Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesali; bukankah ini sikap seorang Jun Zi - Kun Cu? - Lukas 12.57: Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar? - QS 8.22: Indeed, the worst of living creatures in the sight of Allāh are the deaf and dumb who do not use reason

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 2): San-bo-tsai dalam Catatan Willem Pieter (WP) Groeneveldt

23 Maret 2024   01:27 Diperbarui: 3 Mei 2024   01:11 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman depan buku karya Willem Pieter Groeneveldt/Internet Archive

Sebelum kita memulai, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini sebetulnya merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya: Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 1): Catatan Biksu I-Tsing. Karenanya, informasi yang ada di dalam tulisan ini erat kaitannya dengan Bagian 1 tersebut. Karenanya, tanpa melihat ke bagian awal, bagian kedua ini mungkin akan terasa cukup membingungkan; mungkin sama membingungkannya dengan menghubungkan narasi sejarah Indonesia berdasarkan buku-buku klasik yang dapat kita temukan, yang sebetulnya dapat diuraikan satu-satu dengan mencermati penjelasan-penjelasan yang diberikan - dan dengan alasan yang sama, tulisan-tulisan ini dibuat...

 

San-bo-tsai

Dalam catatan kaki sensei Takakusu pada bukunya “A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago”, beliau menyebutkan tentang sumber-sumber yang beliau dapatkan; salah satunya dari catatan meester Willem Pieter (WP) Groeneveldt, seorang ahli bahasa dan sejarah Cina (sinologist) yang berasal dari Belanda, dalam “Notes on the Malay Archipelago” (xlii). Dan, sebab sensei Takakusu menghubungkan Sribhoja (Shih-li-fo-shih) dengan San-bo-tsai untuk mengidentifikasi (letak) kerajaan Sribhoja, kita jelas butuh untuk memahami kerajaan ini. Dalam tulisan ini, kita akan membahas tentang kerajaan San-bo-tsai berdasarkan penjelasan meester WP Groeneveldt – sekali lagi, salah satu sumber yang disebutkan oleh Takakusu sensei.

Dalam bukunya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca (1876), keterangan tentang San-bo-tsai dapat dilihat pada bagian “Sumatra” (halaman 59), khususnya di bawah subbagian “Eastern Coast of Sumatra” (hal. 60). Dan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Takakusu sensei, dalam catatan dinasti Sung (Song) kerajaan San-bo-tsai memang dinyatakan terletak di antara Kamboja dan Jawa. 

Hanya saja, dalam buku ini juga terdapat penjelasan bahwa kerajaan San-bo-tsai awalnya bernama kerajaan “Kandali” (Kan-da-li), sebagaimana tercantum dalam catatan sejarah dinasti Ming (1368-1643). Nama ini sendiri sudah disebutkan dari mulai catatan sejarah dinasti Liang (502-556) yang menyatakan bahwa kerajaan ini terletak di laut selatan dan budaya serta kebiasaan orang-orangnya sama dengan orang-orang yang berada di Kamboja dan Siam (sederhananya: Thailand). 


Namun, pun catatan sejarahnya berasal dari dinasti Liang, catatan ini sebenarnya turut menceritakan kedatangan utusan bernama Ta-ru-da dari kerajaan Kandali, yang (pada masa itu) berada di bawah kepemimpinan raja Sa-pa-la-na-lin-da, kepada kaisar Hsiau-wu (Xiaowu) dari dinasti Liu Song yang berkuasa pada tahun 454-464 (hal. 60) - yang menandakan bahwa kerajaan tersebut telah dikenal oleh dinasti Cina sekitar 50 tahun sebelumnya.

Gambaran Kaisar Hsiau-wu (Xiaowu) dari dinasti Liu Song pada situs Wikiwand: Emperor Xiaowu of Song
Gambaran Kaisar Hsiau-wu (Xiaowu) dari dinasti Liu Song pada situs Wikiwand: Emperor Xiaowu of Song

Penjelasan-penjelasan tersebut menandakan bahwa kerajaan Kandali, yang lalu kemudian dikenal sebagai San-bo-tsai, telah dikenal oleh bangsa Cina sekitar 200 tahun sebelum kedatangan biksu I-tsing ke Sumatra (688-695). Namun, pada bagian catatan kaki, meester Groeneveldt menjelaskan bahwa beliau tidak dapat mengidentifikasi nama “Kandali” (atau “Kandari” atau “Kandori”), sebab nama ini kemudian menghilang dari catatan sejarah Cina. Pun demikian, beliau menambahkan, (sejarawan) Cina sepakat bahwa kerajaan ini berada di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Palembang berdasarkan “tradisi” (identifikasi sejarah) yang tidak terputus (uninterrupted tradition – hal. 60)

Di sini, kita kembali dapat melihat bagaimana identifikasi terkait letak kerajaan ini didapatkan dengan mengikuti "tradisi" berdasarkan pemahaman para sejarawan Cina – sebagaimana hal yang sama juga dinyatakan dan diterapkan oleh sensei Takakusu. Lebih lanjut, meester Groeneveldt juga menjelaskan “kemungkinan” bahwa catatan sejarah Cina ini semata didapatkan dari keterangan para penduduk Kandali yang datang ke negeri Cina dan bukan karena (utusan-utusan) kekaisaran Cina mendatangi langsung kerajaan tersebut pada masa itu. Pertanyaan pertamanya pada titik ini adalah: apa hubungan yang ada antara kerajaan ini dengan kerajaan Malayu atau Sribhoja dan Bhoja? Hal ini disebabkan, dalam catatan ini, tidak disebutkan nama-nama tersebut.

Sampai pada titik ini, hubungan itu sebetulnya sulit untuk didapatkan - bahkan hubungan antara kerajaan Kandali dan San-bo-tsai sendiri sebetulnya mungkin sulit untuk dipastikan, jika bukan karena keterangan dari catatan dinasti Ming. Dalam catatan dinasti yang berkuasa dari 1368 hingga 1643 (1644) ini, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa San-bo-tsai "sebelumnya disebut Kandali" (hal. 68). Keterangan ini memperlihatkan pada kita bahwa ada jeda selama (sekitar) 800 tahun dari akhir dinasti Liang, di mana nama Kandali disebutkan, hingga kerajaan ini kembali diidentifikasi pada masa dinasti Ming. Tentu hal ini menimbulkan tanya: apa yang terjadi selama itu? Dan, mengapa nama Kandali tidak disebutkan oleh biksu I-tsing? Sedikit catatan, ada jarak sekitar 132 tahun dari sejak masa akhir dinasti Liang hingga kedatangan biksu I-tsing ke Sribhoja (sebagai kerajaan). Catatan lain, Takakusu sensei sebetulnya tidak menyebutkan secara jelas nama kerajaan yang beribukota di Bhoja (Takusu, hal. xl); yang beliau sebutkan semata ibu kotanya itu sendiri, yaitu “Bhoja”. Saat kerajaan (tanpa nama) yang beribukota di Bhoja ini memperluas wilayahnya hingga ke Malayu, yang juga mengindikasikan bahwa kerajaan ini berbeda dari Malayu, barulah kerajaan ini berganti nama menjadi Sribhoja. Lalu, apakah kerajaan Kandali ini yang disebutkan memiliki ibu kota di Bhoja – hingga saat kerajaan ini berganti nama menjadi Sribhoja? Ataukah, kerajaan ini merupakan kerajaan yang berbeda, baik dengan kerajaan Malayu ataupun dengan kerajaan yang beribukota di Bhoja? Sayangnya, penulis tidak menemukan cara untuk menjawab pertanyaan ini. Dan, seperti sensei Takakusu dan meester Groeneveldt, pada akhirnya kita hanya mampu bergantung pada tradisi catatan sejarah Cina yang menghubungkan antara kerajaan Kandali dan San-bo-tsai - dan, lalu kemudian, dengan Sribhoja dan (mungkin) Sriwijaya.

Gambaran Willem Pieter Groeneweldt diambil dari situs Wikidata berbahasa Rusia: Груневелдт, Виллем
Gambaran Willem Pieter Groeneweldt diambil dari situs Wikidata berbahasa Rusia: Груневелдт, Виллем

Keterangan tentang San-bo-tsai dalam buku meester Groeneveldt dapat dilihat pada halaman 62-76 atau sebanyak 14 halaman dibawah subjudul San-bo-tsai. Nama kerajaan ini sendiri tercatat dari mulai sejarah dinasti Sung (Song, 960-1279) hingga terakhir pada catatan "Tung Hsi Yang K’au" (buku III) bertarikh 1618. 

Narasi tentang kerajaan ini menandakan secara sederhana, sebagaimana yang dijelaskan dalam catatan-catatan tersebut, adanya interaksi yang sebetulnya terjalin dengan baik antara kerajaan di Sumatra dengan kekaisaran Cina selama kurang-lebih 700 tahun. Namun, pun demikian, ada jeda sekitar 400 tahun di mana keterangan tentang hubungan ini sempat menghilang dari catatan sejarah Cina. Akan tetapi, pun dengan interaksi yang terjadi, letak kerajaan-kerajaan di nusantara ini sesungguhnya tidak diterangkan secara jelas dan umumnya didapatkan melalui “proses” identifikasi. “Proses” inilah yang seharusnya kita mengerti.

Kerajaan pertama yang disebutkan, yang menurut meester Groeneveldt berada di pesisir timur Sumatra, bernama Kandali dan tertulis dalam catatan sejarah dinasti Liang (502-556). Dan, sebagaimana penulis telah sebutkan sebelumnya, nama kerajaan ini sebetulnya tidak lagi ditemukan, sampai catatan dinasti Ming mengidentifikasi kerajaan ini sebagai kerajaan San-bo-tsai yang berada di Sumatra. Kerajaan San-bo-tsai sendiri disebutkan oleh dinasti yang berkuasa sebelum dinasti Ming, yaitu dinasti Sung (Song) yang berkuasa pada tahun 960-1279. 

Karenanya, walau kerajaan San-bo-tsai dikenali oleh dinasti Sung, hubungan antara kerajaan San-bo-tsai dan kerajaan Kandali baru disebutkan kembali pada masa dinasti Ming atau sekitar 89 tahun sejak akhir dinasti Sung (Song). Dinasti Sung sendiri sebetulnya tidak menyebutkan hubungan dua kerajaan ini - yang ada justru keterangan bahwa raja di tempat ini bernama atau disebut (is styled) “Chan-pi”. Nama ini, oleh meester Groeneveldt, diinterpretasikan sebagai “Jambi” (Djambi)

Meester Groeneveldt sebenarnya menjelaskan lebih jauh tentang nama atau sebutan ini, tetapi kita akan tinggalkan dulu bahasan ini untuk sementara. Sebab, pertanyaannya sampai di sini adalah: lalu, apakah kerajaan San-bo-tsai memang dulunya merupakan kerajaan Kandali? Sekali lagi, mungkin tidak (atau belum) ada cara pasti untuk memastikan hubungan antara Kandali dengan San-bo-tsai, yang bisa kita lakukan pada saat ini hanyalah semata bergantung pada keterangan-keterangan tersebut. Tetapi, mungkin, pertanyaan yang lebih relevan adalah: apakah kerajaan ini, pada dasarnya, adalah kerajaan Sribhoja yang kita cari?

Penyebutan
Penyebutan "Chan-pi" yang diinterpretasikan sebagai "Jambi" oleh meester Groeneveldt/Springer

Ada satu kesamaan antara identifikasi Takakusu sensei dengan meester Groeneveldt, walaupun keduanya sebetulnya mengidentifikasi “nama” kerajaan yang berbeda. Keduanya menghubungkan baik nama “Sribhoja” (sensei Takakusu) maupun “San-bo-tsai” (meester Groeneveldt) dengan “Sarbaza” (sedikit catatan, meester Groeneveldt  sebetulnya menyebut “pulau Sarbaza” dan bukan “kerajaan”). 

Jika menilik dari nama, memang sebetulnya ada kesamaan antara “Sribhoga” dengan “Sarbaza”, tetapi sensei Takakusu jelas tidak sekadar mencocokkan kedua nama ini saja, tetapi juga banyak hal lainnya – sebagaimana yang telah penulis jabarkan dalam artikel sebelumnya. Sedangkan meester Groeneveldt, beliau merasa yakin bahwa “San-bo-tsai” merupakan nama yang sama dengan “Sarbaza” yang disebutkan oleh para penjelajah Arab pada abad ke-9 Masehi, walau menurut beliau, keduanya mungkin bukan dengan transkripsi (penulisan ejaan) yang tepat (hal. 62). 

Meester Groeneveldt menjelaskan lebih lanjut bahwa penjelajah Arab juga menyebutkan tentang kerajaan Sarbaza yang berada di bawah kekuasaan raja Zabedj atau Ya-ba-di atau Jawa. Jadi, di sini, hubungan yang ada antara San-bo-tsai dengan Sarbaza sebetulnya bukan hanya terletak pada kesamaan nama-nama belaka, tetapi juga hubungan nama-nama ini dengan Jawa

Pun demikian, kesamaan nama-nama inilah yang paling ditekankan, bahwa nama Sribhoja (Sribhoga), Sarbaza, dan San-bo-tsai yang disebut-sebut berada di Sumatra merujuk pada kerajaan yang sama. Dari sini jugalah, kita menemukan hubungan antara Sribhoja dan San-bo-tsai, yaitu melalui perantaraan Sarbaza

Pertanyaan selanjutnya hanya tinggal: di mana tepatnya letak kerajaan ini sebenarnya? Benarkah kerajaan ini berada di Palembang, Sumatra Selatan? Sayangnya, tidak ada cara cepat untuk menjawab pertanyaan ini - kita butuh untuk terus menelusuri dan mencermati keterangan-keterangan yang ada dalam catatan-catatan sejarah Cina tentang kerajaan San-bo-tsai itu sendiri.

Sampai pada titik ini, kita setidaknya tahu bahwa di Sumatra pada masa lalu terdapat kerajaan yang disebut dengan nama yang berbeda-beda oleh orang-orang yang berbeda-beda - bahkan oleh penjelajah Arab, tetapi nama-nama itu tetap mengarah pada kerajaan yang sama. 

Namun, pun demikian, keterangan ini sebetulnya tidak serta-merta menjawab letak dari kerajaan tersebut. Yang harus diingat adalah: penceritaan tentang kerajaan ini, yang terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun, sudah barang tentu melewati berbagai macam situasi dan kondisi yang sangat mungkin mengakibatkan dinamika di dalam kerajaan itu sendiri. Hal ini belum ditambah dengan proses identifikasi yang terbilang rumit. 

Pertanyaannya, tentu saja: apa saja yang terjadi dalam kurun waktu tersebut? Adakah penjelasan-penjelasan yang membuat kita mampu memahami apa yang terjadi pada kerajaan ini atau bahkan keterangan-keterangan yang akan membuat kita menemukan letak presisi dari kerajaan tersebut?

Banyak penjelasan di dalam keterangan-keterangan catatan sejarah Cina yang sebetulnya menunjukkan dinamika yang terjadi di dalam kerajaan San-bo-tsai sendiri. Di antara keterangan-keterangan tersebut, yang kebanyakan mengenai persembahan dari kerajaan ini kepada kaisar Cina, salah satu yang paling relevan mungkin dapat dilihat pada catatan sejarah dinasti Ming (1368-1643). 

Dalam catatan ini diceritakan, pada tahun 1370, kaisar Cina mengirimkan utusan untuk mengundang wakil dari kerajaan ini dan, pada tahun berikutnya, raja kerajaan ini yang bernama Maharaja Prabu (Ma-ha-la-cha-pa-la-pu) mengirim utusan yang membawa surat yang ditulis pada daun emas beserta persembahan-persembahan seperti beruang hitam, kasuari, merak, dan sebagainya. 

Catatan ini juga menjelaskan bahwa pada (sekitar) masa itu terdapat tiga raja pada kerajaan ini (hal. 69). Raja-raja yang disebutkan, selain Maharaja Prabu yang mengirimkan utusan dan persembahan pada tahun 1371, adalah: raja Tan-ma-sa-na-ho yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1373, raja Ma-na-ha-pau-lin-pang yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1374, dan raja Seng-ka-liet-yu-lan yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1375.

Pada titik ini, perhatian khusus mungkin harus ditekankan pada keterangan terkait “tiga raja” yang tercantum dalam catatan tersebut. Salah satu alasannya, keterangan lanjutannya menceritakan bagaimana, pada tahun 1377, anak dari raja Tan-ma-sa-na-ho yang bernama Ma-la-cha Wu-li mengirim utusan dan persembahan pada kaisar Cina untuk menggantikan ayahandanya yang meninggal pada tahun 1376 - atau satu tahun sesudahnya.

Terkesan dengan kepatuhan Ma-la-cha Wu-li, kaisar Cina mengirim utusan-utusan yang membawa segel kerajaan dan menobatkan Ma-la-cha Wu-li sebagai raja San-bo-tsai. Namun, sebab saat itu San-bo-tsai berada dalam kekuasaan Jawa, raja Jawa yang marah atas keputusan kaisar Cina mengirim orang untuk menghentikan dan “menghabisi” utusan kaisar Cina. 

Sedikit catatan sebelum kita lanjutkan, dalam instruksi kaisar Cina tentang masalah ini, yang menjadi sebuah pernyataan kekaisaran (imperial statement), beliau sebetulnya menyebutkan bahwa utusan-utusan tersebut “dikirim pulang dengan cara yang sangat santun (sent them back with great politeness)” (hal. 70). Kontradiksi antara pernyataan kekaisaran dengan catatan dinasti Ming yang saling bertentangan ini ditangkap oleh meester Groeneveldt. Beliau menyatakan bahwa, kemungkinannya, harga diri kaisar tidak dapat mengakui bahwa utusan-utusannya telah dihabisi – namun, ini hanyalah dugaan meester Groeneveldt semata. Sampai di sini, pertanyaannya terbilang cukup jelas: siapa tiga raja yang dimaksudkan oleh catatan Cina tersebut? Hal ini disebabkan, walau disebutkan tiga raja, catatan ini sebetulnya menerangkan keberadaan empat raja – di mana Maharaja Prabu adalah salah satu di antaranya. Apakah Maharaja Prabu adalah raja Jawa, yang diceritakan dalam narasi ini, dan tiga raja lainnya adalah raja-raja yang berada di San-bo-tsai - yang berada di bawah kekuasaan raja Jawa?

Sedikit keterangan yang didapatkan dari catatan kaki sensei Takakusu, beliau menyatakan bahwa kerajaan Zabedj (Jawa atau Iabadiu dalam catatan Ptolemy - yang juga disebut Ya-ba-di dalam catatan meester Groeneveldt), yang dikenal oleh para penjelajah Arab, mewakili kerajaan yang luas di Kepulauan-kepulauan Melayu (Malay Islands). Menurut Takakusu sensei, kerajaan ini berada di Jawa dan rajanya dikenal oleh orang Arab dengan gelar Hindu: “Maharaja” (Takakusu, hal. xliii). Keterangan ini juga ditambah dengan keterangan meester Groeneveldt yang menyatakan bahwa keterangan tentang pulau Sarbaza yang berada di bawah kekuasaan Jawa dinyatakan oleh para penjelajah Arab abad ke-9 Masehi. Keterangan-keterangan ini diperkuat dengan keterangan dari catatan dinasti Sung (Song) bahwa pada tahun 992, seorang utusan dari kerajaan San-bo-tsai mendengar berita bahwa kerajaannya telah diinvasi oleh Jawa (Groeneveldt, hal. 65) – yang menandakan bahwa San-bo-tsai telah berada di bawah kekuasaan Jawa sekitar 378 tahun, sebelum kaisar Cina dari dinasti Ming mengirim utusan kepada Maharaja Prabu pada tahun 1370. Dan, pertanyaannya sampai di sini sebetulnya adalah: apakah "Maharaja Jawa" yang disebutkan oleh para penjelajah Arab merupakan "Maharaja Prabu" yang disebutkan dalam catatan dinasti Ming - setidaknya sebagai suatu gelar?

Peristiwa yang terjadi di sekitar tahun 1377, atau satu tahun setelah kematian raja Tan-ma-sa-na-ho ini, sebetulnya cukup penting; sebab keterangan ini pada akhirnya akan menghubungkan kita dengan kerajaan lainnya yang berada di Indonesia, yaitu ke(maha)rajaan Majapahit - yang pada masa ini dipimpin oleh Maharaja (Prabu) Hayam Wuruk. Akan tetapi, untuk mendapatkan suatu keteraturan, kita akan membahas hal ini belakangan. Pada titik ini, berdasarkan keterangan-keterangan sebelumnya, kita setidaknya tahu bahwa "Maharaja Prabu" yang disebutkan dalam catatan dinasti Ming adalah gelar raja Jawa yang juga disebutkan oleh para penjelajah Arab pada abad ke-9 Masehi - abad yang sama saat utusan kerajaan San-bo-tsai mendengar bahwa kerajaannya telah dikuasai oleh Jawa. Untuk itu, hal ini menjelaskan bahwa raja Jawa yang disebutkan telah membunuh atau mengirim pulang utusan-utusan Cina adalah sang Maharaja Prabu itu sendiri. Dan, sebab Maharaja Prabu merupakan Maharaja Jawa, “tiga raja” yang disebutkan dalam catatan sejarah dinasti Ming sudah cukup jelas, yaitu: raja Tan-ma-sa-na-ho, raja Ma-na-ha-pau-lin-pang, dan raja Seng-ka-liet-yu-lan. Permasalahannya hanya tinggal: apa hubungan antara tiga raja ini? Apakah tiga raja ini menegaskan catatan dinasti Sung, yang menyatakan bahwa San-bo-tsai dikatakan menguasai 15 wilayah yang berbeda-beda – di mana di antaranya adalah wilayah-wilayah dari raja-raja ini? Apakah hal ini mengindikasikan penggabungan atau bahkan penyusutan dari 15 wilayah tersebut, yang pada akhirnya, hanya dikuasai oleh tiga orang raja? Sayangnya, tidak ada penjelasan pasti mengenai hal ini. Hanya satu hal yang dapat dipastikan yaitu; catatan Cina menyebutkan bahwa anak dari raja Tan-ma-sa-na-ho, yaitu Ma-la-cha Wu-li, ditunjuk oleh kaisar Cina untuk menggantikan ayahandanya sebagai raja San-bo-tsai. Hal ini menyiratkan bahwa ayahanda beliau, atau raja Tan-ma-sa-na-ho, merupakan raja San-bo-tsai sebelum kematiannya. Apakah hal ini berarti dua raja lainnya berada di bawah kekuasaan beliau sebagai raja San-bo-tsai? Dan, sayangnya, pertanyaan ini juga sulit untuk dijawab. Yang dapat kita ketahui, setidaknya pada saat ini, penyebutan tiga raja kembali mengindikasikan San-bo-tsai sebagai wilayah yang cukup luas - dengan catatan, raja-raja ini memerintah pada saat yang sama dan bukan secara bergantian. Dan, hal ini seakan kembali mempertegas keterangan-keterangan yang tertulis dalam catatan-catatan sejarah Cina dan buku Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians).

Sekedar pengingat, walau kerajaan ini disebut-sebut berada di Palembang, meester Groeneveldt sendiri menyatakan bahwa hal tersebut terjadi sebagai “tradisi” (pemahaman umum) sejarawan Cina. Keterangan bahwa “Palembang” (Pa-lin-feng) yang berada di bawah kekuasaan San-bo-tsai, sebagaimana tercatat dalam buku Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians), serta penyebutan Raja Jambi (Chan-pi) mungkin mampu menjadi gambaran sederhana luas wilayah dari kerajaan ini. Untuk itu, kita sesungguhnya tidak dapat menyatakan bahwa kerajaan ini berada di Palembang atau Jambi, sebab wilayah-wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah kerajaan ini. Pernyataan semacam itu sebetulnya justru meng-kerdil-kan wilayah kekuasaan kerajaan San-bo-tsai, sebab kita semata akan terpaku pada wilayah Sumatera Selatan atau semata terpaku pada Jambi. Padahal, setidaknya menurut catatan-catatan sejarah Cina, keduanya masuk dalam wilayah San-bo-tsai. Karenanya, pernyataan yang tepat mungkin: kerajaan yang kita cari di sini sebetulnya adalah kerajaan pesisir timur Sumatra, sebagaimana judul yang diberikan oleh meester Groeneveldt (Eastern Coast of Sumatra, hal. 60) – khususnya yang berada di daratan utama pulau Sumatra. Peta Jambi dan Palembang di bawah mungkin dapat menjadi sedikit gambaran tentang luas dari kerajaan pesisir timur Sumatra ini - dengan catatan, itupun belum ditambah dengan wilayah-wilayah lain yang sebetulnya juga disebutkan dalam buku Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians):

"Chan-pi" yang diduga sebagai "Jambi" dan Palembang yang disebutkan dalam catatan sejarah Cina tentang San-bo-tsai/Google Map

Pada subbagian tentang kerajaan-kerajaan di pesisir timur Sumatra, selain Kandali yang berubah nama menjadi San-bo-tsai, meester Groeneveldt sebetulnya turut memberikan keterangan tentang keberadaan wilayah-wilayah lainnya, yaitu: Indragiri (yang disebut sebagai wilayah kecil di bawah kekuasaan Jawa - yang selalu diganggu dan pada akhirnya dikuasai oleh Johore), Billiton atau Blitung, Banka, dan Lingga. Hal ini sebetulnya cukup menarik, sebab selain Indragiri yang disebut sebagai wilayah kecil dan terdiri tidak lebih dari seribu keluarga (hal. 77), wilayah lain yang disebutkan merupakan wilayah kepulauan. Apakah hal ini turut menandakan bahwa San-bo-tsai adalah kerajaan besar yang hanya menguasai daratan pesisir timur Sumatra - tetapi tidak termasuk wilayah kepulauan? Ataukah, meester Groeneveldt sebetulnya hanya membagi antara Sumatra pesisir (daratan utama) dan Sumatra kepulauan?

Sedikit catatan, meester Groeneveldt sebetulnya membagi Sumatra dalam 2 bagian: pesisir timur (Eastern Coast) dan pesisir utara Sumatera (Northern Coast of Sumatra). Pembagian ini sejatinya terbilang dinamis, sebab ada tumpang-tindih dalam pembagian wilayah ini, seperti Lambri yang disebutkan dalam catatan shifu Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan (1416), dan diletakkan oleh meester Groeneveldt dalam kerajaan pesisir utara Sumatra, namun termasuk dalam wilayah kerajaan San-bo-tsai pada catatan Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians) yang disusun pada masa kerajaan Sung (960-1279). Menariknya, jika kita terus mencermati penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam catatan sejarah Cina, kita sebetulnya dapat meraba tumpang tindih yang terjadi - termasuk dengan apa yang terjadi pada Palembang dan Jambi yang, pada awalnya, disebut-sebut berada di dalam wilayah kerajaan yang sama. Akan tetapi, kita akan membahas hal ini pada tulisan selanjutnya, sebab tulisan ini sudah menjadi terlalu panjang untuk kesehatan mental kita semua...

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun