Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbang Bersama Sayap Takdir

30 Oktober 2020   17:13 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar nenek berkata demikian, aku hanya mampu mengecup tangan beliau sambil menitikkan air mata. Aku pasti akan merindukan beliau. Merindukan saat pertama kalinya beliau mengajariku sholat maghrib, merindukan pelukan beliau saat hujan deras di malam hari, merindukan cerita beliau yang selalu menjadi tiket penghantar tidur kami. Dan banyak lagi kenangan indah kami bersama beliau.

Saat jam dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB, aku pun berpamitan dengan Ibuk, nenek, dan adik-adik. Aku dan Bapak bergegas berangkat ke Kota Atlas. Di kota inilah aku akan menimba ilmu dan belajar bahasa surga, bahasa Arab. Selama di bus kota, aku menyimak nasihat-nasihat Bapak dengan seksama.

"Nak, kalau kamu sudah sampai di tempat kos dan berpisah dengan Bapak, kamu harus bisa jaga diri baik-baik, belajarlah prihatin, manfaatkanlah waktu sebaik mungkin. Belajar yang rajin, kalau capek istirahat, kalau lapar jangan lupa untuk makan."

"baik, Pak. Insyaallah Nurul akan mengingat dan menjalankan nasihat Bapak. Nurul mohon do'a restunya semoga niat baik kita dimudahkan jalannya oleh Allah."

"aamiin. Bapak, Ibuk, dan Mbah hanya mampu mendo'akan kamu dari jauh."

Tiga jam kemudian kami sudah sampai di Kampus Konservasi. Kampus ini terlihat asri dan sejuk. Pohon-pohon besar tumbuh tegak dan gagah, berjajar rapi seperti pasukan tentara yang menyambut para agen perubahan. Di salah satu gedung yang cukup besar ada ribuan pemuda yang sedang antri dalam barisan panjang. Bisa dipastikan mereka adalah calon mahasiswa baru sama seperti diriku.

"nak, Bapak mau cari minum dulu ya?"

"iya, Pak. Nurul juga mau ikut berbaris bersama mereka.", jawabku sambil menunjuk ke arah barisan yang mulai mengular.

Aku berdiri cukup lama dalam barisan tersebut, yaitu dari jam delapan sampai jam sebelas siang. Alhamdulillah, namaku dipanggil dan dipersilahkan memasuki gedung. Sungguh luar biasa, gedung tersebut mirip gelanggang olahraga yang dipenuhi para penonton. Dan ternyata itu memang gelanggang olahraga milik Fakultas Ilmu Keolahragaan. Setelah mendapatkan tempat duduk, aku baru tersadar kalau aku terpisah dengan Bapak selama tiga jam. Di gedung itu aku hanya mampu duduk terdiam dengan bola mata yang menggelinding kesana kemari mencari di mana kiranya Bapak berada. Setelah lama mencari, akhirnya kutemukan beliau di antara kerumunan orang tua mahasiswa yang sedang mengantar anaknya. Tak ada percakapan di antara kami. Kami hanya saling melambaikan tangan dan tersenyum.

Setelah prosesi melengkapi berkas-berkas administrasi selesai, aku dan Bapak berjalan keluar gedung. Kami duduk sebentar di bawah rindangnya pepohonan. Beberapa orang ramai berjalan di sepanjang jalan yang membentang di depan gedung tadi. Setelah cukup beristirahat aku dan Bapak melanjutkan perjalanan menuju tempat kost.

Di tempat kost ini kami disambut dengan baik oleh mbak-mbak yang ada di kost. Setelah mengantarkanku dan berbincang sebentar Bapak pun melanjutkan perjalanan pulang ke Kota Ukir. Aku dan mbak Lulu mengantarkan Bapak sampai jalan raya. Kami menemani Bapak sampai beliau mendapatkan angkot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun