Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbang Bersama Sayap Takdir

30 Oktober 2020   17:13 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangisku semakin menjadi, air mataku mengalir deras. Ku rasai seluruh tubuhku merinding saat aku membanyangkan diriku menjelma menjadi sosok padi. Betapa hinanya diri ini, rasa syukur pun masih kurang. Diri ini terlalu sering mengeluh, dan mengeluh. Menganggap bahwa hidup ini tak adil.

"Bapak, Ibuk, maafkan Nurul. Nurul sudah terlalu jauh dari Allah...", kalimatku terpotong, ku tak sanggup berkata. Ku coba sekuat tenaga untuk menyuarakan isi hatiku.

"Nurul sering sholat, Nurul rajin ngaji, tapi ada sesuatu yang masih kurang. Ada ruang yang masih kosong dalam hati Nurul.", berkata demikian aku langsung teringat nasihat guruku saat aku masih belajar di Madrasah Aliyah. Ada tiga kalimat sakti yang beliau sampaikan kepada kami.

"maksimalkan ikhtiyar, optimalkan sabar, dan tidak ada alasan untuk tidak bersyukur." Pak Shiddiq selalu mengutip kalimat ini sebelum mengakhiri pelajaran. Kalimat yang indah, singkat, dan sakral, tapi sulit sekali untuk mengaplikasikannya.

Kita harus belajar qana'ah (rela) dari sebatang padi. Kita juga bisa belajar syukur, sabar, tangguh, dan bermanfaat untuk sesama makhluk dari perjalanan hidup padi.

Setelah mendapat nasihat indah dari Bapak aku mulai menata kembali masa depanku. Kurajut kembali mimpi-mimpiku, ku gantungkan setinggi mungkin. Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Kurekatkan kembali puing-puing perjuangan yang sempat terseret ombak. Akupun menata niat dan melangkah dengan pasti.

"Bapak, terima kasih banyak karenamu kaki ini mampu berpijak meniti kehidupan yang penuh rintangan. Ibuk, kasihmu yang tak pernah surut selalu menemani tiap langkahku dan senyuman kalian adalah mentari yang menyinari hidupku."

Aku memeluk mereka berdua, kubiarkan air mata ini meleleh mengalir bersama beban yang mulai ku hanyutkan.

Rasanya tak pantas lagi aku menangis dan mengeluh. Saat ini aku sudah semester tujuh. Satu setengah tahun lagi aku sudah tidak lagi berada di kampus ini. Semester sembilan harus menjadi semester terakhirku dan menjadi tahun kelulusanku.

Dalam kesendirianku, kusenandungkan bait-bait rindu:

Rinduku padamu ya Rabby

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun