"Apakah kalian pernah kemalaman hingga tak sempat pulang ke kosan?"
"Gak, Bu. Kami harus pulang. Karena malamnya tugas membungkus kerupuk," jawab Aldi.Â
"Alhamdulillah selalu ada rezeki tumpangan motor atau mobil apa saja. Yang penting bisa gratis," tambahnya.
Hampir meleleh air mata saya, membayangkan seberapa capeknya mereka. Seharian berjalan kaki, malamnya bukan istirahat. Malah melakukan aktivitas lain. Padahal, si AA baru berusia 16 tahun. Belum saatnya dia bekerja, masih tergolong anak-anak.
Atas kekepoan saya, bergantian keduanya bercerita bahwa mereka masih punya orangtua. Nasibnya pun beda tipis. Sama-sama punya 5 saudara. Ayah dan ibunya berkebun sawit di kampung dengan penghasilan pas-pasan. Bedanya, yang satu berpendidikan kelas 5 SD, lainnya kelas 2 SMP.
Setelah mereka pergi, saya merenung. Betapa sulitnya persaingan hidup ini demi sesuap nasi. Naluri keibuan saya berdoa, semoga kelak mereka menemukan sumber rejeki yang halal, mudah dilakoni, tidak melulu mengandalkan otot.
Kedua anak manusia ini belum dikategorikan menang dalam pertarungan hidup. Sebab, permainan sedang berlangsung, masa depan mereka masih panjang.
Akankah mereka menyerah kalah atau menang telak? Dalam artian minimal akan memperoleh kehidupan lebih baik, dengan sedikit bekerja hasilnya banyak. Hanya waktu yang menentukan.
Inilah dua dari puluhan juta individu yang sedang berdarah-darah menghadapi persiangan hidup demi sesuap nasi. Salam dari Pinggir Danau Krinci.
****