"Ayolah naik kuda itu," Jesari menunjuk satu kuda yang dipegangi pengawal. Agil tidak habis pikir darimana tiba-tiba ada kuda-kuda yang besar itu.
"Ya, y... y... ya...," Kata Agil gagap. Tidak tahu apakah ia berani menaiki kuda sebesar itu.
"Kamu bisa naik kuda, kan?"
"Ya... y.. y... bisa," kata Agil masih gagap. Ia beranikan diri naik kuda yang lebih besar dari kuda yang pernah dinaikinya kala berkeliling di sekitar tempat wisata Grojogan Sewu Tawangmangu.
Jesari segera menepuk punggung kudanya, dan melesatlah kudanya. Sedangkan Agil masih duduk di atas punggung kudanya antara takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Suara suit seperti burung terdengar jelas, dan kuda yang dinaikinya seperti mengerti, tanpa ditepuk sudah meloncat dan lari. Agil yang tidak menyiapkan dirinya hampir saja tersentak ke belakang. Tangan yang memegang tali kekang sejak naik kuda bisa menyelamatkannya.
Kuda yang dinaiki Jasari melesat cepat meninggalkan debu sore, sementara Agil hanya bisa teriak mengikuti hentakan kaki dari punggung kudanya.
"Aku tidak mau mau mati muda, aku belum kawin... hentikan...hentikan," Kuda yang dinaiki Agil tambah kencang larinya mungkin dikira sedang mengajaknya untuk lebih cepat. Dan pengawal Jasari yang ada di belakangnya hanya tertawa kecil.
Ketika Agil memasuki suatu kawasan yang luas dan tertata rapi dengan bangunan kayu jati yang berbentuk joglo, seperti ada lapangannya juga. Dan rumah-rumah kecil kecil berderet sangat rapi. Kuda yang dinaiki Agil seperti sudah tahu jalan karena sejak dia naik tidak haus menghelanya. Setelah memasuki tanah luas yang seperti alun-alun dan ada pendapanya dia langsung diajak ke kandang rupanya.Â
Begitu banyak kuda yang seukuran dengan yang dinaikinya, ada yang masih di luar dan dilatih untuk menjadi jinak, namun lebih banyak yang ada di kandang, mungkin ratusan. Agil hanya bisa bergumam, hanya orang kaya raya yang bisa memelihara kuda sekian banyak.
Setelah turun dari kuda dengan tubuh yang gemetaran dan sedikit terhuyung-huyung Agil dihampiri oleh Jasari, "Inilah tempatku Parang Garuda, Â kadipaten yang ada di lereng gunung kendeng."
"Bangunannya dari kayu jati semuanya ya Sedulur," Kata Agil mencoba menggunakan kata Sedulur untuk memanngil Jesari. Karena dalam perasaannya lebih bersahabat daripada memangil nama Jasari yang jelas anak seorang Adipati. Sementara dirinya hanya seorang yang masih kuliah. Dan Jasari hanya memandangnya dan mengangguk.
"Kamu tahu sendiri dari tempat kita bertemu tadi  tiap jangkal tanah hampir ditumbuhi kayu jati, jadi ya hal biasa manakala seluruh rumah di kawasan kadipaten Parang Garuda banyak penduduknya yang membuat rumah dari kayu jati," Kata Jasari sambil berjaln menuju satu rumah yang sangat besar. Â