Mohon tunggu...
Nur WardahArafah
Nur WardahArafah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Transparansi Membentuk Kepercayaan

7 Desember 2019   14:37 Diperbarui: 7 Desember 2019   15:35 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari Transparansi Membentuk Kepercayaan

*Oleh:  Nur Wardah Arafah

Suatu negara mempunyai beberapa unsur,  yaitu unsur deklaratif dan unsur konstitutif.  Untuk mencapai sebuah unsur deklaratif atau unsur yang merupakan sebuah pengakuan dari negara lain, suatu negara membutuhkan unsur konstitutif yang merupakan unsur mutlak dalam suatu negara, yaitu yang ditandai dengan adanya wilayah,  rakyat,  dan pemerintah. Pemerintahan dilakukan oleh "elite" yang merupakan pilihan dari orang-orang yang terbaik, yang dapat dipercaya untuk menjalankan pemerintahan. Elite tersebut merupakan manusia yang merupakan khalifah atau penerus yang mengakui kedaulatan, kekuasaan dan hukum tertinggi Allah dan menerapkan aturan Haram adalah Haram, dan Halal adalah Halal. Pemerintah pun erat kaitannya dengan politik.  Politik ada, untuk menciptakan sebuah kondisi dalam suatu negara agar menjadi lebih baik.  

Dalam suatu negara pun ternyata mempunyai status, terdapat status negara yang berhasil dan negara yang gagal.  Menurut Budi Darmono Ph. D, negara dapat dikatakan sebagai negara yang gagal apabila terjadi beberapa hal yang ditandai dengan ketidakmampuan suatu negara dalam mengatasi masalah di bidang keamanan,  ketertiban,  hukum,  politik dan ekonomi.  Adapun beberapa masalah yang terjadi pada bidang keamanan,  ketertiban,  hukum,  politik ekonomi, dan beberapa masalahnya adalah sebagai berikut; 

(1)  Di bidang keamanan  banyak penduduk maupun subjek hukum lain yang mulai terancang baik harta maupun jiwanya.  Misalnya seperti di Suriah,  dimana pemerintah Assad tidak lagi secara efektif menguasai daerah timur Suriah. Dan ancaman yang diberikan tidak dapat diatasi;  (2)  Di bidang ketertiban,  diawali dengan ketidakmampuan negara mengatasi persoalan di masyarakat dengan tertib; (3)  Dalam bidang hukum,  negara mulai tidak mampu menegakkan hukum yang dihormati dan disegani masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan; 

(4) Dalam bidang politik,  negara tidak melaksanakan proses transisi kekuasaan secara bijaksana,  artinya tidak diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan di masyarakat; dan satu lagi; (5)  Di bidang ekonomi,  negara kehilangan kemampuan untuk membiayai dirinya sendiri,  yang ditandai dengan negara tidak sanggup menghimpun dana dari sumber dalam negeri untuk (misalnya)  membayar gaji pegawai negeri dan aparat negaranya,  serta maraknya pasar gelap; perdagangan narkoba,  pembalakan liar,  pencurian ikan,  serta kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan melalui kejahatan. 

Lalu bagaimana dengan negara yang dikatakan berhasil?  Negara dapat dikatakan berhasil apabila dalam membangun jaringan kekuasaan di lingkaran negara dan sistem politik yang memiliki peran mendasari dalam seluruh kegiatan jaringan kekuasaan, negara tersebut perlu dibangun sebuah "persepsi". Seperti yang dikatakan Bung Karno,  persepsi atau kepercayaan bukan hanya dalam hal rasa percaya (trust) rakyat terhadap negara, tetapi kepercayaan sebagai suatu keyakinan di dalam jiwa bangsa  yang diwujudkan dalam suatu negara,  serta kekuasaan dan kemampuan dalam suatu negara tergantung pada persepsi yang mendukung dan menopang negara tersebut.  Tanpa pemahaman yang utuh terkait diperlukannya persepsi atau kepercayaan antara rakyat dengan penyelenggara negara,  yakni berupa lembaga eksekutif,  yudikatif,  dan legislatif,  maka dengan mudah antara dua komponen tersebut dalam suatu negara untuk terombang-ambing oleh dinamika yang terjadi di negara tersebut.

 Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah beberapa kali mencicipi penjajahan, baik itu zaman Belanda, dan Jepang. Dan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya yang sudah lepas dari jajahannya. Dan sebelum Indonesia merdeka, Indonesia sudah melakukan "nasionalisme" yang merupakan suatu bentuk kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan (KBBI). 

Nasionalisme memiliki beberapa jenis, yaitu nasionalisme SARA, nasionalisme sipil, nasionalisme kontra-revolusioner, serta nasionalisme revolusi. Dilihat dari bentuk nasionalisme yang terjadi di Indonesia pada saat memperjuangkan kemerdekaan,  menurut penulis, Indonesia menganut nasionalisme revolusioner yang ditandai dengan bentuk perjuangan dan pemberontakan terhadap negara yang menjajah Indonesia. 

Good governance yang juga merupakan salah satu indikator dalam suatu negara yang dapat dikatakan berhasil. Good governance merupakan suatu penyelenggaraan memanajemenisasi pembangunan yang solid yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang diharapkan akan efisien. Good governance sendiri memiliki prinsip-prinsip,  salah satunya adalah transparansi. 

Transparansi adalah sikap keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.  Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Jadi,  antara transparansi dengan kepercayaan saling berkaitan satu sama lain. Lalu apakah prinsip-prinsip dalam "good governance" khususnya dalam prinsip transparansi sudah diterapkan di Indonesia?

Transparansi harusnya menjadi patokan atau menjadi titik fokus dalam menjalankan suatu pemerintahan,  dan bahkan menjadi titik untuk menentukan kualitas lembaga pemerintahan dalam suatu negara itu sendiri. Transparansi dalam dunia pemerintahan harus dilakukan dalam bidang keuangan, arus informasi, alur organisasi, serta kegiatan lain yang dilakukan. Tetapi di Indonesia transparansi kurang tertata rapi.  Khususnya dalam perihal permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini.  

Korupsi indentik dengan penyalahgunaan "jabatan" dan "uang". Dan sudah hampir 74 tahun Indonesia merdeka,  tetapi korupsi masih saja ada.  Korupsi merupakan salah satu dari tidak adanya ke-transparansi-an dalam suatu negara.  Korupsi membuat orang yang kaya semakin kaya,  hidup dalam kemewahan dengan menggunakan uang yang bukan hanya miliknya. Korupsi juga "memungkinkan" orang yang miskin terjebak dalam kemiskinannya.  

5 kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya adalah; (1) Mantan Presiden RI Soeharto, merugikan negara Rp 490 triliun; (2) Kasus korupsi Kotawaringin Timur, dengan kerugian negara Rp 5,8 triliun; (3) Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan kerugian negara Rp 3,7 triliun; (4) Kasus e-KTP,dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun oleh Setya Novanto;  (5)  Kasus korupsi proyek Hambalang,dengan  kerugian sekitar Rp 700 miliar. 

Dan pada 2019, khusunya pada bulan November sampai awal Desember sudah terjadi kasus korupsi,  diantaranya; (1)  Pada 5 November terjadi 3 kasus korupsi,  yaitu kasus korupsi instalasi pipa di Palopo,  Sulawesi,  Korupsinya dua Kades di Bojonegoro dengan kerugian negara 1,1 Miliar,  Korupsi Visa yang dilakukan oleh PNS dan ditangkap di Bandara Bali; (2) pada 7 November terjadi korupsi yang dilakukan oleh Kades di Boyolali dengan kerugian negara lebih dari 100 juta; (3)  pada 18 November,  Direktur BUMD di Banten jadi tersangka kasus korupsi senilai 1,8 Miliar; (4)  pada 19 November korupsinya Projek Monumen Bahasa Melayu dengan kerugian 2,2 Miliar ;(5)  pada 30 November terdapat kasus korupsi Dana BOS; (6)  pada 2 Desember,  Dana Kemenpora dikorupsi oleh PNS di Purworejo senilai ratusan juta rupiah dan Kasus korupsi BUMD yang dilakukan Pemkab Serang ; (7)  pada 3 Desember Kasus korupsi Telur senilai 2,6 Miliar yang dilakukan Dinas Peternakan di Aceh. 

Bisa dilihat, dari Bulan November sampai awal Desember saja sudah banyak sekali kasus korupsi yang terjadi, pastinya negara sudah mengalami kerugian yang banyak sekali. Pertanyaanya,  apakah kedepannya korupsi masih tetap saja ada?  Lalu,  sampai kapan kita harus menunggu agar suatu negara "bersih" dari yang namanya korupsi?  Dan, bagaimana solusinya?  

Solusi yang dapat diambil adalah; (1)  Memperlakukan Transparansi dalam segala bidang.  Baik itu bidang keuangan,  arus informasi, alur organisasi, dan kegiatan lainnya.  Karena apabila transparansi rendah dalam suatu negara,  di dalam negara tersebut khususnya masyarakat akan timbul ketidakpercayaan terhadap suatu negara,  yang pada akhirnya akan menimbulkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintah; (2)  Memilih khalifah (penerus) dalam sebuah pemerintahan yang mengakui Kedaulatan, Kekuasaan, dan Hukum Tertinggi Allah dan menerapkan aturan Haram adalah Haram dan Halal adalah Halal serta dapat memberikan kesetiaan tertinggi kepada negara, tetapi juga memberikan kesetiaan tertinggi kepada Allah Maha Tinggi; 

(3) Memperlakukan hukuman  yang jera kepada para koruptor,  dan jikalau bisa mengikuti cara negara lain tentang hukuman yang diberikan kepada para koruptor,  atau ada solusi lain yang terkait dengan hukuman untuk para koruptor agar dapat diadili seadil-adilnya; (4)  Melakukan penerimaan aparatur negara dengan jujur dan terbuka,  tanpa ada suap suapan dalam penerimaan aparatur negara tersebut; (5)  Memperlakukan pendidikan anti korupsi sejak dini,   agar kedepannya masyarakat sadar bahwa bahayanya kegiatan korupsi; (6)  Sadar dan tidak menyalahgunakan akan hak dan kewajiban dari posisi dan jabatan yang sedang diduduki,  dengan menggunakan hak dan kewajiban sebaik mungkin,  tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri. 

Intinya adalah transparansi atau terbukanya dalam menjalankan suatu pemerintahan,  akan menimbulkan kepercayaan terhadap rakyat itu sendiri kepada pemerintah.  Kesadaran akan para elite politik juga perlu dalam membuat serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat.  Serta tidak khilaf dan tidak menyalahgunakan hak dan kewajiban bagi para elite politik tersebut terhadap jabatan yang sedang didudukinya juga merupakan salah satu faktor penting dalam menjalankan sebuah pemerintahan atau dalam sebuah instansi serta dalam organisasi.

*Penulis adalah mahasiswa Semester 1, mata kuliah Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun