Sebuah kontroversi muncul di London setelah kelas menggambar tubuh yang telah berlangsung selama 30 tahun diminta untuk mengubah formatnya atau berpindah tempat.Â
Permintaan ini datang setelah adanya keluhan mengenai model yang tidak berpakaian, terutama karena kelas ini diadakan di antara dua sesi kegiatan anak-anak di pusat komunitas. Keputusan ini memicu perdebatan antara kebebasan seni dan tanggung jawab sosial dalam ruang publik.
Menggambar tubuh atau melukis tubuh adalah bagian dari seni yang telah ada sejak zaman kuno. Dalam dunia seni rupa, menggambar bentuk manusia tanpa pakaian dianggap penting untuk memahami anatomi, proporsi, dan ekspresi tubuh.Â
Teknik ini digunakan oleh banyak seniman dari berbagai generasi untuk mengasah keterampilan mereka dalam menangkap detail bentuk dan cahaya secara akurat.
Pihak penyelenggara kelas, yang sudah mengadakan kegiatan ini selama puluhan tahun, merasa keputusan pusat komunitas tidak adil.Â
Mereka berargumen bahwa selama ini tidak ada masalah atau keluhan yang muncul, dan mereka telah berupaya menjaga privasi kelas dengan menutup jendela serta memasang tanda peringatan agar tidak ada yang masuk secara tidak sengaja.
Di sisi lain, pihak pusat komunitas mengklaim bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan seni melukis tubuh, tetapi mereka harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan berbagai kelompok yang menggunakan fasilitas tersebut.Â
Karena kelas ini diadakan di antara sesi anak-anak, muncul kekhawatiran dari beberapa pihak tentang bagaimana hal itu dapat berdampak pada lingkungan yang lebih luas.
Keputusan untuk memindahkan kelas ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: Apakah seni menggambar tubuh benar-benar tidak pantas di ruang komunitas?Â
Jika seni telah menjadi bagian dari sejarah manusia dan dipelajari oleh banyak orang sebagai bagian dari pendidikan visual, seharusnya tidak ada alasan untuk menganggapnya tabu. Namun, dalam lingkungan yang juga digunakan oleh anak-anak, faktor kenyamanan dan sensitivitas tetap perlu dipertimbangkan.
Solusi yang ditawarkan oleh pusat komunitas, seperti memindahkan kelas ke malam hari atau meminta model untuk mengenakan pakaian, dianggap tidak masuk akal oleh para seniman.Â
Jika kelas diubah menjadi sesi dengan model berpakaian, maka esensi dari melukis tubuh sebagai bentuk seni akan hilang. Sementara itu, mengubah jadwal ke malam hari dapat mengurangi jumlah peserta yang hadir, terutama bagi para lansia yang menjadi mayoritas peserta kelas ini.
Seharusnya, keputusan seperti ini diambil dengan mempertimbangkan kompromi yang adil bagi semua pihak. Misalnya, bisa dilakukan pengaturan ulang ruangan atau memastikan bahwa sesi anak-anak dan sesi menggambar tubuh memiliki batas waktu yang lebih jelas. Dengan cara ini, semua kelompok tetap dapat menjalankan aktivitas mereka tanpa mengganggu satu sama lain.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa seni tidak selalu berkaitan dengan hal-hal yang tabu. Melukis tubuh bukanlah sesuatu yang vulgar atau tidak pantas, melainkan bagian dari pendidikan seni yang telah dipraktikkan selama berabad-abad. E
Pada akhirnya, seni dan ruang publik harus bisa berjalan berdampingan tanpa ada yang merasa dirugikan. Dengan komunikasi yang lebih baik, kesadaran akan pentingnya seni, serta kebijakan yang lebih fleksibel, kelas melukis tubuh seharusnya bisa tetap berjalan tanpa mengorbankan kenyamanan pihak lain.Â
Menggambar Tubuh: Seni atau Hal yang Tabu di Indonesia?
Di berbagai negara, menggambar tubuh atau melukis tubuh telah menjadi bagian dari pendidikan seni dan budaya selama berabad-abad. Namun, di Indonesia, praktik ini sering kali dianggap tabu atau tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.Â
Perbedaan cara pandang ini menimbulkan pertanyaan: apakah seni menggambar tubuh benar-benar tidak pantas, ataukah hanya kurang dipahami oleh masyarakat?
Dalam dunia seni rupa, menggambar bentuk manusia tanpa pakaian adalah metode yang digunakan untuk memahami anatomi, proporsi, dan ekspresi tubuh secara lebih akurat.Â
Teknik ini mungkin telah diajarkan di banyak institusi seni di dunia, termasuk di beberapa kampus seni di Indonesia. Namun, karena budaya yang lebih konservatif, praktik ini sering mendapat pandangan negatif, terutama di ruang-ruang publik.
Di Indonesia, norma sosial dan nilai budaya sangat memengaruhi cara masyarakat memandang tubuh manusia. Banyak orang menganggap bahwa menggambar tubuh tanpa pakaian berpotensi melanggar kesopanan atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas.Â
Perbedaan pandangan ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antara dunia seni dan masyarakat umum. Di negara-negara Barat, seni melukis tubuh sudah lama diterima sebagai bagian dari pendidikan seni dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang bermuatan negatif.Â
Sementara itu, di Indonesia, masih ada anggapan bahwa seni yang melibatkan tubuh manusia secara eksplisit harus dibatasi atau disembunyikan.
Selain itu, faktor agama juga berperan dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap seni yang menampilkan tubuh manusia. Banyak ajaran agama yang menekankan pentingnya menjaga aurat dan kesopanan dalam berpakaian, sehingga menggambar tubuh manusia dalam keadaan tanpa pakaian sering kali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.Â
Akibatnya, banyak seniman di Indonesia yang harus mencari cara alternatif untuk tetap bisa mempelajari anatomi manusia tanpa melanggar norma sosial.
Sebenarnya, ada solusi yang bisa dijembatani agar seni menggambar tubuh tetap bisa diterima di Indonesia tanpa menimbulkan kontroversi.Â
Misalnya, pelaksanaan kelas melukis tubuh dapat dilakukan secara terbatas di ruang-ruang khusus seperti studio seni yang memang diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar ingin belajar. Dengan cara ini, kegiatan tersebut tidak menimbulkan kegaduhan di ruang publik, tetapi tetap dapat berlangsung dalam ranah akademik dan profesional.
Mungkin sebagian orang akan merujuk pada pendapat bahwa tujuan dan nilai seni rupa sangat penting. Tentu banyak orang yang belum memahami bahwa seni melukis tubuh bukanlah sesuatu yang berbau pornografi, melainkan sebuah disiplin ilmu yang memiliki nilai estetika dan akademik. Â
Namun Etika Sosial dan prinsip kesopanan juga harus menjadi pertimbangan penting dalam mengekspresikan seni.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI