Mohon tunggu...
Rita Octaviany
Rita Octaviany Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Renungan dan Penghayatan: JIS

6 Agustus 2014   03:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:19 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berbulan-bulan Jakarta International School terkungkung dalam kasus pelecehan anak yang belum juga usai; bahkan justru berkepanjangan. Sudah dua puluh hari dua orang pengajar sekolah ini, Ferdi dan Neil, ditahan tanpa bukti; bahkan justru diperpanjang masa tahanannya. Sampai kapankah kita ingin berpaling dari kebenaran? Sampai batas manakah kita membiarkan emosi melalap logika? Sejauh manakah kita berpegang pada keadilan?

Ijinkanlah saya merangkul segenap kita untuk sejenak memahami. Bukanlah jawaban yang saya inginkan dari semua pertanyaan yang terlontar di sini, melainkan renungan.

Kasus pelecehan anak di bagian mana pun di dunia ini adalah perbuatan yang kejam, keji dan patut mendapat hukuman seberat-beratnya; kita semua sepaham akan hal ini. Pelecehan terhadap anak tentunya sangat menguras emosi orang tua mana pun yang mendengarnya. Namun bayangkanlah jika orang yang tidak bersalah dan tidak melakukan pelecehan dijerat tanpa bukti. Akankah itu membuat hati kita lega?

Banyak dari kita yang melibatkan emosi dan memposisikan diri sebagai seorang ibu, saya pun demikian --pastilah sedih dan hancur jiwa dan raga kita jika anak kita menjadi korban pelecehan. Dengan naluri seorang ibu, tentunya setiap waktu kita ingin selalu berada di sisi anak kita yang telah tersakiti, memeluknya, melindunginya dari ancaman bahaya. Kita pun pasti bersikeras agar pelaku yang sebenar-benarnya ditangkap dan menerima hukuman terberat. Namun di lain sisi, seberapa banyakkah dari kita yang melibatkan emosi dan kepedihan atas kedua orang yang dipenjara tanpa bukti? Seberapa banyakkah dari kita yang memposisikan diri sebagai istri mereka, sebagai keluarga mereka, sebagai anak-anak mereka yang harus dihidupi dan disekolahkan? Adakah dari kita yang mampu membayangkan kesedihan anak-anak mereka karena ayah mereka yang tak bersalah ditahan? Adakah dari kita yang sanggup membayangkan kehancuran hati orang tua mereka karena anak mereka yang tak bersalah ditahan? Adakah dari kita yang bisa membayangkan penderitaan jika kita tak bersalah namun dibui?

Kedua orang yang berdedikasi tinggi terhadap profesi mereka dan selalu menghormati anak didiknya ini harus mendekam dalam penjara atas kesalahan yang tak pernah mereka lakukan. Berbagai tuduhan yang dilontarkan terhadap mereka adalah tanpa bukti. Tak sakit hatikah kita jika hal ini terjadi terhadap anggota keluarga kita sendiri? Tak merontakah kita akan terabaikannya kebenaran? Adilkah jika orang yang tak bersalah terpenjara?

Ijinkanlah saya merangkul segenap kita untuk sejenak mengamati. Bukanlah jawaban yang saya inginkan dari semua pertanyaan yang terlontar di sini, melainkan pertimbangan yang mendalam.

Seiring dengan segala emosi yang bergejolak, satu hal yang tidak boleh kita pungkiri adalah logika. Dari berbagai fakta yang ada, salah satu fakta terpenting adalah kenyataan bahwa ruangan yang dituduhkan sebagai tempat kejadian tersebut bertembok kaca tembus pandang. Orang-orang yang berlalu lalang dan staf yang bekerja di sekelilingnya dapat melihat dengan jelas setiap gerak-gerik siapa pun yang berada di dalamnya. Ruang-ruang tembus pandang itu selalu bebas dilewati siapa pun dan kapan pun. Seberapa banyakkah dari kita yang mampu menutup mata atas fakta tersebut? Seberapa banyakkah dari kita yang memungkiri logika? Sulitkah bagi kita untuk mempertimbangkan ketidakmungkinan tuduhan tersebut?

Merupakan naluri orang tua untuk menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Naluri orang tua pula ingin selalu melindungi anggota keluarganya. Sungguh hal yang patut dipikirkan betapa gigihnya kami, ratusan orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ini, membela dan memohon pembebasan terhadap dua pengajar kami. Sungguh hal yang perlu dipahami betapa yakinnya kami akan kejujuran dan integritas keduanya.

Bayangkanlah, jika terbersit saja sedikit keraguan di benak kami tetapkah kami bersikeras membantu dan memohon agar mereka dibebaskan? Jika kami tak yakin akan kebenaran bukankah kami justru tak menginginkan keduanya kembali ke sekolah demi keselamatan anak-anak kami? Masuk akalkah jika sekian banyak orang tua membela jika kami meragukan keduanya?

Yang kami harapkan hanyalah tersingkapnya selubung kegelapan atas segala kebenaran serta kebebasan bagi yang berhak mendapatkannya. Untuk itu, ijinkanlah saya merangkul segenap kita untuk merenungi, memahami juga memohon. Bukanlah jawaban yang saya inginkan dari semua pertanyaan yang terlontar di sini, melainkan mata hati dan akal budi yang terbuka untuk mengerti.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun