Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gara-gara Persaingan Usaha Harus Musuhan Berjemaah, Sorry, Ya...

29 Juni 2020   21:04 Diperbarui: 1 Juli 2020   04:00 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Salah satu Rumah Makan di Pinggir Danau Kerinci Desa Sanggaran Agung. (Bukan RM yang pemiliknya sedang berseteru). Foto: NURSINI RAIS.

Belum lama ini saya  dicurhatin A. Katanya, B telah merebut lahan bisnisnya. Gara-gara persoalan tersebut dirinya jadi mabuk. 

Mabuk apa? Mabuk ngomel.

Namanya emak-emak. Ketemu C nyerocos, ketemu D nyeracau, "Sudah tahu seumur hidup saya cari makan dari jualan nasi. Kok tega-teganya dia buka warung makan, merampas pelanggan saya. Tarif saya Rp 20 ribu, dia jual lima belas? Bla ..., bla ...." 

Dan ocehan lain tak pantas ditulis di sini. Sampai dia mengancam, mau melabrak B.

Saya katakan ke dia, "Jangan. Nanti masalahnya tambah pelik. Kita tidak berhak melarang siapun untuk berkembang. Mau niru bisnis si Badu atau mencontoh ikhtiar si Udin. Tanah Air ini bukan milik satu orang."

Kalau dia ngomong dengan saya, insya Allah habisnya di telinga saya saja. Tetapi ketika dia ngomong ke orang lain, kasusnya menjadi runyam. Terlebih sebagian pendengarnya punya hubungan keluarga dengan B.

Sebagai jalan tengah, saya coba meluruskan agar dia berpikir dengan kepala dingin. "Ikuti perkembangannya, nanti akan ketemu solusinya seperti apa. Supaya pergaulan kita bertetangga tidak pecah."

"Tidak mungkin mengikuti harga dia. Dua puluh saja tak dapat untung. Apalagi lima belas," balasnya.

Ya sudah. Saya diam saja. Karena yang berprofesi sebagai penjual nasi adalah dia. Tentu dirinyalah yang lebih berpengalaman.

Cuman saya sempat membandingkan, tetangga saya di Kota Jambi punya bisnis serupa.

Ampera dihargainya Rp 10 ribu, layanannya take away dan bersantap di tempat. Lauk tanpa nasi Rp 5 ribu per potong, sayuran Rp 5 ribu per bungkus. Mulai buka pukul 10.00 WIB. Sebelum pukul 12.00 ludes terjual.

Bagaikan buah simalakama. Dua-duanya tetangga saya. Hati kecil saya berharap, usaha A bisa berlanjut, tanpa menimbulkan konflik dengan B. Silakan bersaing secara sehat, rezeki masing-masing sudah ada yang ngatur.

Setelah A pergi, saya kepikir akan memberikannya pendapat, supaya dia mengubah sistem layanannya menjadi dua paket.

Pertama, paket reguler tetap Rp 20 ribu. Porsinya seperti biasa.

Kedua, paket ampera Rp 15 ribu. Supaya ada kesamaan harga dengan warung B. 

Di sini perlu kecerdasan untuk mengakali. Misalnya kalau 1 kg daging normalnya potongan 24, sekarang dibikin 25. Pokoknya ciri khas ke-Minangan-nya tetap dipertahankan. Tak apa untungnya tipis yang penting laris.

Sebelum pelanggan belanja, tawarkan terlebih dahulu, mau ampera atau non-ampera. Tempelkan juga tarifnya secara tertulis pada gerobak nasi (etalase).

Ironisnya, nasib sial menimpa saya. Niat untuk memberikannya saran pendapat belum kesampaian, A tak mau lagi menegor. Setiap ketemu saya, dia buang muka duluan.

Mungkin dia tersinggung karena saya membanding-bandingkan tarif dagangannya dengan harga di warung tetangga di Kota Jambi.

Saya malu. Tanpa sadar saya telah kecebur ke dalam urusan orang lain. Padahal, mati-matian saya berusaha netral agar mereka tidak berkonflik. Curhatan keduanya saya tampung sewajar dan seadil-adilnya.

Saya tak habis pikir. Maunya apa? Dia dan A bermusuhan, haruskah saya jadi jemaahnya. Sorry. Selama hidup di rantau, saya berpantang mencari lawan. Terlebih sekarang. Usia sudah mendekati kepala tujuh. Dia baru menginjak 40-an.

Saya ikuti saja iramanya. Mungkin dia panik. Karena usahanya hampir sekarat. Pelanggannya sudah tersedot ke warung milik rivalnya B.

Menurut saya, sikap A ini merugikan dirinya sendiri. Dalam kondisi sulit seharusnya dia banyak minta masukan pada orang berpengalaman. Bukan menabuhkan gendrang permusuhan, menonjolkan ego, dan merasa diri paling benar. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun