Mohon tunggu...
Nurul Wafiq Azizah
Nurul Wafiq Azizah Mohon Tunggu... the content is writing opinions and book reviews

happy reading

Selanjutnya

Tutup

Politik

80 Tahun Merdeka, Tapi Rakyat Masih Terjajah oleh Ketimpangan.

17 Agustus 2025   13:38 Diperbarui: 17 Agustus 2025   13:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Delapan puluh tahun sudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setiap bulan Agustus, kita dipertemukan lagi dengan slogan-slogan patriotik yang menggema dari podium pejabat, baliho kota, hingga layar televisi. Tahun ini, temanya adalah “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”. Tema yang terdengar sempurna, utuh, dan menjanjikan. Namun ketika kita melihat ke dalam, menelusuri denyut kehidupan rakyat di jalan-jalan sempit perkotaan, desa-desa yang terlupakan, dan sudut-sudut negara yang jauh dari sorotan, kita akan dihadapkan pada satu kenyataan pahit: tema besar itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Kemerdekaan, sebagaimana yang dimaksud oleh para pendiri bangsa, bukan hanya soal bebas dari penjajahan asing. Ia adalah kemerdekaan untuk hidup layak, untuk merdeka dari kemiskinan, ketakutan, ketidakadilan, dan ketertinggalan. Tan Malaka, salah satu pemikir besar revolusi Indonesia, pernah berkata, "Kemerdekaan nasional hanyalah syarat untuk dapat hidup. Tetapi untuk dapat hidup itu, kemerdekaan harus disertai dengan kesejahteraan rakyat." Kalimat ini seharusnya menjadi dasar evaluasi setiap perayaan kemerdekaan yang kita rayakan.

Namun, realitas berkata lain. Hingga Maret 2025, data BPS menunjukkan bahwa terdapat 25,8 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Itu artinya, setelah 80 tahun merdeka, masih ada jutaan orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Mereka bukan bagian dari cerita ‘Indonesia Maju’. Mereka adalah catatan kaki yang kerap disembunyikan dalam pidato-pidato kenegaraan. Mereka adalah wajah-wajah buruh yang bergaji minim, guru honorer yang bertahun-tahun mengabdi tanpa jaminan, petani yang digusur demi investasi, dan masyarakat adat yang ditinggalkan pembangunan.

Kita berbicara tentang “bersatu”, namun setiap tahun intoleransi terus menunjukkan wajahnya. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Rumah ibadah dibubarkan, hak berkeyakinan dilanggar, dan perbedaan dijadikan alat politik. Jika ini yang kita sebut persatuan, maka kita perlu mendefinisikan ulang kata tersebut.

Lalu soal kedaulatan, siapa sebenarnya yang berdaulat hari ini? Rakyat, atau segelintir elite politik dan pemilik modal? Ketika kebijakan negara lebih mengutamakan kepentingan investasi asing ketimbang keberlangsungan hidup masyarakat lokal, kita perlu mempertanyakan ulang apakah kemerdekaan ini benar-benar milik rakyat. Jika petani ditangkap karena mempertahankan lahannya dari ekspansi tambang, jika warga adat dikriminalisasi karena menolak penggusuran, apakah itu bentuk dari negara yang berdaulat?

Kemajuan Indonesia memang terlihat di statistik dan infrastruktur. Jalan tol membentang, gedung pencakar langit tumbuh, dan teknologi berkembang. Tapi kemajuan itu terlalu sering dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Masih banyak wilayah yang kekurangan akses air bersih, layanan kesehatan, hingga pendidikan dasar. Ketimpangan antara desa dan kota, antara barat dan timur Indonesia, masih menjadi luka geografis yang belum disembuhkan.

Kita telah terlalu lama larut dalam euforia kemerdekaan, tanpa benar-benar melakukan refleksi mendalam tentang apa yang telah kita capai dan apa yang masih tertinggal. Tema besar tahun ini akan terus menjadi slogan kosong jika negara tidak menaruh keberpihakan nyata pada rakyat kecil. Kita perlu keberanian untuk jujur bahwa banyak janji kemerdekaan yang belum ditepati. Bahwa dalam banyak hal, kemerdekaan yang kita rayakan ini belum sampai ke semua anak negeri.

Hari ini, delapan puluh tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, semangat kemerdekaan seharusnya menjadi bahan bakar untuk memperbaiki, bukan sekadar merayakan. Kita butuh kemerdekaan yang lebih substansial, bukan seremonial. Kita butuh Indonesia yang tidak hanya bersatu di baliho, tetapi juga di hati. Tidak hanya berdaulat di pidato, tapi juga dalam kebijakan. Tidak hanya maju di laporan tahunan, tapi juga di meja makan keluarga miskin yang berharap bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Karena kemerdekaan sejati bukanlah milik segelintir orang. Ia adalah hak seluruh rakyat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun