Kedua terdapat kepercayaan bahwa peralatan bantengan memiliki "tempat tinggal" khusus yang tidak bisa sembarangan dipindahkan. Rumah Bapak Suparno dipercaya sebagai tempat yang memiliki energi yang sesuai untuk menyimpan perlengkapan sakral ini. Jika dipindahkan ke lokasi lain, berbagai kejadian tak biasa akan terjadi. seperti alat musik jidor yang tiba-tiba berbunyi tanpa ada yang memainkan, atau topeng kepala bantengan yang bergerak-gerak sendiri. "semua alat bantengan tempatnya harus dirumah ini, bahkan penari tidak berani membawa peralatannya sendiri" ujar pak suparno.
Ketiga, ikatan spiritual antara anggota grup bantengan dengan entitas penunggu begitu kuat hingga menembus batas geografis. Pak Adi(Pak Ndong) bercerita tentang penari bantengan yang sudah pindah ke pulau lain. Mereka sering bermimpi didatangi roh yang tinggal di topeng banteng.
Dalam mimpi itu, roh bantengan meminta mereka pulang dan memainkan bantengan Kembali.
Keempat keputusan untuk merawat atau memperbaiki perlengkapan bantengan tidak sepenuhnya berada di tangan manusia. Ketika Pak Suparno dan Pak Adi bermaksud memperbaiki tanduk kepala bantengan yang telah patah karena usia, roh penunggu bantengan menunjukkan penolakan. "Merawat alat-alat pertujukkan itu tidak boleh sembarangan, dulu ada tanduk kepala banteng yang patah, saya dan Pak Suparno sudah beberapa kali mencoba menyambung tapi dia (bantengan) tidak mau" ujar Pak Adi(Pak Ndong).
Cerita mitos bantengan ini memiliki kaitan erat dengan kondisi sosial dan kepercayaan masyarakat Jambuwer saat ini. Meskipun zaman telah berubah, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual dalam kesenian tradisional masih kuat tertanam dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai spiritual dan tradisional yang telah mengakar dalam budaya lokal.
"Selalu menghargai hal yang tidak kasat mata kerna meraka selalu berdampingan dengan kita" ujar Pak Adi(Pak Ndong). Pak Adi menyampaikan pesan hidup yang dalam. Menurutnya, di sekitar kita selalu ada hal-hal yang tidak bisa dilihat mata. Meskipun tidak terlihat, hal-hal tersebut tetap ada dan selalu menemani kehidupan kita sehari-hari.
Karena itu, kita harus menghormati dan menghargai keberadaan mereka. Dalam konteks bantengan, Pak Adi percaya bahwa roh yang bersemayam dalam topeng dan alat kesenian adalah "teman hidup" yang selalu mendampingi para seniman.
"Wong Jowo ojo nganti ilang jowone" ujar Pak Adi(Pak Ndong) yang berarti, Orang Jawa jangan lupa ke-Jawa-annya.
Pesan ini mengajak orang Jawa untuk tidak melupakan akar budaya dan tradisi leluhur. Meskipun zaman sudah modern atau sudah pindah ke tempat lain, identitas sebagai orang Jawa harus tetap dijaga.Dalam konteks bantengan, Pak Adi mengingatkan bahwa kesenian tradisional ini adalah bagian penting dari identitas Jawa.
Secara pribadi, mendengarkan dan menuliskan ulang cerita ini memberikan perasaan kagum terhadap kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Jambuwer. Ada rasa tanggung jawab moral untuk ikut melestarikan tradisi ini agar tidak hilang terbawa arus modernisasi. Sekaligus, cerita ini membuka mata bahwa di balik kesederhanaan desa terdapat budaya yang sangat berharga dan perlu dijaga untuk generasi mendatang.
Mitos bantengan di Desa Jambuwer bukan sekadar cerita mistis, melainkan cerminan dari pandangan masyarakat yang masih menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia spiritual. Dalam era digital ini, keberadaan mitos seperti ini menjadi pengingat bahwa tidak semua hal dapat dijelaskan dengan logika semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI