Mohon tunggu...
Nur syakbana
Nur syakbana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya membaca dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Film

Squid Game Season 3 dan Wajah Baru Hegemoni Kapitalisme

6 Juli 2025   10:56 Diperbarui: 6 Juli 2025   10:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sukses besar pada dua season sebelumnya, Squid Game Season 3 akhirnya tayang dan kembali menyita perhatian publik global. Namun kali ini, taruhannya terasa lebih tinggi. Tidak hanya memperluas arena permainan hingga ke level internasional, tetapi juga mempertegas satu hal, bahwa kita semua hidup dalam sistem yang kejam, dan ironisnya, sering kali ikut mempertahankannya sendiri.

Dengan melihat lebih dalam, terutama lewat konsep hegemoni dari Antonio Gramsci, Squid Game 3 bukan sekadar tontonan hiburan tetapi menjadi cermin tajam bagaimana sistem kapitalisme membentuk cara berpikir kita, mengendalikan pilihan, dan menentukan nilai hidup manusia.

Kapitalisme Hegemoni: Kekuasaan Tanpa Paksaan

Seperti season sebelumnya, Squid Game 3 menampilkan orang-orang dari berbagai negara dan latar belakang sosial ekonomi yang bersedia mempertaruhkan nyawa dalam permainan mematikan demi hadiah uang tunai fantastis. Yang menarik, mereka semua ikut secara sukarela.

Inilah bentuk hegemoni paling klasik, kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk senjata atau ancaman, tetapi melalui penerimaan sukarela oleh yang tertindas. Dalam dunia Squid Game, masyarakat miskin, terjerat utang, dan kehilangan arah melihat permainan ini sebagai satu-satunya jalan keluar. Mereka tahu bisa mati, tapi tetap masuk. Sistem kapitalisme modern, dalam hal ini, telah berhasil membuat kematian tampak lebih masuk akal daripada hidup dalam kemiskinan.

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni adalah dominasi ideologis yang diterima sebagai "akal sehat". Inilah yang ditunjukkan Squid Game, logika bahwa semua orang harus berjuang sendiri, bahwa jika gagal maka itu salahmu sendiri, bukan salah sistem. Penonton diajak merenung: benarkah hidup ini sebuah kompetisi? Benarkah keadilan bisa dibeli dengan uang?

Netflix, Budaya Pop, dan Industri Hegemoni

Yang membuat Squid Game semakin kompleks adalah kenyataan bahwa serial ini ditayangkan melalui Netflix salah satu kekuatan utama dalam industri hiburan global. Artinya, kritik terhadap kapitalisme justru hadir lewat produk budaya kapitalistik. Apakah ini paradoks?

Tidak sepenuhnya. Justru di sinilah kekuatan serial ini. Squid Game menggunakan platform dominan untuk membocorkan kenyataan yang sering ditutupi oleh hiburan popular, bahwa industri hiburan pun bagian dari sistem hegemoni. Ia menjadi contoh konkret dari bagaimana budaya populer bisa menjadi arena pertempuran ideologis.

Dalam Cultural Studies, budaya dianggap bukan sebagai refleksi pasif realitas, tetapi sebagai arena konflik makna. Dan dalam hal ini, Squid Game 3 menjadi alat untuk mendekonstruksi narasi dominan tentang kerja keras, keberhasilan individu, dan mimpi kapitalistik.

Apakah Kita Masih Punya Pilihan?

Season ketiga Squid Game memperluas cakupan isu. Tidak hanya kemiskinan, tetapi juga ketidakadilan global, ketimpangan antarnegara, bahkan eksploitasi lintas batas. Namun, pada intinya, serial ini tetap bertanya “Apakah pilihan yang kita miliki benar-benar pilihan?”

Orang-orang dalam Squid Game memilih, ya. Tapi mereka memilih karena tidak punya alternatif. Ini yang disebut Gramsci sebagai kekuasaan yang telah membentuk kesadaran. Bahwa sistem hari ini mengajarkan kita untuk tidak percaya pada perubahan kolektif, tetapi justru saling mengalahkan demi naik satu tingkat dalam tangga sosial.

Sebagai penonton, kita tidak bisa berhenti di level menikmati cerita atau mengagumi estetika. Kita harus menjadikan Squid Game sebagai pintu masuk untuk memahami struktur yang menindas, sekaligus membayangkan alternatifnya. Apa yang bisa kita lakukan?

Gramsci menyebut pentingnya “perang posisi” melawan hegemoni melalui ruang-ruang wacana dan produksi budaya. Kita bisa mulai dari hal kecil seperti berdiskusi kritis, memproduksi konten reflektif, mendukung kebijakan yang lebih adil, hingga ikut membongkar mitos kesuksesan individual. Kita bisa menggunakan media sosial, komunitas, atau kelas kuliah sebagai medan perjuangan makna.

Permainan Belum Usai

Di akhir season ketiga, Squid Game menunjukkan bahwa meski satu permainan usai, sistemnya belum berubah. Begitu pula dunia nyata. Kita semua hidup dalam sistem yang mengharuskan bersaing, menginjak, bahkan mengorbankan sesama demi bertahan.

Namun seperti kata Gramsci, kesadaran bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia dibangun perlahan, dari pengalaman, pendidikan, dan resistensi kecil yang terus dipertahankan. Dan mungkin, menonton Squid Game dengan kesadaran kritis adalah satu langkah kecil untuk keluar dari permainan yang sebenarnya.

 

References

Siswati, E. (n.d.). (2017). ANATOMI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI.

https://kumparan.com/ernani-dewi-kusumawati/potret-wajah-kelam-hegemoni-kapitalisme-dalam-narasi-serial-squid-game-24CpYGS6zVP

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun