Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Uang Palsu

28 September 2019   11:54 Diperbarui: 28 September 2019   12:23 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lari!!! Lari!!! Nyalakan cepat motor itu Dul.

Amir berlari dan melompat segera ke belakang sadel motor yang dikendarai Dul. Suara motor

meraung-raung dan seketika menghilang secepat kilat dibawah kendali Dul.

"Tak ada yang tahu ini murni kasih sayang tuhan atau pertolongan iblis, pikir Amir sepintas." Dia melanjutkan lagi perkataannya, "Syukurlah kita tak tertangkap Dul."

Nyaris saja kasir minimarket yang dibantu seorang polisi menyergap Amir dan Dulla setelah kesekian kalinya menggunakan uang berbelanja yang berbeda dari uang kebanyakan- di indikasi palsu. 

Jika uang itu terkena cairan seperti air, tentu akan luntur dari warna dasarnya. Inilah mengapa Kasir di minimarket sering mendapat keluhan dan protes keras dari pembeli yang berbelanja dengan uang merah karena sangat apes bila di antara salah satu pembeli secara kebetulan mendapatkan uang biru milik Amir di balik tumpukan uang kembalian yang bercampur dengan uang pecahan lain dibawah meja kasir.

Suatu hari langkah kaki terdengar tergesa-gesa ke arah minimarket dan terlihat seorang perempuan membuka pintu dengan kasar. "Hei bangsat kau! Kenapa memberiku uang kembalian seperti ini." sambil membuka lebar uang berwarna biru buram yang terkena noda air dihadapan kasir. 

"Kemarin saya berbelanja disini!" Sambung perempuan itu dengan tegas. "Kami tak tahu, itu mungkin uang yang digunakan customer lainnya berbelanja disini." Kata si kasir dengan bibir gemetar sedangkan pandangannya layu ke mata perempuan itu.

 "Tak ada alasan, saya akan melaporkanmu ke polisi sebentar lagi!" Perempuan itu merobek-robek uang ditangannya dan melangkah keluar dari minimarket.

Menyebarnya uang palsu secara luas menggemparkan seluruh kota, polisi memulai pencarian, bahkan pemilik minimarket seisi kota rela merugi untuk membayar iklan di koran Harian Pagi selama berhari-hari.

"Hati-hati terhadap uang yang anda simpan di dompet dan harap diterawang jika berbelanja dimana saja, apakah benar-benar asli atau tidak."

Jangan-jangan palsu!

Pemerintah pun seolah tak ingin kalah berita dengan cara memasang reklame berukuran raksasa di setiap tepi jalan raya. "Bahaya uang palsu disekitar kita." Beberapa bulan sebelum Amir memutuskan untuk bergelut dengan pekerjaan ini, Dia tak kepikiran akan dampaknya secara luas seakan merongrong perekonomian negara. Tapi disitulah sekali lagi berjudinya moral dan lilitan perut. 

Amir tak ambil pusing. Suatu hari kepulangannya dari kota jakarta yang terkenal dengan hukum rimbanya membuat Dia harus terhempas kembali. Pulang. Ke tanah kelahirannya akibat persaingan hidup yang kejam di ibukota. Bermodalkan ijazah smp dan semangat berlipat ganda tak cukup untuk menjinakkan tanah rantauan sekeras ibukota. 

Amir, salah satu dari ratusan bahkan ribuan manusia yang kesekian kalinya harus tersingkir, terhempas ke pinggiran kota jakarta yang mayoritas penduduknya bermukim di tepi kanal jembatan Empat Lima tempat berlindungnya para transmigran dan pendatang dari kelas sosial rendah yang masih bertahan menggantungkan nasibnya di kota jakarta.

Jika musim penghujan datang, diatas jembatan ini dijadikan pijakan bagi bocah-bocah yang menceburkan diri bermandi ria di permukaan air kanal yang tergenang hingga sebatas leher. Airnya mengalir tiada henti hingga bermuara ke lautan lepas. 

Mayoritas manusia yang mendiami kampung itu dari beragam latar belakang dan profesi. Sebagian dari mereka memiliki hobi yang sama yaitu mancing. 

Hanya ikan gabus yang sanggup berkembang biak di kanal ini dan harga jual lumayan tinggi. Jangan harap ikan gabus  akan tersangkut di kailmu jika bukan anak kodok sebagai umpannya. Separuh penduduk  juga beternak anak ayam warna-warni untuk dijual ke bocah sekolah dasar. 

Amir termasuk salah satu warga yang hobi memancing ikan gabus sekaligus berdagang anak ayam di sekolah-sekolah. Anak ayam itu memiliki warna beragam dari hijau, kuning, merah yang sudah dicelupkan kedalam se-ember air bercampur kesumba. Inilah yang menarik bagi bocah-bocah sekolahan untuk membeli dan memelihara anak ayam itu. Wajah Amir tanpa kumis, rambut cepak ala militer dan mukanya dipenuhi jerawat. 

Kata istrinya, suaminya itu jarang mencuci mukanya sebelum tidur. Minggu depan usianya menginjak 24 tahun. Selain itu, Dia juga pernah bekerja dari bisnis narkoba, berjualan teka-teki silang di lampu merah sampai mencoba peruntungan sebagai debt kolektor setahun di jakarta yang beresiko tinggi bagi nyawanya. Itupun tak cukup menghidupi Istri dan anak adopsinya.

Melihat peluang sangat kecil untuk bertahan hidup di jakarta. Pertengahan desember Dia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya. Berbulan-bulan di kampung halaman, bukannya mendapatkan kepastian hidup yang jelas. Malah sebaliknya. 

Hidupnya terlunta-lunta bak di jakarta silam dan makin tidak karuan. Belum juga mendapatkan kerja akibat krisis moneter yang melanda tahun ini berdampak hingga ke seluruh sendi kehidupan. 

Dia sering menghabiskan waktu menyendiri di warung Karmila sembari menyeruput kopi hitam. Karmila berbaik hati memberinya bon setiap kedatangan Amir dan tahu kalau Dia pasti tak kunjung membayar uang kopinya. 

Selain sepupu ayahnya, Amir tak punya uang sepeser pun di kantongnya. Suatu hari ketika sedang suntuk di warung Karmila, Amir terkejut kaget ketika ayah Karmila memegang bahunya dari belakang.

"Kapan kau datang Mir?" tanya Dulla sambil merapatkan pantatnya disamping bangku Amir dan menjabat erat tangannya. "Sudah berminggu-minggu Dul, kuboyong anak dan istriku juga." Kata Amir sambil menghirup nafas panjang. 

Dia melanjutkan, "Sepertinya jakarta bukanlah sandaran terbaik untuk orang sepertiku yang berpendidikan pas-pasan. Makanya kuputuskan pulang kampung. "Kata Amir datar sambil meminum kopinya penghabisan."

Amir melanjutkan perbincangan. "Dul, apa yang kamu kerjakan sekarang?"

"Aku masih nganggur Mir. Tiga ekor bebek manila yang kuternak hilang digondol maling." Dul menunduk sambil menggigit bibir atasnya. Setelah selesai minum kopi, mereka berdua beranjak keluar untuk membicarakan sesuatu.

Berjalanlah mereka berdua tiga puluh meter berbelok kiri ke rumah Amir sembari mengaso di teras rumahnya. Menyambung percakapan tentang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Seketika Amir mendapatkan ilham: "Aku ingin mengajakmu Dul bekerja, itupun kalau mau?"

"Kerja apa Mir?" Balas Dulla.

"Tapi janji! Jangan bocorkan ke siapa-siapa." sambil memberi keyakinan terhadap sepupunya itu. "Aku mau membuat uang palsu sebanyak-banyaknya. Ilmu ini kudapatkan dari kawan di ibukota dulu yang di pecat dari bank negara." kata Amir menatap dalam ke mata Dulla. "Kamu yakin Mir?"

"Sebelum aku pulang ke sini, kupelajari berhari-hari cara membuat uang palsu itu dari kawanku itu."

"Kawanmu itu baik sekali, masih di jakarta Ia?"

"Sudah pulang ke kampungnya. Kemarin coba kutelfon dan bertanya tentang kabar."

Asal kau tahu Dul, kawanku itu sukses bergelut di dunia narkoba dan mengedarkan uang palsu di kampungnya."

"Pekerjaan ini butuh keyakinan dan kenekatan Dul." Imbuhnya.

Mereka berdua saling menguatkan keberanian sembari merenung. Amir kembali meyakinkan Dul "Mungkin kita bisa mengikuti jejak kawanku itu dan meraih kesuksesan sepertinya."

Tiga bulan Amir berkecimpung di dunia uang palsu. Jika hatinya merasa berdosa dengan pekerjaannya, Dia memasukkan uang palsunya ke kotak amal mesjid. Agar terbayarkan utang dosanya. Di suatu hari yang sial Amir mengenggam selembar mata uang berwarna biru pucat empat lembar dan Berkali-kali mencoba keberuntungan dengan profesinya. 

Digendongnya keranjang yang berisi popok balita, minyak goreng, selusin indomie dan sabun mandi. Melangkah pelan ke arah kasir, mengikuti antrian dari belakang. Ketika tiba gilirannya untuk membayar, tanpa ragu Amir menyerahkan empat lembar uang ke kasir. 

Apesnya, yang berbelanja sebelum Amir ialah seorang polisi berpakaian sipil yang kebetulan membeli rokok. Amir melihat polisi itu melangkah keluar dari pintu minimarket. Kasir pun mengenal samar-samar paras Amir yang beberapa hari lalu sering berbelanja di minimarket dengan gelagat aneh. Si kasir sontak bertanya dengan nada tinggi :

"Pak, sepertinya uang bapak terlihat aneh ya. Palsu nih semua!" sambil mengenggam uang Amir di sela-sela kedua tangannya. Menerawang uang itu dibawah lampu minimarket.

Sepersekian detik tanpa menjawab pertanyaan kasir itu, Amir spontan berlari keluar menjatuhkan belanjaannya. Keberaniannya hilang. Diluar minimarket, Dulla sudah menunggu gusar. Dinyalakannya motor bebek ketika melihat kawannya berlari.

"Ayooo Dul cepat kita kabur!!!" Teriak Amir merasa dirinya akan tertangkap.

Si kasir dengan refleksnya berlari keluar mengejar Amir dan berteriak ke polisi "Tangkap Dia pak, penipu!" polisi pun bereaksi cepat menyalakan motor lalu mengejar Amir. Saling mengejar. Beberapa ratus meter di ujung sebuah jalan tiba-tiba mesin motor Amir mendadak mati. "Ayo Mir, cepat! kita tinggalkan motor sialan ini."

Mereka melanjutkan dengan berlari cepat meninggalkan motornya dibelakang. Di pertengahan jalan seorang dari mereka berkata: "Denyut jantungku berdegup cepat, sepertinya aku akan pingsan jika terus berlari." Naluri meloloskan diri berlipat ganda bercampur rasa takut bila tertangkap. 

Terus berlari, tiba-tiba mereka seperti terdorong masuk ke sebuah mesjid yang gerbangnya terbuka lebar. Menghindari kejaran. Masuk ke dalam. Mengatur nafas yang masih tersengal-sengal. Bertakbiratul ikhram.

 "Allahuaakbaarrr"

Menyempurnakan barisan shaf jamaah terakhir yang sedang melaksanakan shalat isya. "Seandainya ya tuhan, uang yang kubuat ini bermanfaat kepadaku pasti akan kuhiasi rumahmu dengan cahaya terang. Menolong siapa saja. Membeli bebek untuk Dulla. Bergembira bersama keluarga dan aku akan berangkat naik haji tahun depan." Doanya selepas shalat.

Sedangkan si polisi terus mengejar Amir melewati rumah-rumah,jalan-jalan dan keramaian. Tak terlintas dipikirannya untuk curiga bahwa Amir akan berani bersembunyi ke dalam mesjid.

.Dia terus mengejar! Kejar!

Siapakah yang dia kejar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun