Di tengah kemajuan teknologi dan industri modern, kerajinan tangan tetap memiliki daya tarik tersendiri. Salah satu bentuk seni yang masih bertahan adalah kerajinan batu putih dari Desa Ngeposari, Gunungkidul.
Dengan bahan baku alami yang diperoleh dari perbukitan sekitar, batu ini mengalami berbagai proses hingga menjadi karya seni yang bernilai tinggi. Keunikan inilah yang menjadikan Desa Ngeposari sebagai salah satu destinasi wisata budaya yang patut dikunjungi.
Batuan putih yang digunakan dalam kerajinan ini tidak serta-merta langsung dipahat menjadi karya seni. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan produk berkualitas.Â
Proses pertama adalah penggergajian, yaitu pemotongan batu yang masih dalam bentuk besar menjadi ukuran yang lebih kecil sesuai dengan kebutuhan desain. Ini merupakan tahap awal yang sangat penting, karena menentukan bentuk dasar dari produk yang akan dibuat.
Setelah dipotong, batu kemudian melalui proses penghalusan dengan cara dipasrah. Tahap ini bertujuan untuk meratakan permukaan batu agar lebih mudah diolah pada tahap berikutnya. Teknik ini memerlukan ketelitian agar batu tidak mengalami kerusakan atau retak, yang dapat mengurangi kualitas produk akhir.
Langkah selanjutnya adalah pemberian motif pada batu. Motif ini berfungsi sebagai panduan sebelum pemahatan dilakukan. Biasanya, motif yang diterapkan disesuaikan dengan jenis kerajinan yang akan dibuat, seperti relief dinding, patung, atau ornamen hiasan rumah.Â
Tahap yang paling menentukan dalam proses ini adalah pemahatan. Para pemahat dari Desa Ngeposari memiliki teknik khusus yang telah diwariskan secara turun-temurun.Â
Mereka tidak hanya bekerja dengan alat pahat, tetapi juga mengandalkan kreativitas dan ketelitian dalam setiap detail yang dibuat. Sentuhan seni yang mereka berikan menjadikan setiap karya memiliki karakter unik dan bernilai estetika tinggi.Â
Salah satu pengrajin dari desa ini adalah Mbah Joyo, yang telah menggeluti seni pahat selama bertahun-tahun. Berkat keahliannya, hasil karyanya telah dipesan dan dikirim ke berbagai daerah, termasuk Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Setelah proses pemahatan selesai, tahap terakhir adalah finishing. Pada tahap ini, batu yang telah dipahat akan dihaluskan kembali menggunakan amplas agar teksturnya lebih lembut dan terlihat lebih elegan.Â
Finishing ini sangat penting karena menentukan tampilan akhir dari kerajinan sebelum dipasarkan atau dipajang sebagai dekorasi.
Kerajinan batu putih dari Desa Ngeposari tidak hanya bernilai estetika, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Produk-produk seperti ornamen, relief dinding, pot lampion, patung, dan dekorasi taman banyak diminati oleh pasar, baik lokal maupun luar daerah.Â
Bahkan, beberapa produk telah menembus pasar nasional, menunjukkan bahwa seni tradisional ini masih memiliki tempat di industri kreatif.
Keberadaan kerajinan batu ini juga memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat setempat. Banyak penduduk yang terlibat dalam proses produksi, baik sebagai pemahat, pengrajin, atau tenaga kerja dalam proses pengolahan batu.Â
Namun, di balik keberhasilannya, industri ini juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah persaingan dengan produk berbahan lain yang lebih ringan dan mudah dibentuk, seperti resin atau gipsum.Â
Selain itu, keterbatasan alat modern membuat proses produksi masih mengandalkan tenaga manual, yang memerlukan waktu lebih lama. Inovasi dalam teknik produksi dan pemasaran sangat diperlukan agar kerajinan batu ini tetap eksis di tengah persaingan pasar.
Bagi wisatawan yang ingin melihat langsung proses pembuatan kerajinan ini, Desa Ngeposari menawarkan pengalaman wisata edukatif yang menarik.Â
Kerajinan batu putih dari Desa Ngeposari adalah bukti bahwa seni dan budaya dapat menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan menjaga kualitas, berinovasi, dan memperluas jangkauan pasar, industri ini dapat terus berkembang dan berharga bagi generasi ke generasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI