Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Ibu Mengalami Sindrom Baby Blues atau Depresi Post Partum?

7 Oktober 2016   11:59 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:01 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - ibu yang depresi karena post partum. (Shutterstock)

Beberapa kasus mengejutkan terkait depresi post partum atau yang lebih dikenal dengan sindrom baby blues membuat kita berpikir: mengapa hal itu terjadi dan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya? Berikut saya rangkumkan mengenai depresi dan depresi post partum. Semoga bermanfaat.

Depresi: Terjadi Pada Siapa Saja?

Depresi tidak hanya bisa terjadi pada orang dewasa. Anak-anak dan remaja pun dapat menderita gangguan mood, termasuk gangguan depresi. Kita semua bisa mengalami depresi, sehingga perlu untuk mengetahui ciri khas gangguan ini.

Depresi tidak sama dengan kesedihan pada umumnya. Sedih, senang, marah, takut, jengkel: semuanya merupakan emosi yang wajar dimiliki manusia. Depresi memiliki karakteristik khusus, dan biasanya tidak berlalu dengan sendirinya. Sehingga membutuhkan bantuan professional: psikolog dan / atau psikiater.

Beberapa hal yang khas dari gangguan depresi selain perasaan sedih, yakni munculnya perasaan tidak berdaya, pola berpikir yang terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri terkait hal-hal negatif yang terjadi, self esteem dan self confidence yang lebih rendah dibandingkan orang lain yang tidak mengalami depresi.

Gejala lain yang sering dilaporkan muncul yakni adanya episode kesedihan, sering menangis, merasa apatis, pola tidur berubah (sulit tidur atau terlalu banyak tidur), pola makan berubah (terlampau banyak atau tidak mau makan), dan kelelahan yang berkepanjangan. Terkadang disertai pikiran-pikiran atau bahkan upaya suicide.

Tidak semua orang tahu dirinya depresi ketika ia sedang mengalaminya. Apalagi anak-anak dan remaja. Dengan mengetahui gejala-gejalanya diharapkan kita bisa membantu anak-anak kita mengidentifikasi kondisi emosi mereka, terlebih ketika kita mendapati beberapa indikasi munculnya gejala depresi.

Faktor-Faktor Penyebab Depresi

Stres yang berkelanjutan dapat memunculkan depresi. Faktor genetik juga berperan dalam depresi yang dialami seseorang.

Berbagai hal dapat saja memicu depresi. Pengalaman negatif seperti kehilangan pekerjaan, kegagalan, kematian, perceraian, dan lain sebagainya bisa saja menjadi pemicu seseorang mengalami depresi. Pengalaman kegembiraan yang meluap-luap bahkan juga bisa berujung pada depresi. Maka, kita perlu waspada.

Bagaimana Seseorang Mengalami Baby Blues / Post Partum Depression?

Seseorang yang kehilangan orang yang dicintai misalnya, bisa saja ia mengalami depresi atau bisa juga tidak. Pengalaman kehilangan tersebut merupakan sesuatu yang berpotensi menjadi pemicu depresi. Namun, bagaimana pengalaman yang biasanya identik dengan kebahagiaan seperti memiliki bayi bisa pula memicu depresi?

Memiliki bayi (anak) merupakan suatu pengalaman positif. Hampir pasti kita semua berbahagia dengan kehadiran bayi mungil yang lucu di tengah-tengah keluarga. Apalagi bagi pasangan yang sangat mendambakan putra / putri. Betapa bahagianya!

Namun, bahagia dan kesedihan “hanyalah” ekspresi emosi. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal. Taruhlah, seseorang bahagia memperoleh uang 1 juta. Beberapa menit kemudian, kebahagiaannya berubah menjadi kesal setelah mengetahui teman kantornya menerima 2 juta. Berayunnya pendulum emosi bisa terjadi semudah kita mengayunkan tangan dan kaki kita. Sangat mudah.

Periode menimang anak untuk pertama kalinya misalkan, kalau kita kupas bisa kita lihat bahwa hal itu cukup kompleks. Pasangan suami istri yang tadinya terbiasa memiliki rutinitas berdua… zzapp.. kini hadir bayi di tengah-tengah mereka.

Malam-malam yang melelahkan secara fisik karena keharusan begadang di satu-dua bulan pertama usia bayi. Perasaan exhausted secara emosi karena tangisan bayi yang terus-menerus lapar. Ritme jam biologis tubuh yang kacau balau yang bisa mempengaruhi kondisi emosi menjadi lebih mudah marah, jengkel, sedih, kecewa, dan lain-lain. Suami yang mengendarai kendaraan ke kantor dalam keadaan mengantuk karena ikut bergadang. Tuntutan kantor yang biasa bisa dihadapi dengan tenang kini menjadi lebih membebani (persepsi subjektif). Sang istri yang kecewa karena merasa suaminya kurang memperhatikan dirinya dan juga si bayi (harapan yang tidak terpenuhi). Belum lagi komentar-komentar subjektif (ceramah, nasihat, kritikan, dan lain-lain) yang datang tanpa diminta dari kerabat / orang tua/ mertua / teman / sahabat atau masukan dari para professional yang terkadang rentan menjadikan sang ayah dan sang ibu merasa kurang kompeten menjadi orang tua atau bahkan mulai mempengaruhi konsep diri sang ayah dan sang ibu menjadi lebih negatif.

Di awal kelahiran sang bayi mungil… wow..semua perhatian tertumpah pada bayi mereka. Ucapan selamat datang bertubi-tubi tiada henti. Bantuan menggendong, menimang, mengurus bayi dan juga membantu pemulihan kesehatan ibu teradang datang secara melimpah. Namun sampai kapankah?

Mungkin hal ini berlanjut sampai seminggu, dua minggu, atau hingga satu bulan kemudian. Perlahan dan pasti semua orang akan kembali ke rutinitas masing-masing. Di sinilah periode rentan terjadi. Sang ibu yang masih belum pulih betul secara fisik, dituntut untuk mengasuh dan merawat bayinya dengan sedemikian rupa. Bahkan, untuk beberapa orang, seakan-akan ia harus menjalaninya secara sempurna! Percayalah, hal ini tak mudah dilakukan!

Apakah saya sedang mendeskripsikan hal tersebut secara berlebihan? Percayalah, saya menggambarkannya secara apa adanya. Dan beberapa ibu menceritakan pengalaman yang kurang lebih serupa. Meski tak semuanya mengalami baby blues syndrome.

Kelelahan fisik yang teramat sangat, tentu bisa berdampak pada kondisi emosi. Dan tanpa dukungan emosi dan sosial yang kuat, sangat mungkin sang ibu mengalami sindrom baby blues.

Apalagi kalau secara genetik, garis keturunan di atasnya (ayah / ibu/ kakek /nenek dan seterusnya) juga ada yang mengalami depresi. Hal ini memperkuat resiko terjadinya depresi.

Demikian pula kalau ada kejadian-kejadian (stressor) tambahan yang menambah stres pada sang ibu. Misalnya: kekerasan fisik yang diterima dari suami, celaan dan kritikan tajam tentang cara mengasuh dan merawat bayi, ada kejadian buruk lain seperti meninggalnya orang tercinta di masa-masa awal sesudah melahirkan.

Ketika batas ambang toleransi stress manusia terlampaui maka ia akan mengalami kondisi distress (stress). Apabila kondisi stress ini berlangsung berkepanjangan, apalagi disertai gejala-gejala khas depresi seperti:

(1)Mengharapkan yang terburuk (pesimis); (2) Membesar-besarkan konsekuensi dari kejadian-kejadian negatif; (3) Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif walaupun tidak beralasan; (4) Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek negatif dari berbagai kejadian.

Sesuatu hal yang khas terkait depresi yakni learned helplessness. Orang yang mengalami depresi secara selektif fokus pada hal-hal negatif. Suatu kejadian yang negatif seperti kegagalan meraih grade tertentu dalam ujian, bisa merambat pada penilaian negatif terhadap berbagai hal lainnya. Rasa tidak bisa mengasuh anak secara baik, rasa kecewa terhadap peran suami dalam pengasuhan anak pun demikian, bisa meluas ke hal-hal lain sehingga hampir semua hal dipersepsikan negatif. Generalisasi yang terlampau luas dari suatu hal yang negatif menjadi suatu bentuk keyakinan bahwa “Aku orang yang gagal”; “Aku ibu / istri yang buruk” ; “Aku orang yang tidak berguna” ; “Aku bodoh” ; “Aku tidak punya masa depan” merupakan salah satu mekanisme berpikir yang terdistorsi (tidak tepat /tidak sesuai kenyataan) khas orang yang mengalami depresi.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

Karena depresi merupakan gangguan dan tidak bisa berlalu dengan sendirinya, maka untuk membantu orang-orang yang mengalami depresi membutuhkan bantuan professional (psikolog dan / atau psikiater). Namun setidaknya, pengetahuan kita tentang beberapa gejala khas depresi dapat membantu kita untuk melakukan identifikasi dini terkait seseorang yang mengalami depresi.

Penderita depresi cenderung mengalami perasaan bersalah yang sangat tinggi (www.almighty.com)
Penderita depresi cenderung mengalami perasaan bersalah yang sangat tinggi (www.almighty.com)
Stop Stigma!

Tidak ada yang lebih buruk dari memberikan stigma terhadap seseorang yang tengah membutuhkan bantuan! Maka, Stop Stigma terhadap seseorang yang mengalami depresi. Termasuk para ibu yang mengalami depresi post partum! Kalau tidak mau membantu, setidaknya kita bisa berupaya berempati terhadap kondisi yang tengah dialami penderita depresi.

Sebagian penderita depresi juga memunculkan pikiran-pikiran ke arah mengakhiri hidup (suicidal thoughts). Guilty feelings (perasaan bersalah) mereka juga biasanya amat tinggi. Sehingga, stigma dan penilaian yang menghakimi adalah hal terakhir yang mereka inginkan.

Pengobatan psikofarmakologi melalui obat-obatan antidepressant biasanya akan dilakukan oleh psikiater. Sementara terapi kognitif behavioral biasanya akan dilakukan oleh psikolog. Untuk membantu penderita depresi, kita bisa membantu memberikan informasi klinik / rumah sakit terdekat yang memberikan jasa layanan psikologi dan psikiatri. Kita juga bisa membantu menemani (kalau diperlukan) ke puskesmas yang memiliki layanan psikologi / atau bisa juga dokter untuk memberikan rujukan ke rumah sakit yang layanannnya lebih lengkap. Kita bisa juga membantu menginformasikan kepada penderita / keluarga jasa layanan psikologis / psikiatri yang ada di Universitas terdekat.

Apapun yang bisa dan sanggup kita lakukan, lakukanlah. Bisa saja, satu langkah kecil Anda menyelamatkan satu nyawa! Atau bahkan menyelamatkan sebuah keluarga!

Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam hangat.

mari berempati (dari www.intothelight.com)
mari berempati (dari www.intothelight.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun