Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Absennya Unsur "Mendidik" dalam Sistem Pembelajaran Daring

14 Juli 2021   11:42 Diperbarui: 14 Juli 2021   18:21 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Absennya unsur "Mendidik' dalam Sistem Pembelajaran Daring

Sejak pandemi melanda negeri ini banyak lembaga pendidikan formal menyelenggarakan sistem pembelajaran daring. Secara ringkas sistem ini adalah model pembelajaran tanpa tatap muka langsung antara guru dan siswa tetapi keduanya dihubungkan lewat jaringan internet. 

Cara ini ditempuh karena dinilai lebih akomodatif dan aman dengan situasi pandemi. Meminimalisir kemungkinan adanya klaster baru di sekolah.

Dalam situasi normal, pilihan pembelajaran daring bukanlah suatu pilihan yang tepat dalam sebuah sistem pendidikan. Teristimewa untuk pendidikan dasar dan menengah. Sistem model ini menghilangkan minimal dua unsur fundamental dalam pendidikan yakni: unsur mendidik dan melatih. 

Pendidikan sejatinya tidak disempitkan hanya dengan urusan transfer pengetahuan teoritis kepada peserta didik melainkan sebuah upaya yang sistematis dan terencana untuk membina dan membentuk peserta didik menjadi manusia yang sesunggguhnya. 

Manusia yang sesungguhnya dalam konteks ini adalah pribadi yang sungguh menyadari jati dirinya sebagai manusia, yang memiliki kepribadian, cara hidup, pola pikir sebagaimana semestinya manusia. Tidak sekedar fisiknya manusia. Maka unsur mendidik adalah hal esensial dalam pendidikan.

Bagaimana unsur mendidik diejahwantakan? Unsur mendidik yang paling efektif terjadi melalui pengalaman kebersamaan. Pengalaman murid merasa disapa oleh gurunya, ditegur ketika indisipliner, dinasihati dan diberi pemahaman untuk memperbaiki sikapnya. Dan yang lebih utama lagi adalah ketika mereka melihat dan meneladani gurunya. Disanalah terjadi transfer 'nilai'.

Unsur mendidik memang bisa disisipin dalam sistem daring tapi tidak efektif. Ketika guru menentukan limit pengumpulan tugas dan selanjutnya ia konsisten untuk memberi sanksi bagi yang terlambat maka disana guru tersebut sedang menjalankan fungsi 'mendidik'. Mengajarkan siswa untuk disiplin dan menghargai waktu. Tetapi sekali lagi ini tidak efektif. 

Akan jauh lebh efektif ketika murid melihat sendiri dan meneladani gurunya yang disiplin. Karena pepatah mengatakan: bicara itu mengajak, tetapi keteladanan menarik, artinya, daya pikat keteladanan lebih kuat.

Tetapi apa mau dikata, pandemi sampai saat ini belum kunjung berakhir. Pilihan daring tetap dianggap pilihan terbaik dari sisi kemanusiaan. Nilai kehidupan menjadi prioritas. Maka, hemat penulis orang tua harus mengambil peran 'mendidik' yang absen dari sekolah, yang tidak bisa diakses oleh peserta didik dari gurunya. 

Peran ini harus dijalankan serius oleh orang tua agar unsur mendidik tidak lenyap sekalipun daring sehingga anak tetap bertumbuh dan berkembang secara intelektual dan psiko-sosial-spiritual. Dalam konteks ini orang tua tidak hanya menyediakan sarana dan fasilitas teknologi yang memungkinkan anak untuk bisa belajar daring melainkan mendampingi anak dalam belajar serta membina kepribadian anak.

Selain unsur mendidik, unsur lain yang ikut terdampak dari sistem daring adalah unsur melatih. Di sekolah anak tidak hanya dibekali pengetahuan teoritis, tidak hanya ditempa kepribadian tetapi dilatih dengan ketrampilan-ketrampilan teknis. Anak didampingi untuk mengembangkan minat dan bakatnya, entah di bidang olahraga, musik, dan sebagainya. Lagi-lagi ini tidak efektif kalau tanpa praktek. Maka pilihan ke tempat kursus dan les privat sangat relevan untuk konteks saat ini.

Akhirnya, pendidikan model daring saat ini jika tanpa didampingi dengan baik oleh orang tua di rumah maka kelak kita akan mendapati generasi yang pintar, yang paham teori, yang melek teknologi tetapi bisa saja minus dalam kepribadian dan sosialitas. 

Kalau ini yang terjadi maka kita semakin jauh dari idealisme dan tujuan luhur dari pendidikan sebagaimana digariskan oleh bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Karena menurutnya, output pendidikan adalah bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter) dan pikiran anak didik (intelektual) agar selaras dengan alam dan masyarakatnya. 

Harapan ini dipertegas lagi oleh UU No. 20 tahun 2003 yang merumuskan pendidikan sebagai "Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa, dan Negara. Rd.NN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun