Mohon tunggu...
Nusantara Mulkan
Nusantara Mulkan Mohon Tunggu... Lainnya - Orang Biasa Aja

Sebagian tulisan saya yang ada di sini pernah dimuat di sejumlah media. Walaupun sedikit saya modifikasi kembali.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Soekarno: Antara Mitos dan Realitas

31 Desember 2013   19:31 Diperbarui: 31 Desember 2016   14:55 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_302830" align="aligncenter" width="300" caption="Para pemeran film Soekarno. (filmsukarno.com)"][/caption]

"JADI, Jepang itu membantu mengusir Belanda dari Indonesia, ya Ayah?" tanya anak saya usai bersama menyaksikan film Soekarno, di salah satu gedung bioskop di Jakarta.

Sebuah pertanyaan polos khas anak-anak berdasarkan citra yang baru saja disaksikannya, sekaligus sebuah kesimpulan jujur dari seorang anak yang beberapa bulan lagi baru genap berusia delapan tahun. Kaget sekaligus kagum, karena terus terang saja, saya bingung untuk memberi penjelasan berdasarkan penelusuran informasi sejarah untuk anak seusianya. Namun juga kagum, karena di usia yang masih begitu dini, dia memiliki kepedulian atas sejarah berdirinya negara yang didirikan oleh sejumlah Bapak Bangsa yang digambarkan di film yang baru saja disaksikannya.

Walaupun proses menuju pernyataan kemerdekaan itu hingga kini kerap diwarnai sejumlah versi sejarah, kontroversi, dan perdebatan. Kontroversi itu pula yang sepertinya coba diangkat Hanung Bramantyo melalui film yang dirilis di akhir 2013 tersebut. Sehingga, disadari atau tidak, film yang mendapat tentangan dari Rachmawati Soekarnoputri—anak kedua Soekarno—untuk diedarkan ini, sukses menjadi perbincangan, tidak hanya oleh kritikus film dan sejarawan, pun masyarakat awam.

Sebagian menilai, sisi-sisi di mana Soekarno (diperankan Ario Bayu) dan Mohammad Hatta (diperankan Lukman Sardi) tengah mempersiapkan kemerdekaan, digambarkan begitu gegabah di film ini. Karena keduanya selalu diposisikan begitu kompromistis terhadap sikap Jepang yang menggantikan Belanda sebagai penguasa baru. Di antaranya, dengan penggambaran Soekarno yang menyetujui hasil panen rakyat yang harus diberikan kepada tentara Jepang.

Begitu juga terhadap kebijakan Romusha, di mana dia ikut mengawasi sistem kerja paksa itu, lengkap dengan menggambarkan satu per satu pekerja yang tewas saat bekerja dan jenazahnya ditumpuk begitu saja. Bahkan, salah satu adegan menampilkan Soekarno yang diminta oleh juru foto Kantor Propaganda Jepang ikut bergaya memegang cangkul dengan latar belakang para pekerja Romusha yang bermandi peluh dan darah.

Yang juga ikut membuat geram penonton adalah saat tentara Jepang memaksa para perempuan bumiputera untuk memuaskan syahwat mereka dengan menjadi Jugun Ianfu. Soekarno digambarkan ikut melihat saat bangsanya digiring dan dibawa ke sebuah rumah, di mana para tentara Jepang bergiliran memuaskan hasrat purba mereka, ditingkahi dengan jeritan pilu para perempuan bumiputera yang dijadikan budak.

Tentu saja semua adegan di atas tidak pernah diceritakan di buku sejarah versi mana pun. Karena hanya buah kreasi Hanung, yang hendak menggambarkan ‘kontroversi hati’ Soekarno saat harus bekerja sama dengan Jepang demi mendapat ‘hadiah’kemerdekaan. Sehingga, seolah semakin memperkuat tuduhan sejumlah pihak yang menyebut Soekarno tak lebih sebagai kolaborator Jepang, yang tega menjual bangsanya sendiri demi tujuan politiknya.

Adegan lainnya yang menarik bagi penulis adalah saat Gatot Mangkoepradja (diperankan Agus Kuncoro) yang harus berkompromi dengan militer Jepang saat hendak mendirikan laskar Pembela Tanah Air (Peta)—yang akan menjadi embrio bagi kelahiran TNI kelak. Memang benar bahwa pendirian Peta dibentuk secara resmi melalui Osamu Seirei pada tahun 1943. Sayangnya, Hanung tidak berusaha menampilkan saat Gatot yang sempat dipenjarakan Kempeitai ketika menjalankan gerakan 3 A (Nippon Pelindung, Cahaya, dan Pemimpin Asia), namun menolak kooperatif.

Kecerobohan Riset

Penulis tidak akan mencoba membahas secara mendalam kontroversi seputar kompromi para pendiri republik ini—minus Sutan Sjahrir—terhadap Jepang. Yang jelas, secara tegas saya menyimpulkan Hanung tidak melakukan riset secara mendalam sebelum memutuskan membesut film berlatarbelakang sejarah. Padahal, tokoh utamanya begitu dikagumi, tidak hanya oleh bangsanya sendiri, tapi juga bangsa lain. Karena begitu banyak compang-camping yang sangat terlihat dari tampilan film Soekarno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun