Akhir-akhir ini, aku lagi tertarik mendalami fenomena politik yang terjadi di Turki, terutama yang berkaitan dengan sosok Recep Tayyip Erdogan dan konsep yang dikenal sebagai Erdoganisme. Sebelumnya, aku cuma tahu Erdogan sebagai salah satu pemimpin dunia yang sering muncul di berita apalagi saat ada isu-isu besar di kawasan Timur Tengah. Tapi setelah membaca sebuah buku yang membahas lebih dalam tentang gaya kepemimpinannya, aku jadi sadar kalau apa yang terjadi di Turki itu jauh lebih kompleks dan menarik dari yang aku bayangkan.
Erdoganisme sendiri bukan sekadar istilah untuk menggambarkan kepemimpinan Erdogan secara teknis atau administratif. Ini lebih dari itu, ia adalah sebuah kombinasi yang unik dari nilai-nilai Islam, nasionalisme Turki, serta kekuatan karisma personal seorang pemimpin. Erdogan nggak cuma berperan sebagai kepala negara, tapi juga menjadi simbol yang mewakili harapan, identitas, bahkan kebangkitan nasional bagi sebagian besar rakyat Turki.
Kalau kita tarik ke belakang, sejak berdirinya Republik Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk, negara ini dikenal sangat menjunjung tinggi sekularisme. Agama benar-benar dipisahkan dari kehidupan negara. Identitas nasional Turki dibentuk dengan semangat modernisasi dan westernisasi, di mana simbol-simbol Islam secara perlahan disingkirkan dari ruang publik. Namun, semua itu mulai berubah ketika Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), mulai mendominasi panggung politik.
Di bawah Erdogan, nilai-nilai keislaman secara bertahap kembali masuk ke ranah publik. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang diberlakukan, mulai dari aturan berpakaian yang lebih longgar terhadap simbol keagamaan (seperti jilbab), perubahan kurikulum pendidikan yang lebih religius, hingga retorika politik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Bagi sebagian rakyat Turki, terutama mereka yang merasa terpinggirkan selama era sekularisme ketat, kehadiran Erdogan menjadi semacam titik balik yang mengembalikan identitas keislaman mereka ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, Erdoganisme nggak hanya bicara soal agama. Ada elemen nasionalisme yang sangat kuat menyatu di dalamnya. Erdogan sering membangun narasi tentang kebangkitan Turki sebuah visi besar yang menyatakan bahwa Turki sedang dalam proses mengembalikan kejayaan masa lalunya, terutama ketika menjadi pusat kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah. Retorika ini diperkuat lewat pembangunan infrastruktur raksasa seperti bandara terbesar di dunia di Istanbul, jembatan-jembatan megah yang menghubungkan benua Asia dan Eropa, serta pengembangan industri militer dalam negeri. Semua itu bukan sekadar pembangunan fisik, tapi juga simbol dari kemandirian dan ambisi besar bangsa Turki di bawah Erdogan.
Tapi tentu saja, sisi lain dari Erdoganisme nggak bisa diabaikan. Banyak pihak menilai bahwa gaya kepemimpinannya makin lama makin otoriter. Setelah kudeta gagal pada tahun 2016, Erdoan melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh militer, birokrasi, bahkan media. Sistem pemerintahan Turki juga diubah dari parlementer menjadi presidensial, sebuah langkah yang membuat kekuasaan eksekutif terkonsentrasi penuh di tangan Erdogan. Para pengkritik pemerintah dibungkam, jurnalis dijebloskan ke penjara, dan ruang kebebasan sipil semakin menyempit.
Yang menarik adalah, meskipun banyak kritik muncul baik dari dalam maupun luar negeri, Erdogan tetap memiliki basis pendukung yang sangat loyal. Lewat pendekatan populis dan kemampuan retorika yang kuat, ia berhasil membangun koneksi emosional yang dalam dengan rakyat kecil. Banyak dari mereka melihat Erdogan sebagai pemimpin yang benar-benar mewakili suara mereka---yang selama ini merasa diabaikan oleh elit lama Turki. Dalam hal ini, Erdoganisme berhasil memainkan emosi kolektif, menyentuh identitas, dan memberikan narasi besar yang dirindukan banyak orang.
Membaca buku ini membuka mataku terhadap satu hal penting: Erdoganisme bukan hanya cerita tentang Turki, tapi juga refleksi dari fenomena politik global yang semakin banyak terjadi. Kita bisa melihat kemunculan pemimpin-pemimpin kuat di berbagai belahan dunia yang memadukan agama, nasionalisme, dan populisme dalam strategi politik mereka. Mereka tidak hanya berkuasa lewat sistem formal, tapi juga lewat kekuatan simbolik dan emosi massa.
Pelajaran paling penting yang aku dapat dari buku ini adalah bahwa memahami politik itu sangat krusial. Politik bukan cuma soal kekuasaan atau partai, tapi tentang bagaimana narasi, identitas, dan harapan bisa dibentuk dan dimanipulasi. Apa yang terjadi di Turki bisa jadi cermin buat kita semua, termasuk dalam melihat dinamika politik di negara sendiri. Politik tidak pernah netral, dan pemahaman yang kritis terhadapnya bisa membantu kita melihat lebih jernih arah bangsa dan masa depan yang sedang dibentuk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI