Mohon tunggu...
Nurul Hanifah
Nurul Hanifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Menulis adalah pelarian. Pelarian yang membuatku terlalu nyaman dengannya dan tak ingin beranjak darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia yang Selalu Kau Lupakan

18 Januari 2022   16:07 Diperbarui: 18 Januari 2022   23:50 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: unsplash.com

"Egois!!"

Kata kedua yang terucap olehnya. Lihatlah dia tak lagi menunduk. Dia pun tak mengatakannya dengan lirih lagi. Dia mengatakannya sambil menatap matamu. Oh Tuhan.. Matanya seolah menyiratkan kemarahan sekaligus kesedihan yang mendalam. Rasanya itu adalah tatapan putus asa yang sudah terlalu lama terpendam. Kau hanya bisa terdiam.

Angin kembali berhembus. Tidak lagi menyejukan. Semesta sepertinya tak ingin memihakmu.

"Apakah aku akan jadi batu?" pikiran konyol pertama yang terlintas olehmu. Kau hanya membayangkan apakah kau akan menjadi batu seperti Malin Kundang karena terlalu bodoh atau karena dia sedang sial. Bukankah ia setidaknya tak kembali ke pulau kampung halamannya dan pergi ke pulau -- pulau baru saja ketika dia tak ingin bertemu orang tuanya atau setidaknya mengatakan kepada istrinya akan kebenarannya dan/atau mungkin memikirkan strategi -- strategi lain. Se-sederhana itu pemikiranmu.

Kau hanya berpikir bagaimana untuk mengelak. Kau hanya tak mau meyakini bahwa apa yang dikatakannya adalah benar adanya. Darahmu mulai mendidih. Itu mungkin akan menjadi kemarahan terbesarmu.

"Kau...,"

Belum selesai kau merampungkan kalimatmu, sekelebat rangkuman wajahnya terlintas, saat kau senang dia akan memekarkan senyum terbaiknya untukmu. Wajahnya yang teduh ketika kau kecewa dan kesal serta bahkan menyalahkannya ketika semua yang kau harapkan tak terjadi. Matanya yang berusaha terlihat tenang meski tertahan air mata di baliknya ketika kau memarahinya untuk sekedar melampiaskan kekesalanmu pada dunia. Tangannya yang berusaha memegang pundakmu untuk sedikit meredam kesedihanmu, yang tentu selalu kau singkapkan.

Lalu kau melihat betapa kesepiannya dirimu meski kau berada diantara kerumunan orang. Kau yang sangat putus asa saat itu dan kau yang hampir menyerah. Lihatlah hanya dia yang mampu memahamimu. Dan tentu tak pernah meninggalkanmu.

"Apa aku sudah tak waras?"

Kalimat yang tak pernah kau lontarkan pada siapapun justru terpikirkan olehmu. Begitu dalam. Hingga rasanya kau sesak. Apakah semesta juga mengurangi bahkan mengambil jatah oksigenku?

Konyol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun