Kadang-kadang juga ia hanya merespon yang lewat dengan menunjukkan kelingking kirinya sambil menjulurkan sedikit lidahnya diantara bibir yang kering. Mengukur orang-orang itu dari kejauhan hingga tampak jelas membesar didekat matanya.
Ada kisah memilukan yang tergambar jelas dari sorot matanya. Cerita ini tak banyak diketahui oleh orang-orang kampung. Nurma dan Ripin, pasangan kekasih yang memulai kisah asmara di atas ketidaksetujuan keluarga mereka.
Nurma anak seorang Raden dan Ratumas yang terpandang, sejak kecil kerabu tindik sudah mendiami daun telinganya. Sedang Ripin hanya anak seorang guru ngaji yang miskin. Keduanya bertemu di rumah Ripin yang kebetulan adalah satu-satunya rumah ngaji yang ada di kampung ini.
Saat mengeja huruf hijaiyah, Ripin sering memperhatikan Nurma yang berparas cantik. Bibirnya yang mungil tampak elok terpaut dalam muka bulat dengan dua bola mata sendu dan hidung mancung yang tercacak rapi.
Sesekali Nurma mencuri pandang, malu saat matanya tertangkap temu dengan mata Ripin. Nurma pun menyimpan kagum pada suara merdu Ripin saat mentartilkan ayat-ayat suci.
Hingga keduanya benar-benar lumat dalam kisah-kasih yang indah. Mereka memutuskan untuk melarikan diri, melakukan perjalanan berdua ke tanah Kerinci. Sebuah tempat yang indah, biasa disebut orang-orang Jambi sebagai sekepal tanah surga.
Merekapun membuat surga mereka disana, dibawah kaki gunung yang sejuk, dirumah lang lumeh yang kosong mereka menjelma kucing jantan dan betina dewasa.
Tanpa mereka ketahui, kepergian keduanya membuat seisi kampung menjadi gaduh, Raden Basit ayah Nurma mengerahkan semua keluarga dan kenalannya untuk mencari Nurma dan Rifin. Ia tak rela, anak perempuan semata wayangnya dibawa pergi oleh Ripin.
Semua cara ia lakukan, tetapi nihil. Hingga ia mendatangi seorang pintar yang telah terkenal akan kesaktiannya membuat orang-orang yang pergi entah kemana, dapat kembali pulang.
Supian, atau orang biasa memanggilnya Pian tampak seperti orang biasa saat didatangi oleh Raden Basit. Ia hanya tertawa kecil melihat wajah Basit. Sebelum Basit mengutarakan keinginannya lebih dulu, Pian telah menangkap kehendak Basit.
Pertemuan singkat itu dijawab dengan anggukan dari Pian. Basit ingin agar anaknya pulang, walaupun sesuatu yang memalukan telah terjadi.