Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Ordinary Citizen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Buddha, Kristen dan Islam (Belajar Toleransi)

7 September 2009   21:38 Diperbarui: 18 November 2016   13:02 4052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Founderswire.com

Pluralitas bangsa ini adalah anugrah yang diberikan tuhan kepada kita semua, dengan keanekaragaman budaya, bahasa, dan agama menjadikan bangsa ini semakin kuat. Kuat dalam artian mampu bertahan ditengah polemik SARA yang menjadi momok menakutkan yang dimiliki suatu bangsa yang Plural karena terdapat sikap toleransi yang 'menghuni' disegenap jiwa masyarakatnya. Bukan hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita menemukan pluralitas, dari ruang lingkup yang kecil seperti keluarga, kita dapat menemukan pluralitas. Berlainan agama, suku (karena perkawinan) atau yang lainnya di keluarga juga akan menjadikan keluarga tersebut tahan akan terpaan masalah SARA jika disitu terdapat toleransi yang baik.

Sebagai contoh, di keluarga besar saya terdapat beberapa penganut agama, ada Kristen, Buddha dan Islam. Awalnya keluarga besar dari ibu saya ini semua menganut agama Buddha, namun karena perkawinan dan lain sebagainya seperti ada beberapa yang mendapat 'pencerahan' sehingga berpindah agama. Ibu saya dan dua orang adiknya telah masuk Islam, empat orang tante dan Oom saya beragama Kristen dan yang lainnya sekitar tiga orang lainnya beragama Buddha ditambah dengan kakek dan nenek saya. Sehingga dalam keluarga besar ini terdapat tiga agama yang berbeda.

Pada mulanya perbedaan agama dikeluarga besar saya ini mendapati sebuah masalah yang fundamental, mungkin karena kaget atau ada yanga belum bisa menerima bahwa saudaranya (adik/kakak) berpindah agama, namun hal ini bisa teratasi karena diantara mereka semua memiliki keharmonisan yang tinggi, sering berkumpul dan silaturahmi membuat perbedaan agama ini tak lagi menjadi soal. Terlebih ketika Lebaran, Natal dan Imlek yang merupakan hari-hari besar dan tradisi (IMLEK) ketiga agama tersebut.

Kami semua saling mengunjungi sanak keluarga yang sedang merayakan hari besarnya, seperti jika datangnya lebaran, saudara-saudara saya khususnya yang beragama di luar Islam justru antusias mengunjungi rumah saya hanya untuk memberikan ucapat selamat Idul Fitri dan memakan ketupat serta tak lupa membawa bingkisan. Begitu juga sebaliknya jika Natal atau Imlek tiba, saya sekeluarga dan keluarga lainnya yang notabene Islam, juga mengunjungi dan memberikan ucapan selamat natal atau Imlek serta membawa bingkisan. Hal seperti ini sudah menjadi tradisi keluarga besar kami. 

Pluralitas dalam beragama di keluarga besar ini menjadikan kami semua makin menghargai yang namanya toleransi. Bahkan tak jarang saya dengan sepupu atau saudara yang berbeda agama mendiskusikan dengan pandangan kami masing-masing terhadap suatu permasalahan dari kacamata agama kami masing-masing, hal itu justru memperkaya pengetahuan kami akan esensi dari suatu agama yang seluruhnya mengajarkan kebaikan dan toleransi.

Toleransi dan sikap saling menghormati telah menjadi tiang keharmonisan di keluarga besar saya ini dengan tanpa mengurangi rasa keimanan kami semua akan kepercayaan yang kami anut masing-masing. Pembelajaran toleransi di dalam keluarga kiranya dapat menjadi pembelajaran dalam berbangsa dan bernegara, sehingga bangsa dan negara ini menjadi bangsa yang besar karena pluralitas dan toleransinya serta dapat menjadi contoh bangsa-bangsa lain akan hal tersebut. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun