Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Orang Biasa yang setia pada proses.

The all about creative industries world. Producer - Writer - Lecturer - Art worker - Film Maker ***

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Kidung Tani; Perlawanan Halus Seorang Petani Terhadap Pola Pertanian Modern

26 Juni 2025   18:38 Diperbarui: 26 Juni 2025   18:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Malam itu, 23 Juni 2025, aula Gedung Pascasarjana ISI Yogyakarta terasa penuh makna. Bukan hanya karena film baru sedang diputar, melainkan karena film itu menyuarakan sesuatu yang selama ini sering kita lupakan: suara bumi, lewat petani yang setia menjaga warisan tanahnya. Judul filmnya Kidung Tani, sebuah film dokumenter, terdengar lembut, tapi sarat perlawanan.

Film ini berkisah tentang Imam Subakat, seorang petani dari Sanden, Bantul, yang setia menjalankan sistem pertanian organik warisan leluhurnya. Dalam satu petak lahan, ia menanam berbagai jenis tanaman: padi, ketela, pisang, kangkung, dan lainnya. Pola tanam beragam tanaman itu membuat ia bisa menanam dan memanen setiap hari --- tanpa bantuan pupuk kimia. Bagi Imam, tanah bukan mesin, tapi ibu. Dan ibu tak boleh disakiti dengan zat buatan/kimia.

Lebih dari itu, Imam Subakat menjalani pertaniannya dengan falsafah Jawa yang diturunkan dari tembang-tembang Jawa mocopat. Film ini dengan cantik menampilkan bagaimana ajaran-ajaran pertanian disampaikan turun temurun melalui nyanyian lirih penuh makna. Tembang-tembang itu bukan sekadar lagu, tapi "kitab" kehidupan yang mengajarkan bagaimana manusia harus berlaku pada alam.

Dan di sinilah kekuatan film ini terasa: Kidung Tani bukan sekadar dokumenter pertanian, tapi sebuah renungan sinematik. Kita diajak menyelami cara berpikir petani yang tak mengejar panen cepat, melainkan keseimbangan. Ia juga menunjukkan sinkretisme unik antara Islam dan tradisi Jawa, di mana tembang mocopat bersanding dengan doa-doa dalam bahasa Arab yang dibaca bersama para petani lainnya --- bukan sebagai kontradiksi, tetapi harmoni.

Film ini dikemas dalam dua versi. Versi pertama --- yang menurut saya lebih menggugah ---, visual film  dibuka dengan dominasi tembang Jawa, lalu secara perlahan membawa penonton ke praktik nyata pengolahan tanah oleh Imam Subakat. Sedangkan versi kedua yang diputar dalam screening malam itu lebih terasa sebagai dokumenter umum, dengan struktur mozaik visual. Meski ada adegan pertunjukan art performance eksperimental dan simbolik di tengah sawah, namun terasa tampak garing dan kurang menyentuh.

Secara keseluruhan film ini, dalam teori Bill Nichols, mungkin lebih masuk ke dalam tipe Poetic Performance meski kurang menggigit.  Ia tampak kering dibanding versi awal yang lebih "alami" dan organik --- sesuai semangat film itu sendiri.

Hal menarik lainnya adalah keberanian para petani yang sekaligus menjadi aktornya, berimprovisasi dialog secara drama musikal. Ya, mereka berdialog sambil bernyanyi, tanpa naskah!. Hasilnya? Drama musikal natural yang tidak dibuat-buat. Imam Subakat dan rekan-rekan petani bukan aktor, tapi kejujuran mereka di layar terasa lebih kuat daripada lakon fiktif yang sering kita lihat.

Film garapan Bagus Satatagama ini bisa saja diputar di festival film internasional. Ia eksotik. Ia spiritual. Ia politis dalam diam. Tapi, saya berharap, bila dibawa ke festival internasional, film ini harus disentuh kembali. Bukan untuk "membumbui", tapi untuk mengasah rasa agar eksotismenya menyentuh lebih dalam.

Karena Kidung Tani bukan hanya soal petani dan pupuk. Tapi tentang keberanian menjaga nilai, ketika dunia tergoda oleh kecepatan dan hasil instan. Film ini adalah nyanyian lirih tentang bumi yang ingin didengar. Pertanyaannya: maukah kita mendengarkannya?***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun