Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pekyu

4 Januari 2020   08:40 Diperbarui: 6 Januari 2020   17:12 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi daun kering. (sumber: pixabay.com)

Perempuan itu duduk bersila, tangan kanannya menghitung bebatuan kerikil yang ia congkel dari aspal jalan yang sudah berlubang. Ia mengenakan jaket hitam putih kusut dengan kaus merah pudar didadanya dengan celana dasar hitam yang digunting tidak beraturan menutupi pahanya yang kecoklatan.

Jika kau mendekat, akan tampak daki-daki kering yang membentuk bulatan-bulatan di tangan, sela-sela jari hingga tengkuk lehernya. Sesekali ia menggaruk kepala, kutu-kutu rambut mulai dari tinap, telur hingga induknya beranak pinak diatas kepalanya.

Pekyu orang memanggilnya. Tinggal di rumah panggung didekat aliran sungai Batanghari, kadang-kadang ia biasa dijumpai di dekat sungai, didepan rumah atau menjejal bagian bawah rumahnya. Hanya beberapa hari ini ia terlihat duduk santai di setapak jalan ini. orang-orang kampung memang sudah paham dengan tingkah lakunya.

Bapaknya, Ripin seorang guru ngaji tua yang sehari-hari mengambil air nira untuk membuat gula aren. Kadang juga menjual air nira itu pada seorang batak yang datang kerumahnya. Ibunya, Nurma telah lebih dulu terbaring di tanah sejak setahun yang lalu.

Semula tak ada yang aneh pada perempuan itu. Dulu ia bersekolah di sekolah dasar yang tak jauh dari rumahnya, berangkat pagi-pagi sekali mengenakan tas dukung berwarna merah muda bergambar princes seperti kebanyakan anak perempuan.

Hanya saja, tubuh Pekyu jauh lebih besar dari anak-anak yang lain. Ini semua karena ia acap kali tidak naik kelas. Dalam hal belajar ia terbilang lebih lambat menangkap dari teman-temannya yang lain. Hal ini pulalah yang membuat ia sering diejek oleh teman sekelasnya, ditertawakan, bahkan dijauhi.

Pernah ia berteman dengan anak laki-laki, ikut bermain bola di lapangan dekat tepian sungai Batanghari. Ketika teman-temannya beramai-ramai membuka baju, pekyu juga demikian. Ia mengikuti tanpa beban, bebas seperti anak laki-laki lainnya.

Bahkan ketika beberapa teman laki-lakinya mengelus-elus bagian tubuhnya, ia hanya cekikikan. Sebuah permainan yang belum pernah ia lakukan bersama teman-teman perempuannya.

Tapi itu sudah berlalu, Pekyu telah beranjak remaja. Ia tak menyelesaikan sekolahnya. Ia memang dinilai berbeda oleh para guru, perkembangan pembelajarannya pun tak banyak berubah. Tingkahnya masih saja seperti anak kecil, meskipun tubuhnya sama sekali tidak menerangkan hal itu.

Beberapa orang yang lewat di jalan setapak itu memincingkan mata, ada juga yang sengaja mempercepat laju kendaraannya. Hampir tiap mereka yang lewat disapa oleh Pekyu.

Saat mulutnya terbuka lebar, tampak jelas kerak kuning di giginya membeku membentuk karang-karang dibawah gusi yang menghitam dengan guratkan urat-urat halus berwarna hijau dan kemerahan.

Kadang-kadang juga ia hanya merespon yang lewat dengan menunjukkan kelingking kirinya sambil menjulurkan sedikit lidahnya diantara bibir yang kering. Mengukur orang-orang itu dari kejauhan hingga tampak jelas membesar didekat matanya.

Ada kisah memilukan yang tergambar jelas dari sorot matanya. Cerita ini tak banyak diketahui oleh orang-orang kampung. Nurma dan Ripin, pasangan kekasih yang memulai kisah asmara di atas ketidaksetujuan keluarga mereka.

Nurma anak seorang Raden dan Ratumas yang terpandang, sejak kecil kerabu tindik sudah mendiami daun telinganya. Sedang Ripin hanya anak seorang guru ngaji yang miskin. Keduanya bertemu di rumah Ripin yang kebetulan adalah satu-satunya rumah ngaji yang ada di kampung ini.

Saat mengeja huruf hijaiyah, Ripin sering memperhatikan Nurma yang berparas cantik. Bibirnya yang mungil tampak elok terpaut dalam muka bulat dengan dua bola mata sendu dan hidung mancung yang tercacak rapi.

Sesekali Nurma mencuri pandang, malu saat matanya tertangkap temu dengan mata Ripin. Nurma pun menyimpan kagum pada suara merdu Ripin saat mentartilkan ayat-ayat suci.

Hingga keduanya benar-benar lumat dalam kisah-kasih yang indah. Mereka memutuskan untuk melarikan diri, melakukan perjalanan berdua ke tanah Kerinci. Sebuah tempat yang indah, biasa disebut orang-orang Jambi sebagai sekepal tanah surga.

Merekapun membuat surga mereka disana, dibawah kaki gunung yang sejuk, dirumah lang lumeh yang kosong mereka menjelma kucing jantan dan betina dewasa.

Tanpa mereka ketahui, kepergian keduanya membuat seisi kampung menjadi gaduh, Raden Basit ayah Nurma mengerahkan semua keluarga dan kenalannya untuk mencari Nurma dan Rifin. Ia tak rela, anak perempuan semata wayangnya dibawa pergi oleh Ripin.

Semua cara ia lakukan, tetapi nihil. Hingga ia mendatangi seorang pintar yang telah terkenal akan kesaktiannya membuat orang-orang yang pergi entah kemana, dapat kembali pulang.

Supian, atau orang biasa memanggilnya Pian tampak seperti orang biasa saat didatangi oleh Raden Basit. Ia hanya tertawa kecil melihat wajah Basit. Sebelum Basit mengutarakan keinginannya lebih dulu, Pian telah menangkap kehendak Basit.

Pertemuan singkat itu dijawab dengan anggukan dari Pian. Basit ingin agar anaknya pulang, walaupun sesuatu yang memalukan telah terjadi.

Keduanya kembali pulang dengan wajah tersungut-sungut. Dinikahkan oleh tetua adat kampung karena takut terkena sial. Keluarga besar Basit tak ada yang simpati, mereka menganggap Nurma mencoreng nama baik keluarga. Nurma dilepas begitu saja, bahkan saat mengandung ia dibiarkan mencari kayu bakar sendiri.

Sesekali ia duduk beristirahat diatas tanah tumbuh, sebongkah tanah baru yang menyembul naik lebih tinggi dari permukaan tanah. Ia terlihat lelah saat menegak air dalam botol yang telah disiapkan dari rumah.

Padahal sebenarnya ia sendiri sudah mengetahui, tanah tumbuh adalah salah satu tempat yang dilarang untuk didekati. Bahkan melewatinya saja ditakutkan oleh orang-orang kampung.

Mungkin Nurma berpikir sebagaimana perempuan modern yang tidak mempercayai larangan orang-orang tua kebanyakan, semacam mitos turun temurun yang masih diragukan kebenarannya.

Sampai tulisan ini dibaca, cerita inilah satu-satunya sumber yang dipercaya oleh warga kampung tentang sebab Pekyu yang berbeda. Mereka tidak mengetahui, Pian, dukun sakti itu sangat menyukai Nurma. Dialah mengacak-acak benih yang ditanamkan Ripin dalam rahim Nurma saat mereka melakukan perjalanan pulang ke dusun Penyengat Rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun