Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pekyu

4 Januari 2020   08:40 Diperbarui: 6 Januari 2020   17:12 354 7
Perempuan itu duduk bersila, tangan kanannya menghitung bebatuan kerikil yang ia congkel dari aspal jalan yang sudah berlubang. Ia mengenakan jaket hitam putih kusut dengan kaus merah pudar didadanya dengan celana dasar hitam yang digunting tidak beraturan menutupi pahanya yang kecoklatan.

Jika kau mendekat, akan tampak daki-daki kering yang membentuk bulatan-bulatan di tangan, sela-sela jari hingga tengkuk lehernya. Sesekali ia menggaruk kepala, kutu-kutu rambut mulai dari tinap, telur hingga induknya beranak pinak diatas kepalanya.

Pekyu orang memanggilnya. Tinggal di rumah panggung didekat aliran sungai Batanghari, kadang-kadang ia biasa dijumpai di dekat sungai, didepan rumah atau menjejal bagian bawah rumahnya. Hanya beberapa hari ini ia terlihat duduk santai di setapak jalan ini. orang-orang kampung memang sudah paham dengan tingkah lakunya.

Bapaknya, Ripin seorang guru ngaji tua yang sehari-hari mengambil air nira untuk membuat gula aren. Kadang juga menjual air nira itu pada seorang batak yang datang kerumahnya. Ibunya, Nurma telah lebih dulu terbaring di tanah sejak setahun yang lalu.

Semula tak ada yang aneh pada perempuan itu. Dulu ia bersekolah di sekolah dasar yang tak jauh dari rumahnya, berangkat pagi-pagi sekali mengenakan tas dukung berwarna merah muda bergambar princes seperti kebanyakan anak perempuan.

Hanya saja, tubuh Pekyu jauh lebih besar dari anak-anak yang lain. Ini semua karena ia acap kali tidak naik kelas. Dalam hal belajar ia terbilang lebih lambat menangkap dari teman-temannya yang lain. Hal ini pulalah yang membuat ia sering diejek oleh teman sekelasnya, ditertawakan, bahkan dijauhi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun