Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Hukum featured

Menakar Independensi Hakim

24 Juli 2018   18:35 Diperbarui: 17 November 2020   16:11 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi independensi keadilan. (sumber: KOMPAS)

Menurut Bambang Widjayanto dalam pemaparannya pada diskusi panel Penguatan Sistem Dalam Kekuasaan Kehakiman" Festival Konstitusi dan Antikorupsi yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, mengenai independensi hakim terdapat suatu paradoks. 

Di satu sisi hakim dibebaskan menjalankan tugasnya memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tanpa campur tangan pihak manapun. Namun di sisi lain, kebebasan hakim tersebut dapat dikatakan suatu liberalisasi. Kebebasan yang berarti bebas tanpa batas, kebebasan yang sebebas-bebasnya, yang tidak mengindahkan kaidah.

Kasus Dokter Bambang (diputus 2013 silam) yang pasiennya meninggal dunia setelah kurang lebih enam bulan operasi tumor ususnya ditangani sang dokter, mungkin dapat menjelaskan mengenai liberalisasi independensi. 

Ia diperkarakan sebab tidak memiliki izin praktik. Sebelumnya jaksa menuntut dr. Bambang sesuai putusan MK, yaitu hanya tuntutan pidana denda. Namun oleh pengadilan tingkat pertama dalam hal ini Pengadilan Negeri Madiun melepaskan dr. Bambang dari semua tuntutan hukum dan memulihkan harkat dan martabatnya.

Jaksa mengajukan banding dan Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dan menjatuhkan pidana penjara selama 1,5 tahun kepada dr. Bambang berdasarkan Pasal 76 dan 79 huruf (c) Undang-Undang Praktik Kedokteran. 

Padahal enam tahun sebelumnya pasal tersebut sudah dianulir oleh MK. Perdebatan akademis yang muncul, bagaimana mungkin hakim memutus berdasarkan norma yang sudah tidak ada. Padahal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas menganut asas legalitas. 

Sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya maka tidak dapat dijatuhi pidana. Namun hakim yang menangani perkara kasasi tersebut berpandangan lain, sebab memiliki independensi profesinya, maka ia tetap memutuskan berdasarkan norma yang sudah dibatalkan MK. Hal ini memicu polemik di kalangan pakar hukum, betapa hakim telah memutus di luar kaidah hukum yang berlaku.

Liberalisasi independensi hakim ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Ia akan berpotensi mendestruksi keadilan dan ketertiban. Liberalisasi independensi hakim dapat dihindari jika menuruti prinsip-prinsip yang ditegaskan UU MK sendiri yaitu tanggung jawab dan akuntabilitas. Antara independensi hakim tidak bisa dilepaskan dengan prinsip akuntabilitas. Hakim mestilah menjadi manusia-manusia pembelajar. 

Berdasarkan Pasal 15 UU MK bahwa hakim konstitusi harus berintegritas dan memiliki kepribadian yang tidak tercela. Kualitas integritas seorang hakim menjadi sangat penting. Hakim yang berintegritas jauh lebih baik dari hakim yang berpengetahuan tetapi tidak berintegritas.

Referensi:

  • Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007.
  • Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedelapan, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2009.
  • Mubarakcplaw.wordpress.com diakses pada 14 Mei 2018
  • Muhammad, Ilham,kolom.tempo.co, diakses pada 15 Mei 2018
  • detik.com/news diakses 15 Mei 2018
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tetang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

*Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, anggota PKSK masa bakti 2015-2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun